"Kamu marah karna masalah tadi?"
Airin menyusul Dafi masuk ke dalam kamar. Pria itu acuh dengan pertanyaan sang istri. Melihat suaminya yang tak menghiraukan ucapannya, ia menarik lengan Dafi ketika pria itu hendak membaringkan badannya ke kasur.
"Ada apa lagi, Airin?" Dafi berusaha tenang agar tidak terbawa emosi. Jujur, ia benar-benar lelah dengan sikap Airin.
"Seharusnya aku yang tanya! Kamu kenapa? Kamu kenapa selalu marah dan acuh seperti ini? Apa karna anak?"
Dafi memejamkan matanya sejenak berusaha menetralkan emosi yang mulai tersulut.
"Kamu sudah tahu jawabannya. Jadi untuk apa menanyakan hal seperti ini, Airin? Kurang sabar apa lagi aku, enam tahun aku sabar menunggu keturunan dari kamu. Tapi kamu selalu beralasan tidak bisa meninggalkan pekerjaan kamu. Apa selama ini kamu tidak pernah menghargai aku sebagai suami? Dan sampai kapan aku harus mengerti dirimu sedang kamu tidak pernah mengerti apa yang aku mau!"
Ucapan Dafi berhasil membuat Airin tidak bisa berkutik lagi. Wanita itu menundukkan kepalanya dalam. Kedua tangannya terkepal kuat. Kenapa harus anak yang menjadi alasan mereka bertengkar. Ia juga lelah harus seperti ini.
Dafi membuang muka kala melihat Airin meneteskan air matanya. Jujur, ia benar-benar tak bisa melihat istrinya menangis seperti ini karna itu senjata yang membuatnya lemah. Sesaat kemudian Dafi menarik tubuh Airin dalam pelukannya. Wanita itu menangis terisak-isak dalam pelukan suaminya.
"Maafkan aku... beri aku waktu beberapa bulan lagi, Mas..." ucap Airin menangis tersedu-sedu dalam dekapan suaminya.
Dafi tak menjawab, tangannya dengan lembut mengusap bahu Airin yang bergetar karna menangis. Dalam pikiran Dafi saat ini, bukan hanya mengharapkan keturunan dari wanita yang ia cintai tapi juga tentang Indira. Ia benar-benar pusing dengan situasi sekarang. Ia tak pernah menyangka kesalahan malam itu menciptakan benih kehidupan dalam rahim pembantunya.
Ia juga tidak mungkin lepas tanggung jawab. Ia tidak ingin anaknya nanti telantar tanpa figur seorang ayah. Apalagi ucapan Indira yang ingin menggugurkannya membuat pikiran Dafi semakin dibuat rumit.
Terlalu lama menangis membuat Airin tidur pulas dalam dekapan Dafi yang kini membaringkan tubuh sang istri di kasur dengan hati-hati. Ia menatap lekat wajah Damai Airin. Sungguh, ia sangat mencintai Airin tapi sikap egois serta keras kepalanya yang membuat Dafi tak suka. Apalagi Airin terlalu over dengan pekerjaannya sebagai model.
Dafi memilih keluar dari kamar. Tenggorokannya terasa kering. Namun, baru beberapa langkah masuk ke area dapur suara aneh membuat gelombang halus muncul di kening Dafi. Ia melangkahkan kakinya pelan mengikuti sumber suara. Tubuh Dafi terpaku sesaat ketika menatap Indira tengah memuntahkan isi dalam perutnya di wastafel dapur.
Tubuh mungil itu hampir terhuyung ketika hendak berbalik badan namun dengan sigap seseorang menahan tubuh ringkih itu. Rasa pusing berkunang-kunang serta badannya yang terasa lemas membuat Indira tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Dafi yang masih melingkar tangannya di pinggang Indira.
Wanita itu muda itu mengangguk dalam diam. Meskipun begitu, Dafi tak melepaskan dekapannya pada Indira.
"Lepaskan saya, Tuan..." Indira menyingkirkan tangan Dafi dibagian tubuhnya.
"Biar saya antar. Kamu mau ke kamar?"
Kali ini Dafi begitu tulus membantu Indira. Entah karna wanita itu tengah hamil membuat sikap Dafi melunak.
"Saya ingin minum..."
Indira melangkah pelan menuju dispenser, Dafi mengikuti dari belakang.
"Apa setiap malam sering muntah seperti ini? Apa makanan yang saya berikan tadi sudah kamu makan?" Rentetan pertanyaan penuh perhatian membuat Indira yang selesai minum menoleh.
Wanita itu merasa aneh dengan pertanyaannya majikannya di tambah nada suara Dafi yang melembut berbeda seperti sebelumnya. Ada apa dengan majikannya? Kenapa tiba-tiba perhatian seperti ini?
"Iya, mungkin karna efek hamil..." jawab Indira singkat. Ia menundukkan kepalanya tak ingin terlalu lama bersemuka dengan majikannya, Dafi.
Dafi menatap iba pada Indira. Badan kurus Indira membuat ia bisa menyimpulkan. Tiba-tiba saja rasa bersalah menyelusup dalam benak Dafi setelah apa yang ia lakukan.
Sementara Indira tampak tak nyaman dan ingin segera pergi dari hadapan Dafi.
"Berapa usiamu?"
Mendengar itu membuat Indira mendongak. Ia menatap sejenak pada Dafi sebelum menjawab.
"19 tahun."
Pupil mata Dafi membesar mendengar jawaban Indira membuat rasa bersalah itu semakin membesar. Bayangkan saja wanita yang sudah ia hamili masih sangat muda bahkan seharusnya sibuk menatap masa depannya.
"Tuan..."
"Iy, ada apa?" ucap Dafi menatap Indira yang tampak ragu ingin mengucapkan sesuatu."Katakan saja jangan ragu."
"Em... Tuan, anda tidak perlu menikahi saya. Saya tidak ingin menjadi perusak__"
Belum sempat Indira menyelesaikan ucapannya Dafi lebih dulu memotongnya.
"Keputusan saya sudah bulat. Kamu akan saya nikahi sebagai pertanggung jawaban. Dan jangan banyak membantah!"
Dafi meninggalkan begitu saja Indira yang diam termenung di tempat menatap kepergiannya. Kalau boleh egois tentu Indira takkan menolak ajuan pernikahan Dafi demi anak yang ia kandung tapi di satu sisi ia tidak ingin menjadi perusak rumah tangga majikannya. Bayangan wajah Airin selalu muncul dalam kepalanya.
•
•
Dua jam lalu Airin sudah berangkat menuju ke Bandara setelah Dafi mengantarkannya. Hubungan suami istri itu kembali membaik setelah pertengkaran tadi malam. Setelah mengantarkan sang istri, Dafi kembali ke rumah. Tentu, kepergian Airin selama satu minggu di manfaatkan Dafi untuk menjalankan rencananya. Ia tahu, ini sangat salah, menikah kembali tanpa izin dari Airin.
"Apa sudah siap?" Dafi menghampiri Indira yang tengah sibuk memasukkan pakaiannya ke dalam tas besar.
Dari tadi jantung wanita itu berdegup kencang dengan rasa gugup yang membuat telapak tangannya berkeringat.
"Sudah, Tuan. Tapi bagaimana saya menjelaskan ini semua dengan bibi dan paman? Saya takut...".
Indira benar-benar takut bagaimana reaksi bibi dan pamannya nanti saat tahu ia akan dinikahi majikannya sendiri. Mereka berdua sepakat akan menikah siri lebih tepatnya Dafi memaksa Indira untuk menyetujui pernikahan ini. Mereka berdua akan menikah di kampung halaman Indira. Bagaimana pun Dafi harus tetap meminta izin pada keluarga Indira. Di tambah paman Indira sebagai wali di pernikahan mereka berdua.
Kini, Indira sudah duduk di dalam mobil. Ia menatap Dafi yang baru saja masuk ke dalam mobil.
"Setelah kita menikah kamu tetap bekerja seperti biasa di rumah saya. Rahasiakan pernikahan kita nanti dari Airin maupun dari kedua orang tua saya."
Indira terdiam sejenak setelahnya ia mengangguk setuju. Apakah ia mampu menjalankan perannya sebagai istra lebih tepatnya istri kedua. Tangannya mengusap perut datarnya dari balik baju dengan perasaan tak karuan. Sementara Dafi mulai menjalankan mobilnya.
_____
Hai semuanya! Terima kasih sudah mampir
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. See you di part selanjutnya:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
lovely
gue paling benci bau poligami wanita mana yg mau berbagi seuami meski s Airin salah tapi klo suami nikah ma pembantu realnya dah stress bahkan depresi klo guee thour suami mau ga di bagi²😜
2023-10-11
0
Ludi Asih
nanti pas airin siap pnya anak,trus difonis gak bisa sama dokter,seru dech jdnya
2023-10-10
0
Maulana ya_Rohman
ku sumpahin menjadi buvin kau Dafi😠😠😠😠😠😠
2023-07-29
1