Setelah beristirahat setengah jam di kamar yang baru ia tempati, kini Indira kembali beraktivitas. Ia tidak bisa hanya berdiam diri di kamar meski badannya masih terasa lemas. Mungkin karna bulan pertama kehamilan membuat ia cepat lelah. Meskipun sudah berstatus sebagai istri dari Dafi ia tidak akan memanfaatkan statusnya sekarang untuk mendapatkan harta atau fasilitas mewah sekadar memanjangkan dirinya.
Wanita itu sibuk mengepal lantai bawah yang cukup berdebu dan sedikit kotor. Baru sebentar ditinggalkan tapi lantai rumah ini sudah kotor. Sembari membersihkan rumah ia juga tengah menggiling pakaian dalam mesin cuci. Pakaian kotor suaminya menumpuk di keranjang. Sesekali Indira menyeka keringat membasahi permukaan wajahnya, beberapa hari ini suhu di siang hari begitu panas mungkin dua kali lipat dari biasanya.
Indira kembali mencelupkan pel ke dalam ember namun tiba-tiba rasa pusing itu kembali datang. Indira berpegangan pada sisi meja di dekatnya, menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Namun, rasa pusing berdenyut-denyut itu berhasil merenggut kesadarannya yang kini tergantikan dengan kegelapan, membuat tubuhnya hampir jatuh tergeletak di lantai bila seseorang tidak menangkap tubuh kurus itu.
Dafi yang baru kembali dari luar karna urusan mendadak, dengan gerakkan cepat menangkap tubuh Istri keduanya tersebut yang tiba-tiba pingsan.
"Indira... Indira." Dafi menepuk-nepuk pelan pipi tirus tersebut, namun tidak ada respon.
Dafi menggendong Indira lalu membawanya ke kamar. Raut wajah pria itu terlihat khawatir.
"Kenapa kamu semakin sering menyusahkan saya," gerutu Dafi seraya membaringkan Indira di atas kasur. Ia mendudukkan dirinya di sisi kasur lalu mengeluarkan benda pipih di saku celananya.
"Cepat ke sini, jangan lama!" ucap Dafi memerintah tanpa ingin dibantah. Seseorang yang ada di sambungan telpon tersebut belum sempat membalas ucapan Dafi, tapi sambungan telpon sudah di matikan sepihak.
Dafi meletakkan ponselnya di atas meja, kini tatapannya terotasi penuh pada Indira. Tangan besarnya terulur mengusap-usap kening sang istri, menyingkirkan helaian anak rambut. Tatapan Dafi turun pada perut datar sang istri. Ia masih belum percaya benihnya tumbuh di sana. Ia yang menginginkan keturunannya lahir dari rahim Airin, sekarang malah tumbuh di rahim pembantunya sendiri.
•
•
"Pada kehamilan trimester pertama, terjadi banyak perubahan pada fisik wanita hamil. Kadar hormonal dan volume darah mengalami perubahan pada masa kehamilan awal. Hal ini berdampak pada timbulnya keluhan seperti mual dan pusing saat hamil. Di tambah kondisi fisik wanita muda ini begitu lemah apalagi dia melakukan aktivitas berlebihan," tutur Arnold panjang lebar.
Pria yang berprofesi sebagai dokter itu menatap iba pada wanita muda yang terbaring tak sadarkan diri di kasur. Melihat kondisi fisiknya yang kurus membuat ia meringis apalagi kondisinya tengah hamil muda.
"Kalau boleh tahu siapa wanita muda ini? Tiba-tiba saja kamu menelpon ku untuk memeriksa kondisinya?" Arnold penasaran dengan sosok wanita muda tersebut. Ia tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya di rumah ini.
"Pembantu." Dafi menjawab singkat.
Kening Arnold mengkerut mendengar hal tersebut."Pembantu? Tapi dia sedang hamil dan kamu mempekerjakannya sebagai pembantu? Suaminya mana? Tega sekali suaminya membiarkan wanita ini bekerja saat dia tengah hamil seperti ini, pantas saja badannya sangat kurus."
Arnold geleng-geleng kepala tak habis pikir bagaimana bisa seorang suami membiarkan istrinya bekerja apalagi kondisi fisik wanita tersebut begitu lemah karna tengah hamil muda.
Dafi yang mendengar itu merasa tersindir dengan ucapan Arnold walaupun temannya tersebut tak tahu bila Indira adalah istrinya namun tetap saja membuat ia kesal.
"Cukup memeriksanya tidak perlu banyak berkomentar," ucap Dafi sedikit ketus."Bagaimana kondisi kandungannya?"
Arnold langsung mengantupkan bibirnya rapat dengan balasan Dafi.Tampak pria itu seperti tak suka dengan ucapan yang ia lontarkan tadi.
"Untuk kondisi kandungannya masih aman dan baik-baik saja. Tapi jika ingin lebih jelas lagi kamu bisa bawa dia ke dokter spesialis kandungan," lanjut Arnold. Padahal ia ingin menanyakan tentang wanita muda ini namun melihat sikap tak bersahabat Dafi membuat ia mengurungkan niatnya.
•
•
Indira memegangi kepalanya yang terasa pusing serta tubuh yang lemas. Ia tampak linglung dan bingung ketika sudah berada di atas kasur. Seingatnya ia sedang mengepal lantai dan tiba-tiba kepalanya pusing. Sibuk dengan pertanyaan yang muncul dalam kepalanya, tiba-tiba pintu kamar terbuka menampilkan sosok Dafi.
Pria itu masuk ke dalam kamar membawa secangkir teh hangat. Seperti saran Arnold, Dafi membuatkan teh hangat untuk Indira agar membantu meningkatkan gula darah dan mengembalikan energi yang dibutuhkan tubuh sehingga kondisinya pulih dengan segera.
"Cepat bangun, minum ini." Dafi menyerahkan secangkir teh hangat.
Dengan susah payah Indira bangun dari kasur lalu menerima secangkir teh yang Dafi berikan. Baru hendak minum ucapan Dafi membuat rasa haus yang Indira rasakan tiba-tiba hilang seketika.
"Sudah saya katakan jangan melakukan aktivitas berlebihan, dan lihat sekarang kamu pingsan. Apa kamu sengaja melanggar larangan saya?"
Ucapan Dafi yang terdengar ketus bagi Indira, membuat wanita muda itu mengurungkan niatnya untuk minum dan kini berganti menundukkan kepalanya. Sementara bagi Dafi ucapan yang ia lontarkan karna khawatir dengan kondisi Indira ralat kondisi anaknya dalam perut wanita tersebut.
"Saya hanya ingin menjalankan tugas saya, Tuan. Bagaimana pun saya pembantu di rumah ini dan sudah tanggung jawab saya membersihkan rumah ini," balas Indira tanpa ingin kontak mata dengan Dafi.
Pria itu berdecak kesal.
"Tapi sekarang kamu sedang hamil anak saya. Cukup kerjakan yang ringan saja atau kamu tidak perlu mengerjakan apapun selama Airin tidak ada di rumah ini. Kamu semakin sering menyusahkan saya!"
Ucapan Dafi lagi-lagi berhasil menggores hati Indira. Wanita itu meremas sprei, meredam sesuatu dalam benaknya. Melihat perubahan raut wajah Indira yang mengeruh membuat Dafi menghela napas panjang.
Wanita itu tersentak ketika Dafi mendudukkan dirinya di bibir kasur.
"Ingin makan apa? Biar saya pesankan." Ucapan Dafi sedikit melembut seolah mengalihkan Indira dari ucapannya tadi. Yang membuat wajah Indira berselimut kesedihan.
Indira menggeleng sambil menatap Dafi."Tidak usah, Tuan. Saya tidak ingin menyusahkan lagi..."
Balasan Indira seperti tamparan keras bagi Dafi. Wanita itu seolah mengingatkan ucapan yang beberapa menit lalu Dafi lontarkan. Tanpa menunggu respon Dafi, Indira turun dari kasur lalu melangkah menuju kamar mandi dengan langkah pelan.
Wanita itu menutup rapat pintu kamar mandi. Perlahan tubuhnya merosot ke lantai, air mata jatuh membasahi pipi tirusnya.
"Apa aku akan terus menjalani hidup seperti ini?" monolog Indira pada diri sendiri. Jujur, ia takkan sanggup apalagi ucapan yang keluar dari mulut suaminya itu selalu sukses meninggalkan sesak dan perih di dada.
Namun tangisan Indira yang terisak-isak tiba-tiba terhenti ketika ingat bahwa besok Airin akan pulang. Mengingat hal seperti itu sudah membuat badannya panas dingin. Ia seperti penjahat yang bersembunyi di balik topeng. Bagaimana Airin sampai tahu hubungannya dengan tuan Dafi?
Sementara Dafi mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
______
Hai semuanya! Terima kasih sudah mampir.
Spoiler untuk bab selanjutnya aku upload di Instagram @Khazana_va
Dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan memberikan like dan komen. See you di part selanjutnya:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Ludi Asih
dafi,saran aku nih ya,anterin nadira ke ortu,bilg trs terang biar aman dua"nya
2023-10-10
0
Toto Suharto
jadi orang kaya jangan bego bego banget deh Dafi...kalau kamu masih membawa indira di tengah tengah rumah tangga kamu sama airin pasti semakin tertekan...masa punya banyak duit tapi ga mampu beli tempat singgah lain
2023-08-06
1
Maulana ya_Rohman
ku do'akan semiga Dafi bucin sama Indira😠😠😠
2023-08-04
0