Aku menikmati ekspresinya yang bahagia setiap kali aku meletakkan sesuatu di piringnya. Dia kelihatan suka, dan itu membuatku suka melakukan hal-hal kecil untuk menunjukkan bahwa aku perhatian. Sembari terus belajar tentang dia. Ada banyak penemuan. Aku sering bergumam dalam hati, mengulang kalimat seperti, Oh, dia memiliki sisi kepribadian yang ini atau yang itu. Kenapa dia harus menyembunyikannya? Apa alasan dibalik wajah sendu dan dingin itu?
Selama dalam pengamatan sejak setahun lalu, dia tidak pernah menunjukkan wajah yang berseri-seri itu --well, satu sisi, aku senang, berarti dia senang bersama denganku--. Wajahnya selalu di-set sopan dan minus emosi. Aku terus diseret semakin dalam ke dunianya.
"Maaf yang tadi. Aku tidak bermaksud sombong. Aku tahu bahwa aku cantik.Kadang aku bersyukur untuk itu tapi kadang aku benci. Tidak tau mengapa. Ketika orang lain menatapku dengan kagum, seringkali aku membalas tatapan mereka dengan sorot kebencian. Tapi tidak bisa dipungkiri, justru karena kecantikan wajahku, aku bisa sampai sejauh ini. Aku tidak tahu apakah harus berterima kasih atau tidak. Tapi ketika ku dapati diriku masih bisa makan makanan layak, tidur di atas tempat tidur yang nyaman, dan punya status pekerjaan, aku bersyukur." Aku mengunyah makananku sambil mendengarkannya.
"Tidak masalah. Aku senang bisa mengenalmu dan mengetahui lebih banyak tentang dirimu. Kamu bisa menyombongkan diri, marah, benci dan melakukan segala macam hal saat bersamaku. Aku Tidak akan marah. Malah senang bisa melihat beragam sisi dirimu." Matanya berkaca-kaca. Tapi dengan cepat mengalihkan emosinya dengan terus makan.
Dia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Mendominasi area itu sampai ke dapur, membersihkan dan merapikan meja dan alat-alat makan. Dia sangat cekatan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Begitu selesai beres-beres, diambilnya tasnya dari meja sofa dan kembali duduk berhadapan denganku.
"Haruskah kita mengerjakan laporan notulen itu sekarang?" Dia melakukan itu lagi, seolah tidak sabar ingin cepat pergi. Aku tidak suka ide itu.
"Secepat itu? Jam berapa penerbanganmu?"
"Jam 5 sore." Aku berpikir keras bagaimana cara membuat dia tinggal di sana sampai besok. Mungkin nanti akan ketemu idenya, aku bisa mengulur waktu sambil mengerjakan hal yang dia minta.
"Mau melakukannya sekarang?"
"Iya. Aku tidak tahu harus ngapain lagi kalau bukan kerja." Memang betul. Kami bisa jadi canggung jika hanya diam saja dan tidak melakukan apa pun.
"Baiklah. Ayo kita kerjakan. Ikut aku." Aku berjalan menuju ruang kerja. Sambil berpikir keras. Hampir putus asa. Bagaimana kalau kami bisa menyelesaikan laporan itu dengan cepat? Menyalahgunakan kekuasaanku seperti waktu lalu bukan ide yang bagus, dan aku tidak akan melakukannya lagi. Aku harus mendapatkan hatinya dengan cara yang benar.
Aku mengatur dua kursi menghadap meja kerja dan memberi isyarat padanya untuk duduk di kursi di sebelahku.
"Ayo. Kita kerja dari sini saja. Lebih mudah, karena semua file yang ku kerjakan tadi semua ada di sini." Dia patuh. Ku nyalakan iMac dan membuka semua file yang diperlukan. Ku arahkan dia untuk mulai mengoperasikannya. Dia mulai fokus memperhatikan file-file itu dan mengajukan pertanyaan sesekali. Karena bagaimana pun, dia harus menguasai semua isi file agar bisa mempresentasikannya dengan gamblang di depan Gaia ketika dia kembali. Ku akui, dia sangat baik dalam melakukan pekerjaannya. Aku sibuk menikmati pemandangan indah di sebelahku sambil memikirkan ide. Astaga! Earnest, tolong pikirkan sesuatu sekarang! Tapi otakku benar-benar buntu.
"Kopi atau teh?" Aku menawarkan bantuan, mengalihkan pikiranku yang sibuk.
"Teh apa yang kau punya?" Dia menatapku, aku mencoba memahami apa yang dia maksud. Tidak menyangka dia akan interupsi tawaranku.
"Maksudku, aku ingin mencicipi Chinese tea yang terbaik dan termahal, jika kau punya." Sekali lagi, aku tidak menduga permintaan itu. Aku menahan senyum tapi akhirnya menyeringai lebar. Sepertinya aku sudah gila. Bisa sangat bahagia hanya karena permintaan sederhana seperti itu. Teh termahal? Tentu saja aku punya. Aku bahkan akan berikan semua hal yang termahal kalau dia minta. Dia menatapku dengan rasa penasaran.
"Kenapa, apa tidak boleh?"
"Tentu saja boleh, aku akan menyajikan Chinese tea yang terbaik. Aku sangat senang menerima permintaan itu."
"Beneran? Aku tidak sedang berbuat kesalahan kan?" Dia meyakinkan. Mungkin sikapku yang terlalu bahagia mendengar permintaan itu sedikit keterlaluan.
"Tidak. Lanjutkan ya. Aku akan menyiapkan tehnya."
"Oke."
Aku memiliki koleksi teh, karena kesukaan pada teh turun temurun ada di keluarga besar Lee. Hampir semua jenis teh ada dalam koleksiku. Jika aku melakukan perjalanan ke mana pun, teh adalah hal menarik yang ingin ku ketahui dan pasti akan membelinya untukku maupun untuk oleh-oleh jika ada yang bagus. Dan dia meminta teh yang terbaik dan termahal, teh Long Jing jawabannya. Salah satu di antara yang terbaik dan termahal.
Aku menghidangkannya dalam satu set teko dan cangkir keramik sebagaimana biasanya Chinese tea disajikan. Ku letakkan di atas meja sofa di dalam ruang kerjaku. Dia masih fokus menatap layar iMac.
"Mau makan sesuatu?" Dia menatapku sambil berpikir.
"Aku masih kenyang dari makan siang, kamu? Makanlah. Jangan pedulikan aku."
"Kalau begitu, teh sudah siap." Dia tersenyum sambil tetap menatap layar komputer.
"Tunggu sebentar. Mau cek ini dulu? Apakah begini sudah bagus? Maksudku, kalau ada yang miss dan salah berdasarkan progres hari ini..." Dia meminta. Aku sewot dalam hati. Kenapa harus buru-buru selesai sih?
Aku mendekat dan tidak mau repot untuk duduk. Aku berdiri di belakangnya, membungkukkan tubuhku, agar bisa melihat ke arah layar dengan jelas. Ku ambil mouse dari tangannya dan membaca sekilas file yang telah dia kerjakan. Aku merasakan kepalanya menyentuh dadaku, tapi dia tidak bergerak. Aku berharap dia bisa mendengar detak jantungku yang kencang dan membantu menolongku untuk menggapai hatinya. Karena aku benar-benar tidak ada ide. Tolong bantu aku Jade, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku bergumam dalam hati, sedikit merana.
“Sudah bagus. Kita hanya perlu tambahkan satu hal lagi. Aku sedang menunggu laporan dari departemen PR tentang strategi pemasaran. Kami sempat membicarakan untuk bekerjasama dengan salah satu group band K-Pop yang akan menjadi ambassador untuk koleksi musim semi. Tapi mari kita tunggu. Mereka sepertinya perlu beberapa waktu untuk memastikan kontrak bisa ditanda tangani. Sekarang, simpan dulu file-file ini." Dia menganggukkan kepala setuju.
Aku duduk di sofa. Dia mengikuti, melakukan hal yang sama. Mengambil tempat duduk tepat di sampingku. Aku mulai menyajikan teh dan menuangkan ke dalam gelas. Setelah ku persilahkan, dia mengambil satu gelas teh dan mencium aromanya. Masih terlalu panas untuk diminum. Dia kelihatan suka.
"Wangi. Namanya?"
"Long Jing tea. Salah satu yang terbaik. Coba dicicipi. Kalau suka, kamu bisa bawa. Aku punya banyak stoknya."
"Emang boleh?"
"Sangat boleh."
"Terima kasih..."
"Sama-sama..." Dia menyesap tehnya. Ku lakukan yang sama. Rasanya nikmat. Wangi dan menyegarkan.
"Enak." Dia memuji.
"Kalau begitu, bawa yang banyak..." Aku menawarkan. Dia tertawa.
"Nggak ah. Aku khawatir tidak akan bisa menyeduhnya dengan baik agar hasilnya sebagus ini. Aku hanya akan minum teh yang biasa ku minum. Bisa mencicipinya di sini sudah bagus..." Yang itu, dia tidak berubah. Dia benar-benar tidak ingin membuat dirinya terikat dengan apa pun. Aku menghela napas, rasa khawatir menyelimutiku. Bagaimana jika aku gagal dan tidak bisa membuatnya tinggal lebih lama? Aku bergumam di kepalaku.
"Terima kasih..." Ucapnya tiba-tiba. Lagi? Untuk apa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments