Aku berjalan tertatih ke kamar mandi setelah semua selesai. Ku tinggalkan dia yang terbaring dengan lemas.
Aku duduk di bawah shower, membiarkan air membasahi seluruh tubuhku. Berharap air itu akan membawa hanyut semua perasaan asing di dalam diriku. Bagian bawah tubuhku terasa perih dan sakit. Tapi bukan hanya itu. Hatiku tidak damai. Ku coba mengurai satu per satu.
Hatiku? Mengapa aku harus peduli? Yang ku pikirkan hanyalah Gaia. Apakah ini pengkhianatan? Gaia tidak pernah mengatakan apa pun soal komitmen. Dan aku tidak pernah merasa menjadi pacarnya. Aku pun setuju dengan jenis hubungan yang begitu. Karena itu membuat aku merasa punya kebebasan. Tapi dia selalu bilang bahwa dia mencintaiku. Kami berciuman. Kami berhubungan badan dengan cara kami. Dan aku baru sadar, aku sudah membagi tubuhku kepada siapa pun yang membutuhkannya. Untuk memuaskan mereka dan membuat pekerjaanku berjalan lebih mudah. Apakah aku bisa disebut pelacur? Aku sudah menjual tubuhku untuk bertahan hidup. Mungkin saja. Tapi ya sudahlah. Yang penting, Gaia tidak boleh tau. Aku hanya perlu bersikap tenang dan kembali menjadi diriku yang biasa agar dia tidak mendeteksi sesuatu yang aneh. Aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika dia tahu tentang pengkhianatan itu.
Ku dengar pintu terbuka. Earnest, dia melangkah ke arahku. Dimatikannya shower. Menyelimuti tubuhku dengan handuk. Menggendong dan mendudukkan aku di kursi meja rias di kamarnya. Dia memberikan satu handuk lagi agar aku mengeringkan rambut. Ku bungkus rambutku di dalam handuk dan membiarkan kepalaku tertutup. Dia berlutut di lantai menatapku. Nah betul, setidaknya kau harus menunjukkan padaku bahwa kau merasa bersalah. Setidaknya, aku mendapat sebuah kepuasan batin dari rasa tersiksa itu. Dia harus memohon-mohon maafku. Meski tidak akan ku maafkan. Setidaknya itu adalah bukti bahwa aku adalah manusia, aku punya harga diri yang seharusnya tidak bisa diinjak-injak sesuka hatinya.
"Bisakah kita menyelesaikan diskusi tentang dokumen itu sekarang?" Aku bertanya. Aku sangat ingin menyelesaikan urusan dengannya secepat mungkin. Wajahnya berubah mendung, matanya berkaca-kaca. Dia bersiap mengatakan sesuatu, namun lidahnya tercekat. Tapi kenapa aku harus peduli?
"Dan tolong bantu aku. Semua kejadian ini jangan sampai ke telinga Gaia. Tolong…" Dia memelukku.
"Jade, kau seharusnya marah sekarang." Dia berkata dengan suara bergetar menahan emosi.
"Aku tidak bisa. Kenapa harus marah? Aku setuju untuk melakukan ini. Aku justru berterima kasih. Kau menolongku untuk menyikapi hal beginian dengan santai. Setelah ini, setiap kali aku bertemu dengan orang brengsek sepertimu lagi, akan lebih mudah bagiku." Pelukannya semakin erat.
"Tidak Jade. Tolong jangan lakukan itu. Apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan maaf? Aku memang brengsek. Apa yang harus ku lakukan?" Dia melepas pelukannya dan menatap mataku. Biarkan rasa bersalah itu memakanmu hidup-hidup! Aku berkata dalam hati.
"Aku akan melupakan semuanya dalam beberapa jam. Bantu saja aku agar Gaia tidak tau apa-apa. Aku tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi jika dia sampai tau..." Dia berubah murka.
"Lepaskan dirimu darinya!" Aku menatap tajam ke matanya.
"Jangan mendikte apa yang harus ku lakukan dengan hidupku. Kau tidak tahu apa-apa. Aku berharap kau akan berhenti mencampuri urusanku setelah ini." Dia bangkit dari lututnya.
"Tidak bisa! Aku masih belum mendapatkan apa yang ku inginkan. Aku menginginkanmu. Kamu Jade! Apa kau benar-benar mengira aku brengsek? Yang akan membiarkanmu begitu saja setelah selesai merasakan tubuhmu? Jade… Aku bukan pria seperti itu..."
Aku tidak peduli. Aku mengenakan kembali semua pakaianku dan mengeringkan rambutku. Aku tidak peduli betapa gelisahnya dia, berjalan mondar-mandir di dalam ruangan. Aku melangkah keluar dari kamar dan mengambil dokumen dari tas yang ku letakkan di atas meja sofa. Sebuah amplop putih besar. Ku keluarkan isinya dan ku letakkan dengan rapi di atas meja tempat kami tadi makan, bersama dengan sebuah pena. Kemudian aku duduk, menunggu dia keluar dari kamar.
Beberapa menit telah berlalu, dia masih belum muncul. Aku mengambil gelas baru dan mengisinya dengan wine. Masih ada sedikit sisa di dalam botol. Aku menyesap sedikit demi sedikit. Ku periksa ponsel. Ada panggilan dan pesan dari Gaia. Ku balas pesannya mengatakan bahwa semua berjalan dengan baik. Sudah pukul 3 sore. Ah, sangat lama. Masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk menunggu sambil menikmati buah yang ada di atas meja.
Dia akhirnya muncul, dengan pakaian lengkap, sepertinya sudah mandi juga, ku cium wangi sabun yang sama dengan yang ku pakai tadi. Duduk di depanku dan matanya langsung tertuju pada tumpukan dokumen yang ku susun persis di depannya. Dia menghela napas kasar.
"Aku akan kembali bersamamu ke Seoul sekarang. Kita akan bicara dengan Gaia mengenai kita. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja." Katanya. Aku semakin kesal.
"Anda benar-benar suka memperumit keadaan, mr.Lee. Mari akhiri pertemuan ini seperti yang telah kita sepakati sebelumnya. Saya akan pulang sendiri, kembali pada kehidupan saya dan melupakan semua yang terjadi hari ini." Aku menekankan dengan tegas.
"Kamu masih tidak punya perasaan apa-apa padaku setelah barusan Jade?" Di mana akal sehatnya? Bicara soal perasaan, yang ada malah benci.
"Sudah ku bilang. Aku tidak punya perasaan. Aku tidak pernah melibatkan perasaan dalam hidupku. Jadi, jangan tanya aku soal itu. Ayo kita akhiri sekarang. Baca saja dokumennya dan tanda tangan. Sesuai kesepakatan."
"Haruskah ku lakukan sekali lagi? Untuk mengubah keyakinanmu?" Ku lihat ponselku.
"Jika kamu mau, silahkan. Tapi harus cepat. Kita hanya punya waktu kurang dari satu jam."
"Woah…" Dia bertepuk tangan dan menyeringai sinis.
"Luar biasa! Kau benar-benar luar biasa!" Dia berkata dengan nada sarkas. Aku mulai lelah. Tidak punya ide harus bagaimana meladeni argumennya. Mataku terasa panas, beberapa air hangat mengalir turun. Dia menyeret kursinya ke dekatku dan menyeka wajahku.
"Lihat? Aku biasanya tidak suka melihat wanita menangis. Tapi melihatmu menangis jauh lebih baik daripada melihat dirimu yang datar tanpa emosi itu. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dalam keadaan begini. Kita perlu bicara. Atau aku akan pergi bersamamu..."
"Aku sangat lelah hari ini. Aku melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan tugasku dan segera pulang. Mengapa kau harus mempersulit? Tidak bisakah kita membuatnya sederhana?" Aku memohon sambil masih terisak.
“Jade. Aku melakukan semua ini agar bisa menahanmu untukku. Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana?"
"Aku tidak peduli. Ini adalah hal paling rumit yang pernah aku temui seumur hidupku. Dan aku lelah sekarang. Ayo berhenti. Aku harus pulang..." Dia menatapku dengan lembut. Akhirnya, aku bisa menangkap arti di matanya. Dia tidak ingin aku terluka. Aku menyukai sorot mata itu. Tapi hati nuraniku mengingatkanku, dia hanya bisa tinggal di dunia mimpi. Dia tidak nyata. Dia tidak bisa masuk dalam realita hidupku.
"Kita benar-benar tidak perlu membicarakan tentang kita?"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan tentang kita. Dan tolong… tidak bisakah kau melihat aku mencoba untuk mengikuti setiap kata yang kau ucapkan? Sekarang waktunya pulang." Dia terdiam. Dia memperbaiki posisinya dan akhirnya melihat ke arah tumpukan dokumen. Ku bantu meletakkan tumpukan kertas itu persis di depannya dan menyerahkan pena. Dia memeriksa setiap lembar kertas dan menandatanganinya. Aku menyusun dan merapikan setiap halaman dan memasukkan kembali ke dalam amplop. Setelah mengatur dengan baik di dalam tas, aku bersiap pergi. Aku harus mengucapkan selamat tinggal.
"Terima kasih. Bolehkah aku pergi sekarang?" Dia masih diam dan menatapku penuh arti. Aku bisa melihat betapa keras dia berusaha menahan perasaannya, untuk tidak melanjutkan percakapan yang dia mau.
"Benarkah ini yang kau inginkan?"
"Iya. Yang bisa ku pikirkan saat ini hanya satu, berbaring di atas tempat tidurku begitu aku tiba di Seoul. Agar besok aku bisa bangun pagi dan berangkat ke kantor seperti biasa, kemudian menyerahkan amplop ini kepada Gaia." Dia menyerah.
"Setidaknya berjanjilah satu hal." Dia menatapku memohon.
"Cabut kembali kata-kata itu ketika kamu mengatakan kamu akan melakukannya dengan mudah dengan orang brengsek lain yang mungkin akan kau temui."
"Bukan urusanmu. Kita tidak ada hubungan apa-apa setelah ini. Tidak usah ikut campur."
"Jade…" Dia memejamkan mata dan menghembuskan napas berat.
"Oke. Tapi aku masih punya waktu beberapa menit sebelum jam 4. Ini perintah. Berjanjilah padaku." Aku melihat ponselku lagi. Dia benar, masih beberapa menit lagi menuju pukul 4 sore.
"Aku sudah bilang, Gaia adalah penyelamatku. Dia tidak akan pernah membiarkanku berjalan ke kandang singa. Aku bertanya-tanya mengapa kali ini dia melakukannya, apa mungkin karena dia sangat mempercayaimu?" Kataku dengan tegas dan ku lahap ekspresi bersalah di wajahnya.
Iya, aku ingin dia merasa lebih bersalah dan tidak pernah hidup damai karenanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments