Sudut Pandang Earnest
Begitu tiba di ruang kantor, aku berjalan buru-buru menuju pintu untuk masuk ke rumah. Kantor itu hanya sebagai jalan pintas, aku sempat berpikir kenapa aku harus lewat sana. Kan bisa dengan mudah masuk ke rumah melalui pintu depan bersama dengannya? Entahlah, mungkin agar aku punya waktu untuk menenangkan diri. Akan terlihat aneh jika aku bersikap begitu excited di depannya.
Aku sudah menahan gejolak euforia sejak duduk di sampingnya di dalam pesawat. Berusaha bersikap seolah-olah pertemuan kami di sana adalah kebetulan. Tidak yakin apakah aku tertangkap basah. Tapi sepertinya iya, dia tau. Tapi aku senang dia mencoba berpura-pura tidak tau. Meskipun moodnya kelihatan sangat down. Namun dia kelihatan berusaha untuk bersikap baik, berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa dia curiga.
Satu hal yang pasti, dia sama sekali tidak merasakan bahwa yang ku rasakan padanya adalah cinta. Bukan hanya tidak tau, dia bahkan tidak peduli padaku. Aku jatuh hati padanya begitu dalam. Dan aku gelisah mendapati bahwa dia tidak merasakan hal yang sama. Dalam hal ini, posisiku lah yang paling lemah. Aku sedang mencoba memohon padanya untuk menerima cintaku.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Setahun yang lalu, di Incheon airport. Aku memasuki ruang tunggu beberpa menit sebelum diijinkan boarding. Mata kami saling bertemu pandang. Detik itu ku putuskan, aku telah jatuh cinta.
Ku amati figurnya dari jauh. Perempuan itu sempurna di mataku. Dia sangat cantik. Dengan tinggi sekitar 170 cm, berkulit putih, rambut hitam tebal panjang mencapai pinggangnya, dan semua fitur di wajahnya benar-benar sempurna. Alisnya sempurna tanpa riasan, bentuk matanya cantik seperti almond, warna irisnya coklat muda, hidungnya mancung, bibirnya seksi, betuk wajahnya persegi dan dari samping, bentuk rahangnya tegas dan anggun. Dan tubuhnya, sempurna! Aku mengulitinya hidup-hidup di benakku. Dia menyembunyikan dada dan bokong yang berisi penuh di dalam dress katun longgar dan ditutupi jaket denim besar. Sempurna. Aku menemukan wanita idamanku.
Aku curi-curi pandang padanya ketika kami mengantri di konter check-in. Aku berkata pada diriku berkali-kali, aku menginginkannya dan berpikir keras bagaimana cara untuk memilikinya. Ku sadari beberapa pasang mata memperhatikanku, mungkin menyadari bahwa aku adalah Earnest Lee. Tidak ada yang tau, mataku terpaku padanya dari balik balik kacamata ray-ban yang ku pakai. Dari semua mata yang sedang menatapku, aku benar-benar berharap salah satunya dalah dia. Tapi dia tidak melakukannya. Fakta itu membuat rasa penasaranku semakin besar. Insting pria jantan dalam diriku semakin tertantang. Bayangkan, aku selalu menyamarkan diri agar tidak dikenali ketika berada di tempat umum, tapi saat itu, aku justru sangat ingin dia mengenali ku.
Tidak lama kemudian, kami boarding. Hatiku rasanya meloncat keluar, kegirangan saat kami berjalan di lorong yang sama. Dan dia mendapat tempat duduk tepat di sampingku! Aku merasa seperti mendapat emas jatuh dari langit. Keberuntungan ada di pihakku. Aku sedang diberi jalan untuk mengenalnya lebih jauh. Aku ucap yesss! Berkali-kali dalam hati. Aku punya sekitar 7 jam untuk berkenalan, minimal mendapatkan nomor handphone-nya.
Aku berusaha sopan dengan membungkukkan badanku sebelum duduk, setelah membereskan letak barang-barangku. Dia berusaha bersikap sopan membalas sapaanku dengan menundukkan kepalanya. Dengan tenang. Tanpa ekspresi apa-apa! Bahkan ketika aku membuka topi, kacamata dan masker wajah. Dia tidak menunjukkan perubahan ekspresi apa-apa. Apa-apaan!? Apakah dia berasal dari hutan rimba? Atau planet Venus? Atau di suatu tempat dari kutub selatan? Bisa-bisanya dia tidak mengenaliku?! Halo! Ini Earnest Lee!
Aku mendengus kesal. Bukan sombong, hampir semua manusia yang ada di section kelas bisnis itu, yang melihatku, menunjukkan ekspresi yang ku harapkan. Sebuah bentuk emosi terkejut, senang dan kagum karena melihat Earnest Lee dari dekat. Ternyata dia bahkan lebih tampan dari foto-foto yang ada di internet. Bisa-bisanya dia tidak bergeming sama sekali. Padahal aku tepat di sampingnya!
Untuk beberapa saat, aku sibuk melayani sapaan beberapa penumpang dan awak kabin. Ada yang hanya sekedar menyapa, ada yang meminta tanda tangan, bahkan ada yang minta foto. Dan beberapa ku sadari, berinteraksi dengan cara yang berlebihan, dengan kata lain genit. Aku mencoba bersikap sopan. Aku harus mempertahankan image diriku yang baik dalam kondisi apa pun. Tapi orang yang ku tunggu untuk berinteraksi denganku tidak bergeming sama sekali. Aku kesal karena itu semua ku lakukan untuk menarik perhatiannya. Jika bukan karena dia, aku tidak akan membuka semua perlengkapan samaranku dan langsung tidur untuk menghindari dikenali oleh orang lain.
Aku mulai meragukan popularitasku di kalangan para wanita di dunia. Apakah mereka berbohong ketika mengatakan bahwa mereka mengagumi, mencintai, bahkan menginginkan aku jadi kekasih mereka? Atau semua bentuk komen pujian dan kagum yang sering mereka tinggalkan di bagian komen setiap postinganku di sosial media itu bohongan? Mengapa seorang wanita itu bahkan tidak peduli dengan keberadaanku, padahal aku tepat berada di sampingnya! Beneran, ini tidak baik Earnest. Jika wanita yang satu ini sama sekali tidak tertarik denganmu, tamatlah karirmu. Kau sudah selesai sobat. Bagaimana bisa kau mempercayai semua komentar di internet ketika dalam kehidupan nyata kau tidak dianggap sama sekali? Lakukan sesuatu!
Aku berpikir keras. Bagaimana memulainya?
"Permisi..." Aku berencana memulai percakapan. Mungkin karena kepercayaan diriku sudah nyungsep di awal, suaraku jadi kurang meyakinkan. Dia tidak menjawab. Aku menghela nafas berat. Bisa-bisanya aku menjatuhkan harga diriku dengan diskon besar-besaran namun tidak juga direspon dengan baik. Aku padahal mengharapakan dia akan senang mendengar sapaanku. Tapi tidak, harus dicoba lagi. Ku perbaiki ekspresi wajahku dan berhasil memasang wajah manis.
"Permisi…" Dia akhirnya menoleh ke arahku. Tuhan, dia sangat cantik. Bola matanya yang indah mengirimkan suasana teduh seolah-olah menyihirku untuk tenggelam di sana. Aku terpana, terpesona dan tidak mampu mengatakan sepatah kata pun.
“Eh… Iya?” Dia bersuara setelah kami diam beberapa saat saling menatap mata. Suaranya seperti alunan musik yang indah di telingaku. Tuhan, aku beneran jatuh cinta. Apa yang harus aku lakukan? Aku masih berusaha memikirkan kata yang akan ku ucapkan, tapi dia sudah kembali ke posisi duduk tegap, kembali ke posisi awal. Ah, Earnest, kok jadi bodoh begini? Kamu bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun? Aku ngedumel dalam hati.
Kemudian dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar kecil.
Oke, aku kehilangan kesempatan pertama. Tidak masalah, bisa dicoba lagi. Sambil menunggu dia kembali dari kamar kecil, aku menyusun skenario lengkap dengan script-nya di kepalaku. Sambil mencari-cari referenis jawaban seandainya jawabannya meleset dari dugaanku. Tapi dia cukup lama di sana.
Setelah beberapa menit, dia kembali lagi ke kursinya. Apa yang harus ku tanyakan duluan? Nama? Tapi apakah wajar orang asing bertanya nama? Atau nomor telpon? Otakku tiba-tiba membodoh. Kemampuanku yang paripurna yang biasanya mudah untuk membuat kalimat, tiba-tiba hilang. Aku bertanya-tanya sejenak, bagaimana bisa aku membuat semua lirik lagu yang beralbum-album itu? Apakah karena aku dirasuki oleh dewa lirik? Yang dalam waktu seperti itu, dia tidak membantu sama sekali? Sialan!
Mulai lah, tanyakan apa saja. Aku mendesak diriku sendiri sampai-sampai jantungku rasanya berdegup lebih kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments