Entah sumpah Zivana yang terlampau sakti atau bagaimana. Nyatanya sejak siang tadi cegukan Shaka tidak berhenti.
"Lo kenapa?" tanya Zivana ketika pria itu menjemputnya.
Kembali Shaka cegukan sebelum menjawab pertanyaan istrinya. "Udah tahu cegukan pakai nanya!"
Zivana mencibir. Batinnya berujar, "Syukurin!"
"Buruan naik!" titah Shaka, yang kembali cegukan.
Melihat cegukan suaminya, tak tega juga Zivana. Sebelum ia naik ke atas motor ia mengambil air putih yang ia bawa dari rumah tadi. Mengulurkannya pada Shaka.
"Nih, minum dulu."
Shaka menatap botol warna ungu yang terulur ke arahnya.
"Minum!" ulang Zivana. "Gue jamin cegukan lo langsung ilang."
Shaka terlihat tak percaya. Ia hanya terus menatap botol minum milik Zivana.
"Ish ... disuruh minum juga!" Zivana meraih tangan Shaka dan meletakkan botolnya di tangan pria itu.
"Buruan minum!"
Karena cegukan kembali Shaka pun membuka tutup botol milik Zivana. Membawanya ke mulut, tapi langsung berhenti sebelum ia benar-benar minum.
"Kenapa?" Zivana bingung.
"Bekas lo, ya?" tanya Shaka.
Sontak Zivana mencebik kesal. Lalu mendorong botol tersebut ke mulut Shaka agar pria itu bisa meminumnya.
Tentu saja Shaka jadi gelagapan karena tak siap. Namun air dalam botol sudah sempat terminum olehnya.
"Lo!" Shaka ingin marah tapi yang ia rasakan justru berbeda. Cegukan tadi benar-benar hilang.
"Apa!" seru Zivana.
Merasa lebih baik Shaka menyudahi debat ini. "Buruan naik!" ujar Shaka akhirnya.
Dalam hati Shaka bertanya-tanya kenapa cegukannya langsung hilang setelah meminum air dari Zivana. Padahal sejak di kampus tadi ia sudah banyak minum air agar cegukannya berhenti tapi tidak berefek.
Apa yang sebenarnya terjadi?
"Ayo jalan, katanya tadi suruh buruan." Zivana menepuk bahu Shaka.
Mengabaikan pertanyaan tentang cegukan yang mendadak hilang, Shaka langsung menstater motornya. Seperti biasa mereka tidak banyak mengobrol ketika di atas motor.
Ketika melewati pertigaan yang mengarah ke rumah Zivana, gadis itu menepuk bahu Shaka. Pria itu pun memperlambat laju motornya.
"Kenapa?"
"Rumah gue." Tunjuk Zivana ke jalan yang mengarah ke rumahnya.
"Lain kali aja, nanti kalau keseringan pulang dikira lo nggak kerasan tinggal di rumah gue," jawab Shaka sembari mengemudi.
Meski kecewa tapi Zivana berusaha menahan air mata yang hendak keluar. Ia rindu pada ayahnya, tapi kalau sering-sering pulang tidak enak juga dengan papa mertuanya.
Ia pun hanya bisa memendam rindu. Nanti saja kalau libur, ia akan meminta ijin untuk mengunjungi ayahnya.
Perasaan sedih karena rindu dibawa Zivana sampai ke rumah. Bahkan ketika selesai makan malam pun perasaan sedih masih sangat terasa.
"Mbak Ziva kenapa?" tanya Eni, asisten rumah tangga di rumah Shaka.
"Kangen rumah, Mbak," jawa Zivana jujur.
"Mbak Ziva nggak betah tinggal di rumah ini?" todong Eni.
"Bukan gitu juga kali, Mbak. Tadi Ziva lewat jalan yang menuju rumah Ziva terus kangen aja pengen pulang," jelas Zivana.
"Ijin aja sama Bapak, pasti di kasih, kok. Bapak kan baik."
Ditengah obrolan antara Zivana dan Mbak Eni, tiba-tiba terdengar suara Winda memanggil. "Zivana, Papa ingin bicara sebentar," ujar Winda menahan Zivana agar tidak buru-buru ke kamar setelah makan malam.
"Iya, Ma, Ziva selesaikan ini dulu," jawab Zivana yang masih membantu Mbak Eni cuci piring.
"Ditunggu di ruang tengah, ya."
"Baik, Ma."
"Udah, Mbak Ziva temuin Bapak aja. Biar ini saya yang lanjutkan," ujar Eni.
"Nggak apa, Mbak, Ziva bantuin dulu. Tinggal sedikit juga."
Zivana tetap kekeuh membantu Mbak Eni sampai pekerjaan mencuci piring Mbak Eni selesai. Barulah ia menemui papa mertuanya.
Rupanya sudah ada Shaka dan juga Winda di ruang tengah menunggu Zivana.
"Ada apa, Pa?" tanya Zivana setelah duduk di samping Shaka.
"Papa sudah membicarakan soal kuliah kamu dengan ayahmu. Dia setuju kamu pindah ke kampus Shaka," ujar Bagas.
"Tapi, Pa, kalau pindah kampus Ziva harus mengulang dari awal. Sedangkan sekarang Ziva sudah sampai semester dua. Bukannya malah akan buang-buang uang, ya?" Ziva berusaha mengutarakan isi hatinya.
Tidak salah, kan. Toh memang benar jika ia pindah ke kampus Shaka tentunya ia harus mulai dari awal yang otomatis uang yang sudah masuk di kampus lama jadi sia-sia. Sayang sekali, bukan.
Selain itu juga sepertinya jadi rugi waktu karena harus memulainya dari awal. Yang seharusnya tiga tahun lagi ia bisa lulus jadi mundur karena pindah kampus.
"Apa tidak sebaiknya Ziva tetap di kampus Ziva. Kalau soal transport biar Ziva naik kendaraan umum saja jadi tidak akan merepotkan siapa pun." Zivana melirik Shaka.
"Tapi gue nggak rela lo di kampus lain. Gue nggak bisa ngawasin lo kalau lo kuliah di kampus lain, siapa yang tahu kalau lo nggak akan pacaran di sana. Kalau satu kampus sama gue, setidaknya gue bisa mantau lo." Shaka ikut berbicara.
Bahkan ucapannya membuat Zivana mengernyit heran. Memang sejak kapan pria ini peduli dengannya. Apa lagi soal pacaran. Alasan yang sungguh dibuat-buat hanya demi kepentingannya sendiri.
"Kalau itu alasan kamu, semua papa kembalikan lagi pada kamu dan Shaka. Papa tidak akan memaksa. Kalau kamu mau pindah jangan mengkhawatirkan soal biaya, Papa yang akan tanggung semua. Tapi kalau kamu tetap ingin di kampus kamu yang lama, semua juga terserah kamu dan Shaka. Karena sekarang Shaka yang bertanggung jawab pada kamu."
Idih ... bertanggung jawab? Apanya, orang pria ini hanya mementingkan diri sendiri.
"Kalau gue tetep mau lo pindah satu kampus sama gue. Capek gue nganter jemput lo terus. Belum lagi kalau jadwal kuliah gue sampai sore, makin kacau kan nanti."
"Nah, kan aku bisa naik angkutan umum," sela Zivana.
"Tapi gue tetep maunya lo pindah ke kampus gue. Sebagai istri lo harus nurut!"
Apa-apaan ini orang!
Belagak jadi suami yang perhatian tapi punya niat tersembunyi.
"Pa, Ziva bicarakan dulu berdua dengan Mas Shaka, ya."
Bagas mengangguk menyilakan. Sebagai orang tua ia hanya memberikan saran sementara keputusan tetap ada pada anak-anaknya.
Zivana dan Shaka pun ijin untuk ke kamar dan menyudahi pembicaraan dengan Bagas dan Winda.
"Heh, nurut aja kenapa sih, lo," ujar Shaka begitu sampai di kamar.
"Nurut ... nurut, lo pikir enak harus mulai dari awal lagi. Gue juga pengen cepet lulus, biar gue bisa lepas dari orang kayak lo!" Zivana mendudukkan dirinya di bangku yang biasa ia pakai untuk belajar.
"Gimana kalau gue nggak mau lepasin lo karena lo nggak nurut sama gue?" ancam Shaka.
"Dih, ngancem." Zivana seolah tidak takut dengan ucapan Shaka barusan.
"Gue serius!"
"Terserah lo, aja." Tak mau lagi peduli dengan pembicaraan ini, Zivana memilih membuka bukunya dan mulai belajar.
Di belakangnya Shaka terlihat kesal dengan sikap Zivana yang tak acuh. Jengkel dengan istrinya yang tak mau nurut Shaka mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Setelahnya ia mengambil jaket hitam miliknya dan berjalan ke pintu.
"Mau ke mana, lo?"
Pertanyaan yang tidak digubris Shaka. Pria itu segera pergi tanpa menjawab pertanyaan Shaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Erni Fitriana
penganten dengan perjanjian begini nihhhhh
2023-11-07
2