"Bagus lo ya, jam segini baru pulang. Ngelayap ke mana aja lo?" Dari atas ranjang Shaka bertanya. Lagaknya bak suami posesif karena istrinya pulang terlambat.
Zivana menatap aneh pada sikap Shaka.
"Seneng kan lo pacaran mulu, sampai lupa kalau lo udah nikah!"
Zivana tak habis pikir. Kerasukan apa ini orang?
"Bener-bener istri nggak tahu diri, ban motor suami kempes bukannya ditemenenin malah ditinggal pergi ama cowok lain. Istri durhaka lo!"
Oh ... Zivana paham sekarang. Masih soal ban motor kempes tadi pagi rupanya.
"Bukannya lo yang minta!" balas Zivana.
"Gue!" Shaka menunjuk dirinya sendiri, yang diangguki oleh Zivana.
"Iya, lo yang minta. Lo nggak mau kan ketahuan kalau udah punya istri. Kalau tadi gue nggak ikut motornya Amar, pasti Amar bakal curiga. Lagian asal lo tahu ya, gue tu nggak pernah pacaran. Sial aja tuh nasib gue tiba-tiba disuruh nikah sama berandal kayak lo." Zivana tidak mau lagi memperpanjang masalah ini. Membuat Shaka bungkam lebih baik.
"Lo sebut gue berandal. Terus lo apa, cewek cupu?" ujar Shaka seenaknya.
"Tapi, percaya sih gue kalau lo belum pernah pacaran. Lagian cowok mana yang bakalan mau ama cewek cupu kayak lo. Kalau emang ada pasti tu cowok buta."
Zivana tertawa dengan ejekan Shaka. "Berarti lo buta dong, buktinya sekarang ini yang jadi suami gue itu elo!"
Mata Shaka membeliak. Nampaknya ia salah bicara tadi. Kata-katanya justru menjadi boomerang baginya.
Menyudahi pembicaraan unfaedah ini Zivana memilih untuk meninggalkan Shaka yang masih syok karena kena skakmat oleh Zivana. Segera ia letakkan tas dan membersihkan diri. Ia harus segera bergabung untuk makan malam seperti pesan Winda ketika ia baru sampai tadi.
"Katanya kamu tadi telat ke kampus gara-gara ban Shaka kempes?" tanya Bagas di meja makan.
Sepulang kerja Bagas mendapat laporan dari Winda tentang apa yang terjadi tadi pagi dengan motor Shaka.
"Nggak telat-telat banget kok, Pa. Soalnya Zi langsung ikut motor temen Zi tadi."
"Arah kampus kamu dan kampusnya Shaka kan berlawanan, dan jauh dari rumah ini. Bagaimana kalau kamu pindah aja ke kampus Shaka, jadi kalian bisa berangkat bersama agar tidak telat. Kan bisa hemat waktu." Bagas mengusulkan.
Spontan Shaka berseru, "Nggak!"
Bagas, Winda, dan Zivana langsung menatap Shaka bersamaan.
"Biar aja dia tetep di kampusnya, nggak usah pindah ke kampus Shaka. Kalau nggak mau telat suruh aja dia naik kendaraan umum," sambung Shaka.
Shaka punya alasan kenapa Zivana tidak boleh pindah ke kampusnya. Tentu karena tidak ingin rahasia pernikahan mereka terungkap. Lagi pula siapa yang mau punya istri bermata empat dengan dandanan yang sudah ketinggalan jaman. Setiap hari model rambutnya tak pernah ganti. Seperti ekor kuda.
"Maafkan Shaka ya, Zi," ujar Winda.
Zivana mengangguk sembari mengulas senyum tipis. "Nggak apa, Ma."
Melihat sikap Winda yang memintakan maaf untuknya, bukannya senang Shaka justru membuang muka. Tidak ada rasa bersalah sama sekali untuk Zivana.
Shaka benar-benar kelewatan dalam bersikap pada ibunya. Bukan hanya di meja makan, bahkan ketika Winda menghentikan langkahnya yang hendak keluar malam, pria itu tak segan-segan menghardik Winda.
"Bukan urusan, lo!" sentak Shaka ketika Winda bertanya hendak ke mana pria itu.
"Shaka!" Bagas yang muncul dari kamar sontak tak terima istrinya dibentak oleh anaknya sendiri. "Minta maaf!"
Shaka bergeming.
"Minta maaf!" titah Bagas tak ingin dibantah.
Bukannya minta maaf, Shaka justru kembali naik ke kamar. Ia segera membanting pintu. Membuat Zivana yang masih duduk di meja belajar terlonjak kaget.
Zivana menoleh ke arah Shaka dan mengikuti pria itu hingga naik ke atas ranjang. "Kenapa, lo?"
"Kepo!"
Zivana mencebik kesal. Harusnya ia tak usah peduli apa lagi bertanya. Berurusan dengan berandal satu ini memang merepotkan dan menjengkelkan.
Tidak ingin merasa kesal sendiri, Zivana memilih untuk kembali fokus pada tugas kuliah yang harus ia selesaikan hari ini.
Beberapa saat berlalu, Shaka yang sedang asyik bermain rubik di atas ranjang mendapatkan ide cemerlang. Rasanya tidak buruk jika Zivana pindah ke kampus yang sama dengannya.
Dengan begitu ia juga bisa meminta untuk tinggal terpisah dari orang tuanya. Supaya hidupnya lebih bebas. Ia bisa keluar malam tanpa ada yang mengusik.
Seperti tadi ketika ia sudah bersiap akan keluar, tapi malah ketahuan sama mamanya dan papanya pun jadi tahu. Alhasil gagal sudah rencana Shaka untuk keluar. Karena setelahnya penjagaan rumah pasti akan diperketat.
"Hei ... culun," panggil Shaka.
Karena bukan namanya yang disebut, Zivana tetap tak acuh. Ia terus fokus pada tugasnya meskipun ia mendengar Shaka berbicara.
"Culun! Lo denger gue, nggak?" panggil Shaka lagi. Namun masih sama, Zivana tak menoleh sedikit pun.
Shaka dibuat kesal setelah beberapa kali panggilannya tidak digubris. Merasa diabaikan, Shaka turun dari ranjang dan menghampiri Zivana.
"Hei!" Shaka menepuk bahu Zivana.
Kali ini baru Zivana menoleh. Ia membetulkan letak kaca matanya agar pas untuk melihat objek.
"Kenapa?"
"Lo budeg, ya. Dari tadi gue panggil-panggil nggak nyahut!"
"Yang lo panggil tu siapa?"
"Ya elo, lah!"
"Gue punya nama, dan nama gue bukan culun. Bokap gue kasih gue nama yang bagus; Zivana, jadi jangan lo ubah seenak jidat lo!"
Mengungkit soal ayah mertuanya, terbersit rasa bersalah di hati Shaka. Zivana selalu tahu dan selalu bisa membuat Shaka mati kutu.
"Ya ... maksud gue, elo. Zivana," ujar Shaka canggung.
"Bagus kalau lo masih ingat nama yang lo sebut pas hari pernikahan. Kenapa manggil gue?"
"Ehm ...." Shaka mengusap kepalanya yang baik-baik saja.
Zivana mengernyit menatap suaminya.
"Lo boleh kok pindah ke kampus gue," ujar Shaka.
"Maksud lo?"
"Ya, lo kalau mau pindah ke kampus gue pindah aja. Kata bokap kan biar kita sejalan."
Zivana menaruh curiga pada Shaka, tadi saja di meja makan ia secara spontan menolak tegas kepindahannya ke kampus yang sama dengan Shaka. Sekarang pria ini bilang boleh pindah secara mendadak. Pasti ada rencana dibalik keputusan yang tiba-tiba ini.
Zivana memutar bangkunya agar bisa menatap langsung Shaka yang berdiri di sampingnya. "Katakan saja apa yang lo mau sebenernya, gua yakin lo punya maksud tersembunyi," todong Zivana.
Shaka langsung gelagapan mendengar tudingan Zivana. Tapi gadis ini memang tidak sebodoh penampilannya. Ia selalu tahu apa yang ada di otak Shaka.
"Kalau lo mau pindah ke kampus gue, lo bilang juga ke bokap kalau kita mau tinggal terpisah dari mereka. Bilang aja kita mau belajar mandiri. Kan kita udah nikah."
Zivana membeliak mendengar ide suaminya. "Nggak, gue bukan anak yang suka bohongin orang tua!" tolak Zivana.
"Di mana bohongnya. Kita kan emang udah nikah sungguhan, kalau orang udah nikah mau belajar hidup mandiri dengan terpisah dari orang tua itu kan wajar."
"Pokoknya gue nggak mau!" Zivana kembali memutar bangkunya kembali menghadap meja belajar.
"Eh ... dengerin gue dulu. Semua demi keuntungan kita berdua. Bukan cuma gue," bujuk Shaka.
"Pokoknya gak mau!" Zivana menutup kedua telinganya. Tidak ingin mendengar bujukan Shaka.
Namun tiba-tiba Shaka memutar bangku yang ia duduki. Membuatnya menghadap pria itu. Dengan sigap, Shaka mengurung Zivana dengan meletakkan kedua tangannya di samping kanan dan kiri tubuh Zivana.
"Mau apa, lo?"
Jujur Zivana sedikit takut dengan Shaka kali ini. Terlebih ketika tubuh pria itu begitu condong ke arahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Erni Fitriana
belum biasa dpt kejutan kamu ziiii
2023-11-07
1
hendy Lesmana
o
2023-10-24
1