Masih di taman, Neyla yang mendapati suaminya kini tengah berada di hadapannya, sudah seperti tertangkap basah. Mengelak pun susah, pikirnya.
Saat itu juga, Naren langsung menarik paksa lengan istrinya. Bersamaan emosinya yang sudah meluap, Naren mencengkeram lengan istrinya dengan kuat. Neyla sendiri meringis kesakitan atas perlakuan dari suaminya.
"Jangan sakiti istri kamu. Neyla tidak bersalah, tapi saya lah yang bersalah. Saya minta maaf karena sudah membawa istrimu tanpa izin. Kami berdua tidak ada hubungan apapun, hanya sebatas atasan dan bawahan, bos dan karyawan," ucap Zavan meminta maaf, agar lepas dari kecurigaan dari seorang Naren.
"Bohong. Mana ada maling mau mengaku salah. Ada pun itu cuma seribu satu orang yang akan mengakui kesalahannya, tapi jarang aku menemui orang yang mau mengaku salah. Awas saja kalau sampai terulang kembali dan aku memergoki kalian berdua sedang berduaan," jawab Naren sambil memberi ancaman, meski sebenarnya ingin mengajar habis-habisan untuk meluapkan emosinya.
"Percayalah denganku, Mas. Aku tidak mempunyai hubungan apapun dengannya. Tadi kebetulan saat mau pulang, si Bos mengajak mampir di taman ini sebentar. Katanya mau menikmati sore hari di taman. Jadi, ya aku mengiyakan." Timpal Neyla yang juga berusaha untuk meyakinkan suaminya.
"Benar. Yang dikatakan Neyla itu tidak bohong," ucap Zavan berusaha untuk tidak membuat suaminya Neyla mencurigainya.
"Awas saja kalau sampai kalian berdua bohong. Aku tidak akan pernah memaafkan kalian. Hari ini aku maafkan, tapi tidak untuk kesalahan berikutnya," jawab Naren menahan emosinya.
Bahkan, kedua tangannya saja masih mengepal kuat, dan siap untuk melayangkan tinjuan-nya.
Suami mana yang tidak marah jika melihat istrinya bersama lelaki lain. Lebih lagi yang tengah bersama istrinya adalah mantan kekasihnya dulu, yang pasti kecurigaan pun muncul lewat dibenak pikirannya.
Mulut bisa berkata baik-baik saja, tetapi hati bisa dikatakan hancur berkeping-keping saat melihat istrinya tengah bersama laki-laki lain.
Neyla sendiri bingung untuk memberi penjelasan kepada suaminya, karena memang dirinya telah bersalah atas perbuatannya. Tidak hanya tengah bersama mantan kekasih, tetapi juga telah mengkhianati suaminya dengan bermain ranjang dengan lelaki lain.
Namun, pikirannya kembali teringat saat suaminya berani bersikap kasar padanya, dan juga harus bekerja keras untuk membiayai pengobatan anaknya, Neyla seolah tengah dibutakan oleh keadaan. Juga, ia lupa jalan yang ia ambil adalah salah.
Naren yang tidak ingin berlama-lama di taman tersebut, langsung menarik istrinya dan mengajaknya pergi dari hadapannya Zavan.
Dengan langkah kakinya yang sulit untuk berjalan, Neyla tidak peduli jika harus tersandung sekalipun. Juga, ia terus menahan sakit pada jempol kakinya.
Saat sudah berada didalam mobil, Neyla masih terus diam. Ia takut jika sampai di rumah, suaminya akan bertambah murka. Lebih lagi tidak baru sekali suaminya marah besar terhadap dirinya, tetapi sudah dua kali Naren marah besar padanya soal Zavan.
Sedangkan Naren sendiri, ia menambah kecepatan laju mobilnya hingga tidak peduli dengan banyaknya kendaraan yang lalu lalang di sore hari dengan arah saling berlawanan.
"Mas. Jangan ngebut ngebut, aku takut. Nanti kalau kecelakaan, bagaimana?"
Neyla yang ketakutan karena kecepatan tinggi, ia mencoba untuk mengingatkan suaminya. Bukannya menuruti ucapan istrinya, justru Naren menambahkan lagi kecepatannya. Bahkan, tidak peduli jika terjadi sesuatu pada dirinya sendiri maupun istrinya.
Bagi Naren, yang terpenting emosinya dapat diluapkan. Tidak peduli baginya jika berakibat fatal.
"Aw!" pekik Neyla yang terasa nyeri ketika keningnya terbentur cukup kuat, sakit sudah pasti.
Neyla mengusap keningnya ksrena sakit dan terasa nyeri. Baru tersadar jika sudah sampai di depan rumah sakit.
Naren yang malas berbicara dengan istrinya, ia mengabaikan dan segera turun. Kemudian, Naren bergegas menemui putranya yang sedang dirawat di rumah sakit.
Neyla sendiri yang masih berada di dalam mobil, ia tertunduk sedih. Seolah dirinya tengah dipermainkan dengan nasib buruknya sendiri. Ingin mengakhiri hidupnya yang begitu pahit ia jalani dengan status pernikahan yang tidak ia dasari dengan cinta selama belasan tahun, benar-benar membuatnya seperti terpenjara.
Hidup dari lulus sekolah, ia dipertemukan dengan pernikahan. Setelah mendapat pendidikan, yakni selesai kuliah, Neyla harus menerima kenyataan pahit bahwa suaminya jatuh miskin. Saat itulah, kehidupan Neyla tidak semanis madu. Ditambah lagi saat putranya memasuki sekolah menengah pertama, Viro terkena penyakit lupus.
Disaat itulah, Neyla memutuskan untuk menjadi kupu-kupu malam demi kebutuhan hidup anaknya agar mendapat pengobatan yang cukup. Meski yang dilakukannya salah, Neyla tidak peduli jika harus menanggung akibatnya.
Kini, saat masalah perekonomian mulai menghimpit, Neyla dipertemukan kembali dengan mantan kekasihnya yang diketahui sudah sukses. Yang paling pahit dalam hidupnya, ia kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya dengan status hubungan gelap.
"Aaaaaa!" teriak Neyla meluapkan segala beban yang ia pendam selama ini.
Neyla menangis sesenggukan. Ia tidak tahu siapa yang harus ia benci, dan siapa yang harus bela. Dirinya sendiri dilema dengan keadaan yang tengah membebani hidupnya.
"Kamu mau turun apa gak? Viro memanggilmu. Kalau kamu gak menemui Viro, lebih baik kamu pulang. Percuma masih ada disini, tetapi tidak mau bertemu."
Neyla yang memang khawatir dengan kondisi putranya, ia segera turun dan menemuinya di ruang rawat pasien. Karena takut jika ia ketahuan habis menangis, Neyla mencari kamar mandi untuk mencuci mukanya agar tidak terlihat habis menangis.
Setelah itu, Neyla menemui Viro yang tengah ditemani ibunya. Perlahan, ia membuka pintu. Kemudian, ia mendekatinya dan duduk di dekatnya.
"Mama. Mama dari mana? kok gak bareng sama Papa."
Neyla berusaha untuk tersenyum, meski terasa berat karena banyaknya pikiran. Lebih lagi baru saja mendapat masalah, Neyla terasa lesu.
"Memangnya tadi Papa bilang apa, sayang?" tanya Neyla terlebih dulu, takutnya jawabannya salah, pikirnya.
"Papa bilang, kalau Mama lagi di kamar mandi. Katanya perut Mama sakit, benarkah?" tanya Viro sengaja mengganti jawaban dari ayahnya.
Sejak melihat ibunya dan ayahnya berdebat, saat itu juga Viro mulai banyak pikiran.
"Iya, sayang. Tadi perut Mama sakit, jadi Mama bolak balik ke kamar mandi. Maafkan Mama sudah membuat Viro menunggu," jawab Neyla berusaha untuk tersenyum.
Viro sendiri terdiam.
'Kata Papa, Mama lagi tidur didalam mobil. Tapi, kenapa Mama bohong? apa Mama sama Papa berantem lagi?' batin Viro bertanya-tanya.
Neyla yang memperhatikan putranya seperti tengah melamun, ia melambaikan tangannya tepat di depan wajahnya.
"Viro. Viro, kamu kenapa, sayang? kok melamun."
"Enggak apa-apa, Ma," jawab Viro beralasan.
"Oh iya, Viro udah makan belum?"
"Udah tadi bareng Nenek," jawabnya, Neyla pun tersenyum.
"Semoga cepat sembuh ya, sayang. Biar Viro bisa berangkat sekolah lagi. Semangat ya, tetep optimistis kalau Viro pasti sembuh," ucap Neyla menyemangati putranya, meski harapannya itu tipis.
"Ya, Viro. Kamu harus semangat. Jangan memikirkan apapun yang bisa membuat kamu drop. Mending pikiran kamu dibuat senang. Nanti setelah pulang dari rumah sakit, Papa akan mengajak Viro jalan-jalan." Timpal Naren ikut bicara.
"Bener ya, Pa. Nanti kalau Viro sudah pulang dari rumah sakit, kita jalan-jalan bareng Mama, juga Nenek."
Naren tersenyum dan mengiyakan.
"Iya, Nak. Papa pasti tepati janji," jawab Naren meyakinkan putranya.
Neyla sendiri justru terdiam, dirinya masih kepikiran soal masalah dengan suaminya, juga Zavan yang menjadi topik utamanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments