Detak jantung Zahra, menjadi tak karuan. Dia marah ketika mengetahui manusia-manusia berhati iblis bersorak-sorai melihat tubuh Bunga yang gemetaran. Kedua mata Zahra, memicing. Memperhatikan bagaimana lima lelaki yang sudah memperkosa dan membunuh itu tertawa puas.
"Dia sok cantik! Hahaha ..."
"Ayolah, sikat sekarang saja!"
Bunga menajamkan pendengarannya, sebab satu dari mereka, suaranya seperti tidak asing untuknya. Tapi, mata yang sudah dibuka lebar-lebar, tidak bisa mengenali wajah mereka dengan jelas.
'Ini, aku mimpi atau bagaimana?' tanya Zahra, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Plak!
"Jangan melawan! Sebaiknya nikmati saja, itu akan lebih menyenangkan. Hahaha ..."
'Hai! Lepaskan, Bunga! Brengsek!'
Zahra kembali berteriak, tapi tetap tidak mengubah apapun yang terjadi pada Bunga. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana keadaan Bunga, saat kelima laki-laki tersebut menggagahi tubuh Bunga hingga tak sadarkan diri.
Sebelum Bunga memejamkan matanya karena pingsan, tatapan matanya beradu pandang dengan Zahra. Hal ini tampak nyata, sehingga membuat Zahra terkejut.
'Jika ini mimpi, kenapa aku bisa melihat tatapan matanya yang seperti minta tolong?' batin Zahra bertanya.
'Tapi, jika ini nyata? Aku, ada di rumah saat Bunga meninggal dunia. Apa ini sebenarnya?'
Bingung, Zahra merasa tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kini muncul di dalam hatinya. Apalagi, pekikan kesakitan Bunga, terdengar begitu nyata di telinganya.
'Zahra, tolong. Tolong, aku.'
'Aku kecewa denganmu, Zahra,' ucap Bunga, ketika mengetahui jika ada Zahra yang tak jauh dari tempatnya digagahi.
Zahra, terperangah menanggapi ucapan Bunga. Apalagi saat mendengar teriakkan Bunga, saat punggungnya dipukul, ketika tubuhnya dibalik.
'Aku sungguh sangat kecewa denganmu, Zahra.' Terdengar lagi suara Bunga, yang terdengar aneh di telinga Zahra.
Rasa sakit di punggung Bunga, seakan-akan dirasakan juga oleh Zahra. Ini sangat aneh, apalagi Zahra sangat sadar, jika s nya sudah berlalu seminggu yang lalu. Tapi rasa sakit itu ikut dirasakannya sekarang, bahkan rasa kesakitan yang teramat sangat dirasakan Zahra.
"Ibu ..." teriak Zahra.
Seketika teriakkan itu senyap, ketika keadaan tidak lagi sama seperti yang tadi dirasakan Zahra. Dia sudah kembali ke alam nyata!
"Zahra, bangun Nak! Zahra!"
Sayup-sayup terdengar suara Warsih, yang memangil nama anaknya. Wajahnya tampak khawatir, karena Zahra pingsan dan tidak sadar sedari habis isya. Sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB.
"Hentikan, Mbakyu!" Murni berteriak, tangannya menahan tangan Warsih, yang akan menyentuh wajah Zahra.
Warsih membalikkan badannya, membuat Murni menatapnya dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. "Kenapa?" tanyanya kemudian. Dia hanya ingin mengetahui keadaan anaknya.
"Hahaha ... Zahra, tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Bunga."
Muri, tertawa melihat Warsih yang memicingkan matanya menahan amarah. Mbakyu nya itu tidak mengerti sepenuhnya, apa maksud dari perkataanya barusan.
"Apa maksudnya, Murni?" tanya Warsih penasaran. Dia, meskipun tahu bagaimana adiknya ini yang sebenarnya, tapi tidak pernah tahu apa-apa tentang keadaannya setelah Bunga tiada.
Entah kekuatan dari mana, Warsih berhasil mencengkeram tangan Murni, lalu menatapnya dengan tatapan tajam menantang. "Apa yang kamu lakukan pada anakku?" tanyanya dengan amarah.
"Ehhh, bukan berarti aku harus mengatakan semuanya, Mbakyu!"
Murni, berhasil menghentakkan tangan Warsih yang mencengkeram tangannya. Dia tidak terima dengan pertanyaan Warsih.
"Mbakyu paham dengan ketidakmampuan ku, melihat Bunga menderita. Aku, hanya ingin mendapatkan sedikit keadilan atas kematian Bunga. Apa itu salah, Mbakyu?"
Zahra, yang belum sepenuhnya sadar masih berusaha untuk mendengar semua pembicaraan ibunya dengan ibunya Bunga, yang merupakan adik kakak. Dua ingin bertanya, tapi kemungkinan besar ia tidak akan mendapatkan apapun jika dalam keadaan sadar. Jadi, Zahra terus berpura-pura untuk pingsan untuk mengetahui segalanya.
'Apa maksudnya ini? Apa yang dibicarakan ibu dengan Bu Lek?' tanya Zahra membatin.
'Sepertinya, mereka berdua ada rahasia yang tersembunyi dan tidak pernah aku ketahui. Tapi apa?'
Zahra, kembali bertanya tentang situasi ini. Sayangnya, dia tidak bisa menemukan jawaban apapun atas kebingungannya kali ini.
Tak lama kemudian, terdengar suara Murni, yang pamit pulang. "Aku pulang, Mbakyu. Kamu, jagalah Zahra supaya tidak keluyuran setiap hari. Kamu, harus memantaunya!"
Sunyi, karena Warsih tidak menjawab atau menyahuti perkataan adiknya. Setelahnya, terdengar langkah kaki keluar dari kamar Zahra. Tapi langkah tersebut dari dua pasang kaki, yang artinya, Warsih juga ikut keluar dari kamar. Mungkin saja dia mengantar adiknya sekalian menutup pintu.
'Apa sudah aman? Aku mau membuka mata."
Sayangnya, saat Zahra membuka matanya, di pojok kamar dekat dengan ujung ranjang, dia melihat keberadaan sosok Bunga yang dalam kondisi mengenaskan.
"Bung_nga, kamu_"
Tatapan Bunga, tampak tersenyum miris. Bau anyir darah tercium menyengat di indera penciuman Zahra.
"Bukan, ini bukan kamu, Bunga. Kamu, adalah sepupuku, temanku yang baik. Apa yang terjadi pada malam itu, Bunga?"
Pertanyaan demi pertanyaan diajukan Zahra. Sayangnya, Bunga tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Bunga hanya memperlihatkan wajahnya yang berdarah dengan banyaknya belatung yang berjatuhan ke lantai.
Clek
"Zahra! Kamu, sudah sadar?" tanya Warsih, begitu menemukan Zahra yang duduk di tepi ranjang dalam keadaan ketakutan.
"Bu, itu Bunga!" Zahra, menunjuk ke arah pojok kamar.
"Bunga? Tidak ada siapapun, di sini. Zahra, kamu tidak apa-apa?" Warsih, tampak khawatir dengan keadaan anaknya yang seperti ini.
"Sebaiknya kamu tidak pergi kemana-mana. Besok, tidak usah bertemu Radit!"
Gelengan kepala Zahra, membuat Warsih geram. Dia kesal karena anaknya tidak mau mendengarkan nasehatnya.
"Zahra. Sekali ini, dengar kata Ibu. Kamu sedang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, bukan untuk menyelesaikan masalah Bunga. Tapi ini jauh dari apa yang kamu bayangkan."
Kening Zahra berkerut saat mendengar pernyataan ibunya, yang tidak diketahui apa maknanya. Dia tidak paham dengan apa yang baru saja dijelaskan Warsih.
"Kenapa, Bu? Kenapa kematian Bunga, menyisakan banyak pertanyaan dan misteri yang rumit?" tanya Zahra, ibunya untuk memberikan penjelasan tentang situasi yang tidak diketahuinya.
Menurut Zahra, kematian yang dialami Bunga bukan hanya sekedar kriminalitas belaka. Ada motif besar yang tersembunyi, yang menjadi penyebabnya.
"Kamu, tidak akan mengerti, Zahra. Jangan sampai kamu, terlibat dan menjadi sasaran selanjutnya!" Warsih, berkata dengan nada tinggi dan penuh tekanan.
"Hahhh! Ibu tidak tahu bagaimana menjelaskan. Yang penting, kamu tidak lagi ikut campur!"
Sadar bahwa dia kelepasan bicara, Warsih keluar dari kamar anaknya. Menyisakan tanda tanya besar di kepala Zahra, yang tidak bisa berdiam diri dengan semua pertanyaan yang sedari awal sudah mengganggunya.
"Apa? Kenapa tingkah ibu sangat aneh? Dan Bu Lek Murni, apa maksud perkataannya tadi, yang menyatakan bahwa aku tidak bisa menolong Bunga?" tanya Zahra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments