Situasi semakin rumit bagi Zahra ketika Warsih dan ibunya sama-sama menolak tawaran bantuannya, padahal ia sendiri belum mengatakan apa-apa soal bantuan yang ditawarkan.
Tapi, pagi hari saat Zahra datang bersama Radit, mengutarakan maksud bantuan mereka, Warsih menegaskan bahwa dia tidak ingin melakukan otopsi dan penyelidikan. Warsih berpendapat bahwa itu akan membuat Bunga menderita lebih banyak lagi setelah meninggal dunia.
"Bu Lek, Zahra mengerti bahwa ini adalah saat yang sulit bagi kita semua. Tapi jika kita memiliki keterbatasan keuangan, Radit bersedia membantu dengan biaya otopsi dan penyelidikan. Itu bisa membantu kita mendapatkan kebenaran dan keadilan bagi Bunga. Bu Lek tahu, kan siapa Radit?"
Warsih melihat Zahra dan Radit dengan wajah marah. Tegas dia berkata jika tidak akan mau melakukan apapun untuk jenazah Bunga, yang sudah dimakamkan.
"Tidak! Aku tidak ingin Bunga disentuh lagi setelah dia pergi. Dia sudah menderita cukup banyak. Jangan lagi bicarakan otopsi atau penyelidikan ini. Aku tidak ingin melibatkan orang lain dalam penderitaan ini."
Zahra menghela nafas panjang, menghadapi kekerasan hati ibunya Bunga.
"Zahra mengerti, bahwa Bu Lek khawatir dan ingin melindungi Bunga. Tapi jika ada kemungkinan untuk mengungkap kebenaran dan memperoleh keadilan, Zahra pikir kita harus mencoba. Bunga layak mendapatkan kebenaran dan keadilan."
Dengan kata-kata yang mudah dicerna, Zahra memberikan penjelasan kepada Warsih, supaya mengijinkan dirinya dan radit melakukan penyelidikan dan otopsi.
"Aku sudah membuat keputusan ini. Kamu tidak perlu ikut campur, Zahra! Aku tidak ingin melihat Bunga menderita lebih banyak lagi. Jika kalian tetap melakukan ini, aku tidak akan memaafkan kalian berdua. Jadi, cukup."
Warsih, dalam ketidakmengertiannya, menolak untuk melanjutkan dengan otopsi dan penyelidikan karena merasa itu akan menyebabkan lebih banyak penderitaan bagi anaknya, Bunga. Dia juga menentang campur tangan dari pihak lain dalam situasi ini.
Sedangkan Zahra, tetap percaya bahwa upaya untuk mengungkap kebenaran adalah hal yang penting.
Perkataan Warsih menunjukkan ketegasan dan keputusannya untuk tidak melanjutkan proses investigasi. Dia bahkan mengancam Zahra, jika nekad untuk melakukan niatnya.
Situasi ini menciptakan ketegangan dan perbedaan pendapat yang sulit untuk diatasi antara Zahra dan Warsih dalam pencarian kebenaran mengenai kematian Bunga. Tapi, akhirnya Zahra mengalah. Dia pamit pada Warsih, kemudian mengajak Radit pulang.
***
Desa Mangga adalah sebuah desa yang terletak di kaki gunung yang cukup terpencil. Desa ini memiliki karakteristik kehidupan sederhana bagi penduduknya. Jalanan desa belum diaspal, sehingga masih berupa jalan setapak atau tanah berbatu yang membelah hamparan sawah dan kebun-kebun petani.
Mayoritas penduduk di Desa Mangga adalah petani. Mereka menggantungkan kehidupan mereka pada pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Sawah-sawah hijau dan ladang-ladang menyebar di sekitar desa, dengan petani yang bekerja keras untuk mengolah tanah dan menanam berbagai jenis tanaman seperti padi, jagung, sayuran, dan buah-buahan.
Akses listrik di Desa Mangga masih terbatas. Hanya di pusat desa terdapat sambungan listrik, sementara sebagian besar rumah warga di desa ini tidak memiliki akses listrik. Beberapa rumah yang lebih mampu ekonominya dapat menikmati aliran listrik yang disalurkan dari pusat desa, meskipun listriknya hanya tersedia hingga pukul 9 malam. Setelah jam tersebut, penduduk mengandalkan lampu petromax sebagai sumber penerangan yang sering digunakan di banyak rumah.
Meskipun desa ini terpencil, kehidupan di Desa Mangga tetap berjalan dengan ritme alami dan tenang. Masyarakat desa memiliki sikap gotong-royong yang kuat dan saling membantu satu sama lain dalam kegiatan pertanian dan kegiatan sehari-hari. Budaya tradisional masih dijaga dengan baik, dengan adanya acara-acara adat dan kegiatan komunitas yang rutin dilakukan.
Alam di sekitar Desa Mangga juga menawarkan keindahan yang memukau. Gunung yang menjulang tinggi menghiasi latar belakang desa, memberikan pemandangan yang menakjubkan dan memberikan rasa kedamaian bagi penduduk desa. Udara segar dan keindahan alam menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin menjelajahi daerah ini.
Walaupun Desa Mangga memiliki keterbatasan dalam infrastruktur dan fasilitas modern, kehidupan sederhana dan kebersamaan dalam menjalani keseharian menjadi ciri khas yang melekat pada desa ini. Desa Mangga adalah tempat yang cocok bagi mereka yang mencari ketenangan, kehidupan yang dekat dengan alam, dan kehidupan yang terhubung erat dengan tradisi dan kearifan lokal.
"Tidak ada perubahan yang signifikan, sejak aku meninggalkan desa ini."
Zahra menoleh ke arah Radit, yang kini duduk di pematang sawah bersamanya, setelah pulang dari rumah Warsih.
"Apa yang berubah? Semua orang yang sudah merasa nyaman berada di luar desa ini tidak mau kembali. Sama seperti kamu juga, kan?" tanya Zahra, menyindir Radit.
"Hehehe ... bukan begitu, Zahra."
Warga desa Mangga sebenarnya banyak, tapi banyak dari mereka yang pergi dari desa sehingga rumah tampak kosong, sebab ditinggalkan karena penghuninya yang bekerja ke kota, bahkan ke luar negeri untuk mendapatkan uang yang banyak agar bisa kembali ke desa kemudian membangun rumah mereka menjadi lebih baik.
Kebanyakan rumah masih berupa papan atau setengah tembok, semi permanen, dengan atap rumbia atau dedaunan yang dianyam. Jadi, hanya rumah-rumah penduduk yang kaya yang tampak bagus dan permanen berupa tembok dan genteng sebagai mestinya.
Kehidupan masyarakat sangat beragam dalam hal kepercayaan agama. Mayoritas penduduk desa menganut agama Islam, tetapi sebagian besar juga masih mempraktikkan kepercayaan nenek moyang atau kejawen.
"Berapa lama ijin kerja, dan kapan balik?" tanya Zahra memecah keheningan.
Radit menoleh cepat, kemudian tersenyum samar. Dia batu sampai kemarin atas permintaan Zahra, dan sekarang gadis itu juga yang bertanya, seakan-akan tidak menginginkannya berada di sini.
"Kenapa? Apa kamu, mengusirku?"
Zahra, melengos mendengar pertanyaan tersebut. Dia tidak tahu, kenapa pertanyaan tersebut yang tadi keluar dari mulutnya.
'Asstagfirullah ... Aku seperti orang yang tidak tahu diri!'
Menyadari kesalahannya, Zahra menunduk dan tidak berani mengatakan apa-apa untuk menjawab pertanyaan Radit.
"Aku merindukan pagi yang indah di Desa Mangga, suasana yang tenang dan juga damai." Radit berkata, seakan-akan memberikan alasan pada Zahra.
"Maaf," ucap Zahra, masih dalam keadaan menunduk.
Mendengar permintaan maaf Zahra, Radit menoleh sekilas kemudian kembali fokus ke depan, di mana tanaman padi mulai menguning seperti gambaran permadani yang cantik menyegarkan mata.
"Mbak Zahra!"
Zahra, menoleh ke arah suara yang memanggil namanya. Tapi, sebelum Zahra menyahut, orang tersebut kembali berkata dengan bertanya, "lho, Mas Radit? Ini, Mas Radit kan?"
Radit tersenyum tipis kemudian mengangguk, sama seperti yang dilakukan oleh Zahra.
"Kapan pulang, Mas Radit?" tanya Ratih, gadis yang nanti memanggil Zahra.
"Kemarin," jawab Radit pendek, menyambut uluran tangan Ratih untuknya.
"Gak balik lagi ke kota, kan? Ayo, Mas Radit! Bantu Mas Rian keluar dari keadaan yang memojokkan dirinya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Bundanya Pandu Pharamadina
Rian semoga tidak keseret dgn kematian Bunga
2023-10-06
0
Inari
Keren banget sih, Plot twist-nya bikin baper!
2023-07-18
1
ZodiacKiller
Jangan tinggalkan aku bersama rasa penasaran, thor! 😩
2023-07-18
1