Akhirnya Bertemu

Di rumah Bunga, Murni, ibu Zahra, berusaha untuk berbicara dengan hati-hati ketika dia memberitahu Warsih tentang berita yang tersebar di desa setelah kematian Bunga.

Suasana di ruang tamu tampak tegang, dengan Warsih terlihat tenang tetapi kilatan marah terpancar dari matanya.

"Warsih, apakah kamu baik-baik saja? Aku tahu ini adalah waktu yang sangat sulit bagimu setelah kehilangan Bunga. Aku berharap kita bisa saling mendukung di tengah rumor dan berita yang menyudutkan almarhum," ujar Murni memberikan dukungan.

Sudut bibir Warsih bergerak naik meskipun samar, sedangkan air mukanya masih terlihat sangat teneng. Tak lama kemudian ia berkata dengan suara lirih. "Mbak Yu, matur suwun. Terima kasih atas kepedulianmu. Aku juga sudah mendengar tentang berita itu. Meskipun ada banyak rumor yang beredar, aku tidak akan membiarkan itu menghancurkan ketenangan dan niat dalam hatiku."

Murni menghela nafas lega, meskipun ada sesuatu yang sedang dipikirkan.

"Aku senang mendengarnya, Warsih. Aku tahu betapa kuatnya kamu. Tetapi, jika ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membantumu melewati masa sulit ini, silakan beritahu aku. Jangan melakukannya sendiri."

Ibunya Bunga adalah adik sepupu Murni, sedikit banyak ia tahu bagaimana kepribadian aslinya yang tidak diketahui oleh orang lain.

Warsih menghela nafas panjang. "Aku hanya ingin mengingat Bunga dalam kenangan indah. Biarkan orang lain berkomentar dan berspekulasi. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku percaya dengan apa yang seharusnya aku lakukan setelah Bunga pergi untuk selamanya."

Mendengar hal tersebut, Murni memiringkan kepalanya untuk melihat lebih jelas bagaimana wajah adik sepupunya itu. Wajahnya menegang dengan rahang bawah yang mengeras.

Murni memegang tangan Warsih dengan penuh empati. Dia juga menggelengkan kepalanya, di saat merasakan sesuatu yang tidak beres.

"K-amu, apa yang kamu lakukan Warsih? Jangan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kamu lakukan lagi!" Murni memberikan peringatan pada adik sepupunya.

"Opo, Mbak Yu? Opo harga diri ini yang telah diinjak-injak mereka, dengan melakukannya batu Bunga? Bayangkan saja, jika ini terjadi pada Mbak Yu. Memang apa yang Mbak Yu lakukan, seandainya apa yang terjadi pada Bunga terjadi pada Zahra?"

Murni terdiam dengan wajah pucat. Dia tidak mau membayangkan sesuatu yang ditetapkan oleh Warsih.

"Tapi, seharusnya kamu membiarkan polisi untuk menyelidikinya, bukannya menolak."

Senyum sinis tampak pada wajah Warsih yang tidak lagi muda, mendengar nasehat yang diberikan oleh kakak sepupunya.

"Polisi? Hukum? Kita siapa, Mbak Yu?" tanya Warsih seperti sedang mengingatkan juga.

"Apa orang lemah dan miskin seperti kita layak mendapatkan keadilan hukum? Sepertinya tidak! Dan itu sudah pernah kita buktikan, bukan?" tanya Warsih dengan mata menatap tajam ke arah Murni.

"Mbak Yu tidak lupa, kan?" imbuh Warsih.

Murni diam dan tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dia ingat betul apa yang sedang dibicarakan oleh adik sepupunya saat ini.

"Tidak seharusnya kamu mengingatkan aku pada seseorang, Warsih."

"Heh, ini pasti ada hubungannya. Dia masih dendam padaku!" teriak Warsih tertahan.

"Bukan. Kamu tidak ada hubungannya dengan semua itu. Aku, aku yang seharusnya lebih sakit hati dengan kejadian itu." Tidak sadar, air mata Murni menetes.

"Tapi aku yang membuat mereka mendapatkan hukuman, Mbak Yu. A-ku, aku yang mereka incar sehingga melampiaskannya pada Bunga. Mereka sadar, tidak akan bisa menyentuh Zahra! Hiks ..."

***

Malam datang, mengantikan hari yang terang dengan sinar mentari. Kini, cahaya bulan masih malu-malu tertutup mendung tipis.

"Wak. Aku kok merinding ini, ayep."

"Hih, ojo medeni!" (Hih, jangan nakutin!)

Pak Sam bersama satu temannya yang lain, sedang tugas ronda lagi. Kini mereka mulai berkeliling pada pukul 09.00 malam, setelahnya mereka bermaksud pulang ke rumah saja tidak mau berada di pos ronda. Takut jika kejadian waktu itu berulang lagi.

Mereka hanya berdua saja, sebab tiga teman lainnya, masih ada yang sakit dan ada yang keluar desa karena pekerjaan.

"Ojo mencar, aku wedi!" (Jangan berpisah, aku takut!)

Wusss

"Heh, opo iku mau?" (Heh, apa itu tadi?)

Tapi, satu temannya yang tadi bersama dengan pak Sam, nyatanya sudah tidak bersamanya. Entah kemana temannya tadi.

"Sopo iku? Wak, ojo medeni Wak!"

Pak Sam, berpikir bahwa bayangan yang dia lihat di balik pohon jambu tak jauh dari tempatnya berdiri adalah temannya yang tadi.

Srek klek

Pak Sam, terkejut saat kakinya menginjak sesuatu. "Eh? I-itu ... Bu-nga!"

"Hihihi ... Kematianku tidak akan pernah terlupakan. Kalian semua akan merasakan penderitaan yang sama seperti yang kualami. Hihihi ..."

Hantu perwujudan Bunga, muncul secara tiba-tiba dan tak terduga di tempat-tempat yang tidak terduga pula. Sama seperti sekarang, padahal pak Sam sedang tugas ronda. Seharusnya hantu perwujudan Bunga tidak menakutinya.

Tampak Bunga yang tertawa, tapi penampilannya mengerikan dan memprihatinkan. Dia memiliki wajah pucat dengan luka-luka parah, rambut yang kusut dan basah, dan mata yang kosong dengan memancarkan cahaya yang menakutkan.

Tentu saja ini membuat pak Sam tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bergerak atau pun berteriak lagi. Mulutnya seakan terkunci, sedangkan kakinya seperti menyatu dengan tanah. Tidak bisa digerakkan sama sekali.

"Mh ... a ..."

Pak Sam benar-benar tidak bisa mengeluarkan suaranya. Dia gagu secara tiba-tiba.

"Hihihi ... Kemana suaramu yang memanggilku dari alam kematian. Siapakah berani mengganggu istirahatku?" tanya hantu tersebut, seakan-akan bergema.

'Mampus! Bagaimana ini, aku tidak bisa bergerak!' batin pak Sam.

"Aku akan menghantui mimpi-mimpi kalian, merangkai ketakutan yang tidak akan pernah kalian lupakan. Hihihi ..."

Suara tawa Bunga yang nyaring, lambat lain terdengar parau seperti kesedihan. Memberikan gambaran tentang bagaimana keadaannya yang tersiksa saat itu.

"Hihihi ... Tak ada tempat yang aman dari kehadiranku. Aku akan selalu berada di belakangmu, mengintip dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang."

Mata Pak Sam melotot. Darahnya seakan-akan berhenti mengalir. Rasa takut ini telah mematikan sebagian dari kehidupannya.

'Apa aku akan mati, malam ini?' tanya pak Sam dalam hati.

"Darahku terus menjerit meminta balas dendam. Kalian semua akan membayar harga atas tindakan mengerikan yang kalian lakukan. Hihihi ..."

Setelah berkata demikian, tubuh Bunga melayang dengan kepala yang miring sepakan patah. Sedangkan darah mengalir di sekujur kepalanya, bercampur dengan rambutnya yang akhirnya basah karena darah.

Bau anyir darah menusuk indera penciuman pak Sam. Dia ingin muntah, tapi mulutnya terkunci. Ini benar-benar tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Selama ini, pak Sam memang banyak mendengar tentang penampakan Bunga yang meneror banyak warga. Tapi, ia sendiri belum pernah melihatnya. Dan sekarang ini ia sangat menyesal.

"Hihihi ... Teror ini hanyalah awal dari penderitaan yang akan kalian hadapi. Aku akan menjaga kalian dalam bayang-bayang ketakutan selamanya. Hihihi ..."

Pak Sam, sudah jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Dia tidak lagi mendengar suara-suara Bunga dalam perwujudan yang menyeramkan.

Terpopuler

Comments

Bundanya Pandu Pharamadina

Bundanya Pandu Pharamadina

makin penasaran... kenapa yg ronda di teror

2023-10-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!