Setelah itu, Papah Ibnu dan yang lainnya pamit pulang. Hingga kini hanya ada Areksa dan Kiran saja di rumah besar itu, karena memang keduanya tidak memperkerjakan pelayan kecuali untuk bersih-bersih dan itu pun hanya datang siang hari. Setelahnya Kiran yang akan mengerjakan semuanya sendiri.
Kiran kembali mendorong kursi roda yang di naiki Areksa masuk ke dalam rumah mereka. Terlihat Areksa memperhatikan dengan seksama setiap sudut rumah mewah itu. Ada perasaan tidak asing pada rumah yang menurut ingatan Areksa baru pertama kali dia kunjungi itu.
“Ada dengan perasaan ini? Mengapa aku merasa begitu familiar dengan rumah ini?” batin Areksa terus memperhatikan sekitarnya.
“Benarkah aku benar-benar sudah menikah dengan Kiran selama lima tahun dan ini rumah kami berdua? Lalu kenapa kami tidak memiliki anak, bahkan aku tidak merasakan perasaan apapun terhadapnya?”
“Dan aku bahkan selalu merasa kecewa setiap kali menatap wajahnya? Sampai aku ingin sekali menghindar dari sisinya.”
Areksa terus bertanya-tanya dalam hatinya, dia berusaha mengingat sesuatu tetapi tidak ada satu ingatan tentang rumah itu muncul di kepalanya. Dia hanya merasa sangat familiar pada rumah itu, tapi tidak bisa mengingatnya satu pun kenangan yang berhubungan dengan rumah tersebut.
“Sepertinya Mas Areksa merasa tidak asing dengan rumah ini?” batin Kiran dengan apa yang dia lihat.
“Biarlah dia mencoba mengingat sendiri kenangan kami di rumah ini. Semoga saja dia perlahan mulai mengingatku kembali,” sambung Kiran.
Sedangkan Kiran hanya memperhatikan respon suaminya dalam diam. Kiran ingin Areksa yang lebih dulu mengutarakan pertanyaan kepadanya, baru dia akan menjelaskan tentang rumah mereka.
Namun, setelah berselang beberapa menit Areksa tetap tak ingin menanyakan apapun kepadanya. Sampai akhirnya Kiran hendak berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum, tiba-tiba Areksa menghentikannya.
“Kau mau kemana?” tanya Areksa yang berhasil membuat Kiran menghentikan langkahnya.
“Mau ke dapur untuk mengambil minum! Mas Areksa merasa haus, bukan?” jawab Kiran dengan senyuman manisnya yang selalu dia tunjukan kepada suaminya.
“Emm, … Pergilah!” ujar Areksa yang segera mengalihkan pandangannya dari Kiran.
Kiran sekilas memberikan senyumannya, kemudian dia berjalan ke arah dapat untuk membasahi tenggorokannya yang terasa begitu haus.
Tidak lupa, Kiran juga mengambilkan segelas air untuk suaminya. Segelas air putih yang hangat-hangat kuku, kesukaan Areksa.
“Ini, Mas!”
Kiran segera menyerahkan segelas air minum itu kepada suami masih dengan senyuman manisnya. Areksa sedikit terkejut karena Kiran memberikan segelas air hangat untuk dirinya.
Harus Areksan akui bahwa semenjak dirinya sadar di rumah sakit, Kiran selalu memberinya apapun yang menjadi kesukaannya seolah wanita itu mengetahui segala hal tentang dirinya.
“Bagaimana bisa dia mengetahui bahwa aku menyukai air hangat? Bukan hanya kali ini saja, tetapi sebelumnya juga begitu? Seolah dia memang sudah mengetahui segalanya tentang diriku,” batin Areksa yang sedikit curi-curi pandang sambil meminum air yang ada di gelas itu.
Sementara Kiran hanya diam memperhatikan suaminya yang selalu mencuri pandang padanya. Akan tetapi, Kiran tetap bersikap seolah dia tidak menyadarinya sama sekali. Sampai minuman itu habis, Kiran segera mengambil gelas kosong itu dari tangan suaminya.
“Emm, … Apa ini rumahmu?” tanya Areksa yang tidak tahan dengan rasa familiar nya terhadap rumah mewah itu.
“Bukan, tapi rumah kita!” jawab Kiran mengatakan kebenarannya.
“Ru-rumah kita?” Areksa tampak tak mempercayainya.
“Iya, rumah kita! Sejak kita menikah lima tahun yang lalu, kita sudah menempati rumah ini. Apa Mas Areksa mulai mengingat sesuatu tentang rumah ini?” jelas Kiran yang di akhiri dengan sebuah pertanyaan untuk memastikan.
Areksa menggelengkan pelan kepalanya dan berkata, “Tidak!”
“Tidak apa-apa! Aku akan selalu membantu Mas Areksa untuk mengingatnya. Mau berkeliling rumah ini sebentar?”
Kiran menawarkan dengan senyuman manis yang selalu terpatri di bibirnya, meski hatinya merasa begitu sakit dan kecewa. Areksa yang memang sejak awal merasa penasaran dan familiar dengan rumah mewah itu, tentu saja langsung menganggukkan kepalanya pertanda dia setuju dengan tawaran dari Kiran.
Kiran pun kembali mendorong kursi roda yang di naiki suaminya dengan penuh antusias. Membawanya berkeliling rumah mereka sembari menceritakan setiap momen indah yang terjadi di setiap sudut rumah tersebut.
Walaupun tetap tiada satu pun kenangan manis mereka yang berhasil Areksa ingat kembali.
Hingga tibalah Kiran untuk menunjukan kamar utama yang selama ini di gunakan mereka berdua.
Areksa segera melebarkan kedua bola matanya ketika melihat foto pernikahan Kiran dengan dirinya terpanjang begitu besar di dinding kamar tersebut.
“Apa Mas Areksa kali ini juga tidak mengingatnya?” tanya Kiran ragu, tapi tetap saja harapan bahwa Areksa sedikit mengingatnya masih ada di dalam hatinya.
“Aku juga tidak mengingatnya.” Jawaban dari Areksa kembali membuat Kiran menelan pil pahit sebuah harapan tak berujung.
“Hanya saja aku selalu merasa tidak asing dengan semua ini,” lanjutnya dalam hati.
“Ini kamar kita, Mas! Kita lebih banyak membuat kenangan di kamar ini,” jelas Kiran dengan nada penuh kekecewaan.
Areksa hanya bisa diam, sebab dia cukup peka untuk merasakan kekecewaan yang sedang Kiran rasakan saat ini.
Namun, Areksa lebih memilih mengabaikan perasaan tidak nyamannya itu setiap kali melihat Kiran yang menunjukan raut wajah kesedihan serta kekecewaan terhadap setiap jawaban yang dia berikan setiap kali Kiran bertanya.
“Sebaiknya Mas Areksa istirahat saja sekarang dan aku akan membuat makan siang untuk kita berdua,” ujar Kiran yang mengalihkan topik pembicaraan.
Kiran kembali mendorong kursi roda Areksa agar semakin mendekat pada sisi ranjang. Namun, ketika Kiran berniat membantu memindah tubuh suaminya ke atas ranjang dengan cepat Areksa menolaknya.
Dengan gugup Areksa bertanya, “Tunggu! Apakah kita akan tidur satu ranjang?”
“Tentu saja! Bukankah kita sepasang suami istri?” jawab Kiran dengan polosnya.
“Apa kau lupa bahwa aku tidak mengingatmu sebagai istriku?” ujar Areksa sedikit meninggikan nada bicaranya karena merasa gugup.
“Aku tidak lupa, tapi bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan tetap menganggap aku sebagai istrimu selama perjanjian kita berlangsung,” terang Kiran mengingatkan.
“Memangnya ada sepasang suami istri yang beda ranjang?” sambungnya seakan mendesak Areksa agar tidak menolaknya.
“Haaah, … Baiklah, tapi tetapi juga janjimu untuk tidak ikut campur akan hubunganku dengan Anya!”
Perkataan Areksa tanpa sadar kembali melukai hatinya. Setiap Areksa menyebut nama mantan masa lalunya selalu berhasil membuat hati dan perasaan Kiran seolah teriris oleh suatu benda yang sangat tajam.
Kiran hanya bisa diam menahan butiran air matanya yang sudah hampir melesat, sungguh dia tidak ingin menangis lagi di depan suaminya itu.
“Baiklah!” lirih Kiran pasrah dengan keadaannya saat ini yang di lupakan oleh suaminya sendiri.
Bersambung, .....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Fahmi Ardiansyah
sabar Kiran suatu hari pasti areksa akan ingat n dia pasti akan menyesalinya Krn udh menyakiti hati kamu.
2024-12-11
0
🤩😘wiexelsvan😘🤩
menghadapi suami yg amnesia kamu harus extra sabar ya kiran,,,semangattt ya kiran,,,suatu saat pasti bang reksa akan mengingat segala hal tentang kalian 😍😍😍
2023-07-30
1
Yunia Afida
semangat kiran, 💪💪💪💪💪💪kamu pasti bisa
2023-07-13
0