Setelah berdiam diri lima belasan menit, akhirnya tenggorokanku terasa lega kembali. Suaraku juga pulih. Febi menyodorkan minuman hangat buatan Bu Sumini kepadaku. Terlihat dari raut wajahnya, Febi sedang cemas atau mungkin panik, entahlah. Sejurus kemudian Lik Wo menggeser kursinya mendekati tempatku duduk. Menghela nafas dan menatapku serius.
"Rumahmu iku, nggak beres", kalimat pertama yang keluar dari Lik Wo adalah sesuatu yang sudah aku duga.
"Masalah nggak beresnya kenapa, mengapa dan seperti apa, aku belum sampek tahu sedetail itu", lanjut Lik Wo.
"Kapan-kapan aku sempatkan ke rumahmu, biar diantar Febi, udah tahu kan rumahnya nduk?", Lik Wo menoleh ke Febi. Febi mengangguk.
"Sekarang ini kamu aku buatin "pageran" Nak, biar nggak ada yang aneh-aneh lagi", Lik Wo mengakhiri kalimatnya, dan beranjak masuk kamar.
Aku hanya bisa terdiam, setengah percaya setengah enggak. Tapi nggak ada salahnya juga sih di bawain "pageran". Febi menepuk pundakku pelan, berdiri dan menyusul Lik Wo ke kamarnya. Mungkin ada yang mau didiskusikan pikirku. Selang beberapa saat Febi kembali duduk di sebelahku.
"Ngapain ikut-ikutan masuk kamar? Ikut ngrapal mantra?", tanyaku setengah bercanda.
"Ya enggak, ya aku khawatir aja sama kamu. Jadi tak tanyain ke Lik Wo tadi, beneran nih kamu gag pa pa di rumah itu terus, gitu", jelas Febi
"Lhah, ya mau bagaimanapun rumahku di situ Fee, lek nggak boleh tinggal di situ, aku mau dimana, tidur studio terus?", Tanyaku dengan sedikit nge gas.
"Ya ikut tinggal di rumahku ya ngga pa pa kok", jawab Febi enteng.
Aku terdiam, tidak melanjutkan percakapan ini. Karena bagiku Febi seperti tidak serius. Ya memang ini bukan masalah hidupnya sih, ngapain juga harus diseriusin. Aku sadar akan hal itu. Lik Wo keluar dari kamar, membawa benda sebesar jempol tangan dibungkus kertas dengan tulisan-tulisan yang nggak terlihat jelas.
"Ini, disimpan", Lik Wo menyerahkan benda tersebut padaku.
"Pegang e pake tangan kiri", ucap Lik Wo ketika tangan kananku terjulur hendak mengambil benda tersebut.
"Bawa kemanapun kamu pergi, kecuali saat kamu masuk ke kamar mandi, iku nggak boleh", terang Lik Wo, aku mengangguk faham.
"Terus, ini tadi biayanya berapa Lik?", tanyaku malu-malu.
"Lhah, yo nggak usah, temen e Febi iku juga termasuk ponakanku, nggak usah ongkos-ongkosan", jawab Lik Wo sambil menepuk pundakku. Aku tersenyum malu.
"Terimakasih banget lho ini, Lik Wo, Fe. . .", aku menyimpan "pageran" tersebut ke dalam tasku.
Setelahnya kami ngobrol santai bertiga. Sekitar jam empat sore Febi mengajak untuk pulang. Aku meng iya kan. Kami pun berpamitan ke Lik Wo dan Bu Sumini. Di akhir percakapan Lik Wo berjanji untuk menyempatkan waktu mengunjungi rumahku.
***
Di perjalanan pulang mungkin karena capek, Febi menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku sedikit gugup dan bingung.
"Numpang ya Dan, aku capek nih, ngantuk", ucap Febi, melingkarkan kedua tangannya di perutku. Memelukku cukup erat dari belakang.
Astaga, aku nggak mungkin juga menolaknya, namun perasaan ini sungguh tidak nyaman. Aku benar-benar khawatir kalau ada yang melihat caraku membonceng Febi seperti ini. Aku menarik gas motor lebih dalam. Berharap kami cepat sampai di tujuan.
"Dan . . .", Febi berbicara dengan dagunya di letakkan di pundakku. Meskipun lirih namun suaranya terdengar jelas, karena dekat dengan telingaku.
"Kamu. . .suka Erni ya?", tanya Febi tiba-tiba. Aku diam, karena bingung juga ketika ditanya tiba-tiba seperti ini.
"Nggak usah mbok jawab aku ngerti sih, yowes . . .hihi", Febi mengakhiri kalimatnya, kemudian menyandarkan kembali kepalanya. Mungkin dia tersenyum, aku nggak berani menoleh. Semakin dalam aku menarik gas, karena aku benar-benar tidak nyaman berada di momen canggung seperti ini. Sementara mentari mulai terlihat terbenam di kejauhan.
_ _ _
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Yuli a
layu sebelum berkembang nih
2025-01-26
0
Muhamad Rio
jadi di pengen peluk😅
2024-01-06
0
istiqlal👻👻
cmburu si fee....
2023-12-27
0