Ternyata letak rumah Pak Lik nya Febi cukup jauh dari kota. Satu jam perjalanan, kami masih terus berkendara ke arah utara. Katanya sih letaknya di kaki gunung berbatasan dengan kabupaten sebelah. Aku sedikit was was saat ini. Kalau kalau ada temen satu kelas yang lihat aku membonceng Febi seperti ini, akan menjadi gosip yang berkepanjangan.
"Dan, aku ngantuk e, nyari kopi yuk bentar", pinta Febi, menyadarkanku dari lamunan.
"OK", jawabku singkat.
Aku mencari warung kopi di pinggir jalan yang tempatnya oke, celingak celinguk. Setelah menemukan tempat yang asyik untuk ngopi kuparkir motor di tempat yang teduh. Aku memesan es teh, sementara Febi memesan secangkir kopi pahit.
"Wah, suka kopi pahitan?", tanyaku heran.
"Emm, sebenernya sih dulu aku nggak doyan kayak gini. Nah, ada satu kejadian dimana badanku kayak ada yang ngerasukin gitu", Febi menyesap kopi nya.
"Terus terus?", aku penasaran.
"Aku tetap dengan kesadaranku gitu, tapi aku jadi punya kebiasaan-kebiasaan yang berbeda, salah satunya ya ini, suka sama kopi pahit, sampai sekarang akhirnya", jelas Febi, aku manggut-manggut.
Setelah beberapa saat ngobrol dan bersantai, gelas sudah kosong minuman kami sudah tandas. Kemudian Aku membayar dan kami melanjutkan perjalanan. Baru kali ini aku mengunjungi daerah sini, tidak terlihat jauh berbeda dibandingkan daerah rumahku. Setelah tikungan ke ribuan kali nya akhirnya Febi meminta memperlambat laju motor. Dia menunjuk rumah di kanan jalan yang berdiri sendirian di sekitar pohon beringin lebat. Rumah berbentuk joglo dengan cat warna hijau yang cukup mencolok.
"Kita sampai", ujar Febi mantap.
"Kok sepi ya Fe, nggak ono sopo-sopo ki? Pak Lik mu lagi nggak di rumah kayak e", aku bertanya, karena memang terlihat rumah tersebut kosong, sepi dan lengang.
"Ya, emang selalu gini Dan, rumah ini selalu sepi kok", jawab Febi. Sejurus kemudian Febi berjalan ke arah pintu yang memiliki dua daun pintu berukiran terlihat kuno.
"Assalamualaikum Pak Lik? Lek Wo? Kulo nuwuunn . . .", Febi mengucap salam sambil mengetuk pintu. Satu menit, dua menit, hingga lima menit tetap hening. Tak ada jawaban, tak ada tanda-tanda ada orang di rumah tersebut.
"Kayak e emang lagi nggak ada orang di rumah", Febi menoleh sambil mringis, masih terlihat manis.
"Kita duduk disini aja ya Dan, kita tunggu", ajak Febi. Aku mengangguk setuju.
Kulirik jam tangan, jam sebelas tepat. Perjalanan kami tadi berarti hampir dua jam lamanya. Aku duduk di salah satu kursi kayu yang ada di teras rumah. Di rumah ini tanaman yang terlihat dominan adalah beringin. Mulai dari bonsai yang berjejer di pot, hingga yang besar di kiri kanan rumah, dan yang paling terlihat besar banget adalah yang tepat di tengah tengah halaman rumah. Akar nafas dari pohon beringin terlihat seperti melambai-lambai ketika tertiup angin. Mungkin kalau malam hari cukup ngeri juga berada disini.
Jam dua belas kurang lima menit, terdengar dari kejauhan suara motor dua tak, mendekat. Terlihat bapak-bapak memakai udheng (sejenis ikat kepala) membonceng tumpukan rumput. Dan di atas tumpukan rumput tersebut duduk dengan nyaman ibuk-ibuk, mungkin istrinya. Jadi dari kejauhan terlihat badan si ibuk nongol tinggi di belakang si bapak. Mereka berbelok masuk ke samping rumah. Beberapa saat kemudian pintu depan terbuka. Si Ibuk yang membukakan dengan senyum ramah.
"Nak Febiii, mari masuk. . .nunggu lama yo?", tanya si ibuk, yang aku taksir usianya sekitar tiga puluh lima tahunan.
Febi langsung bersalaman dan memeluk si ibuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Yuli a
masih muda berarti lek nya Febi...
2025-01-26
0
Rose_Ni
ada to org rmhnya
2024-02-01
0
Rose_Ni
emang orgny gak ada kali, Febi berdusta kepada Dani mungkin, spya bisa JJS an
2024-02-01
0