Kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju sungai. Malam ini tidak hujan, namun bulan enggan menunjukkan sinarnya. Hanya lampu senter satu satunya penerangan yang ada.
"Hyuh, mau be'ol aja kudu jalan jalan dulu, untung masih tahan ini", Irul menggerutu tak sabar.
"Jangan ngedumel wae Rul", Hasan menimpali sambil mata tetap tertuju ke pijakan tanah. Karena memang tadi sempat gerimis beberapa bagian jalan ada yang cukup becek.
"Duh, udah gak tahan ini, wes nang pucuuukkk ", Irul makin menjadi, wajahnya merah padam.
"Itu lho sungai ne sudah terlihat, nanti tempat yang pewe ya di bawah batu gedhe itu, tempat favorit aku lho iku", jawabku meyakinkan.
Irul tidak menggubris, dia sudah berlari meskipun keadaan gelap, kelihatannya sudah gak tahan banget. Dia menuju batu besar di bagian agak tengah sungai. Aku tersenyum saja menyaksikan hal itu. Aku mencari tempat duduk di atas batu yang nyaman di pinggiran sungai. Sementara Hasan mondar mandir saja terlihat bingung. Sejurus kemudian menghampiriku yang sedang duduk di atas batu.
"Hei, yakin nih be'ol di sini?", Hasan bertanya nampak serius dari ekspresi wajahnya yang samar terlihat karena kegelapan malam.
"Iya, yakin. .kamu takut to San, takut gelap?", tanyaku sambil sedikit terkekeh.
"Enggak gitu, lha ini kalo ada uler gitu gak kelihatan lho Dan, manukmu di thuthul dari belakang gitu lak repot", kata Hasan sambil tolah toleh.
Memang sih, resiko untuk bertemu reptil seperti ular, biawak cukup besar. Bukannya aku tidak takut, tapi memang sejak dahulu sungai di sini dimanfaatkan untuk buang hajat. Hampir semua orang di daerah sini kalau buang air pasti ke sungai. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang boleh ditiru.
"Eh, Irul tadi mana lho?", Hasan bertanya dan masih tetap tolah toleh.
"Di balik batu gedhe itu lho", aku arahkan sinar senter ke batu yang aku maksud.
"Gak jadi ngeden bareng Irul San?", aku bertanya sedikit mengejek.
Hasan tidak menjawab, Dia terlihat mengelus elus tengkuknya, dingin mungkin. Udara malam ini memang terasa lebih dingin dibanding biasanya, suara hewan ataupun serangga malam tidak terdengar sama sekali. Apa mungkin para hewan enggan bersuara karena kedinginan ya. Hanya suara gemericik air yang membelah kesunyian malam.
"Dehh, Irul lama banget sih", Hasan menggerutu.
"Daritadi kamu itu ngedumel wae San, kenapa sih?", Aku bertanya, penasaran.
"Aku gak nyaman aja jam segini di kali kayak gini, gelap gelap an, entahlah", bisik Hasan.
"Hehehe, kalo aku udah biasa San, mau gimana lagi lho, semua orang di sini kalo be'ol ya ke kali, mau kebelet jam 12 malam pun ya ke kali, mosok mau mbok timbun di rumah", Aku terkekeh, ingin membuat Hasan lebih santai.
Beberapa saat kemudian Irul terlihat dari kejauhan berlari kecil mendekat.
"Sudah lego nyuk?", Hasan bertanya setengah berteriak pada Irul.
"Mantab mania mancinggg", jawab Irul sambil mengangkat dua jempolnya. Aku tertawa mendengarnya.
Tiba tiba terdengar suara tawa lain yang mengikuti suara tawaku. Terdengar lebih berat dan serak. Aku, Hasan dan Irul langsung terdiam mematung. Mencoba menajamkan telinga, kali ini hanya suara air yang terdengar. Aku mencoba mengarahkan sorot senter ke arah asal suara. Di batu besar tempat Irul tadi buang air.
Karena cukup jauh sorot lampu terlihat samar. Ketika sorot lampu mengenai bagian atas batu, terlihat cukup jelas, sesosok makhluk, seperti manusia namun seluruh badannya terlihat penuh bulu sedang duduk dengan kepala tertunduk ke bawah, tertelungkup sehingga bagian kepala tidak terlihat jelas karena tertutup bahu.
Aku menelan ludah, detak jatungku tidak beraturan, sorot lampu senterku tak mampu bergeser. Beberapa saat lamanya tetap mengenai sosok tersebut. Udara dingin tak mampu menghalangi keringat dari tubuhku untuk mengalir. Dalam hatiku berkata berteriak lah dan lari, namun seluruh badanku seperti terkunci.
Tenggorokanku kering dan tercekat. Dari sorot senter yang aku pegang, terlihat kepala makhluk tersebut mulai bergerak ke atas, dan menoleh ke arah kami. Pada saat itu entah tenaga darimana tanganku sanggup di gerakkan, diikuti oleh anggota tubuh yang lain. Melompat dari tempat duduk ku, Aku tarik tangan Hasan dan Irul.
"Larriiiiiii . . .", teriakku kencang.
. . .
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Dea Semilikiti Dea Semilikiti
persis dlu dikali deket rumah ada pohon bringas sm sawo.ttangga beol nglihat mbak2 cantik diats pohon bringas😁dlu msh gelap.skrg dh terang benderang.pohonpun dh ditebang.dn kta2 jga dh pda beranak cucu😁
2025-02-25
0
Yuli a
🏃🏃🏃🏃🏃🏃
2025-01-26
0
Evi Sirajuddin
Kaburr 🤣
2025-01-23
0