Aku mencerna informasi yang baru saja Leda katakan padaku. Apalagi yang akan terjadi di kota ini? Segalanya terasa kacau. Bukan hanya hatiku saja yang nyaris hancur, melainkan kota ini juga sedang berada di ambang kehancuran. Aku tidak boleh tinggal diam. Aku harus segera bertindak. Hal pertama yang harus ku lakukan adalah menemui Damon di kamarku.
Aku meninggalkan Leda dan Erick di ruang tamu. Aku melangkah menaiki tangga yang mengarah ke kamarku. Sesampainya di kamarku, aku melihat Damon berdiri di balkon kamarku menatap ke atas langit. Dia menoleh ketika mendengar langkahku memasuki kamar. Aku masih bersalah padanya atas kejadian tadi.
"Maafkan aku," ujarku lirih.
Damon tersenyum lemah sambil kembali berbalik dan menatap langit yang sudah berwarna cerah. Hari itu matahari tidak bersinar terlalu terik. Aku melangkah menuju balkon dan berdiri di sebelahnya. Kami terdiam beberapa saat dalam keheningan. Damon menggeser posisinya dan menghadap ku. Dia menatapku dengan tatapan yang lembut. Dia meraih bahuku untuk menghadapnya. Aku menengadah menatap wajahnya.
Ia sosok yang tampan dengan segenap maskulinitas nya yang mampu memikat semua wanita di dunia ini. Namun aku tidak pernah bisa mencintainya. Aku tahu bahwa Damon sudah mencintaiku sejak lama. Semilir angin menyibak rambutku. Damon merapikan rambutku dan mengaitkannya di belakang telingaku.
"Apa kau masih ingat tragedi pembakaran itu?" Dia bertanya dengan nada lembut.
"Bagaimana mungkin aku lupa," ujarku dengan nada pelan.
Kini ingatanku kembali pada kejadian seribu tahun lalu.
Waktu itu terjadi penggerebekan di seluruh kota yang dipimpin oleh sekelompok Pemburu Vampir. Para Pemburu Vampir menangkap hampir semua vampir yang ada dan mengumpulkannya di sebuah lapangan lalu membakar mereka semua hidup-hidup. Waktu itu aku nyaris tertangkap namun Damon menyelamatkan aku dan membawaku kabur ke tempat yang aman.
Malam itu suara jeritan para vampir yang terbakar memekakkan telingaku. Sampai saat ini aku masih merinding ketika mengingat kejadian itu. Sejak saat itu para kelompok Pemburu Vampir semakin kejam saat memburu spesies kami. Seperti di dalam kisah Van Helsing, para Pemburu Vampir itu merasa dirinya begitu keren ketika mereka menebas kepala vampir yang berkeliaran.
Hingga kini klan Pemburu Vampir masih terus ada dan masih terus memburu spesies kami. Para pemburu Vampir adalah manusia yang ingin menobatkan dirinya menjadi pahlawan seperti dalam film. Namun tanpa mereka sadari, mereka juga sama seperti monster, karena mereka memburu vampir yang bahkan tidak pernah menyerang manusia.
Semenjak kejadian pembakaran massal malam itu, Sang Dewa Keabadian melarang semua kaum vampir untuk memangsa manusia. Kami bertahan hidup dengan meminum darah binatang atau meminum darah dari bank darah seperti yang aku lakukan.
Sejak Damon menyelamatkan aku waktu itu, kami selalu bersama berkelana ke penjuru dunia selama beberapa waktu hingga akhirnya aku memutuskan untuk berkelana sendirian karena aku tidak ingin lebih dalam menyakiti hati Damon. Aku tidak bisa membalas cintanya. Jadi aku memutuskan untuk pergi darinya. Hari ini dia berdiri di depanku, masih dengan perasaan yang sama terhadapku. Aku pun masih tetap tidak bisa membalas perasaannya.
"Scarlett ... Tak bisakah kau memberiku ruang di hatimu sedikit saja?" Dia bertanya dengan nada memohon yang begitu tulus.
Hatiku merasakan sakit mendengar ucapannya. Aku tidak ingin melukainya. Namun aku tidak bisa membalas cintanya. Hatiku sudah menjadi milik Roland.
"Damon ... Maafkan aku," bisikku lirih.
"Apakah karena manusia itu?" Tanyanya.
Aku terdiam. Damon meraihku ke dalam pelukannya. Aku membiarkannya memelukku. Sebuah bayangan dari arah jalan di depan rumahku menarik perhatianku. Aku melepaskan pelukan Damon dan melihat ke arah bayangan itu. Di sana terlihat Roland berjalan masuk ke arah mobilnya dan memacu mobilnya menjauh dari rumahku dengan kecepatan tinggi. Apakah tadi ia melihatku berpelukan dengan Damon? Sial.
Erick berlari memasuki kamarku. Wajahnya tampak tegang.
"Kalian berdua harus segera turun ke ruang tamu. Ada yang mencari kalian berdua. Sepertinya ia memiliki urusan yang begitu mendesak dengan kalian." Erick mengucapkannya dengan tergesa-gesa.
Aku dan Damon saling berpandangan. Siapa tamu yang bisa memasuki rumahku tanpa seizinku? Apakah ...
Aku dan Damon segera berlari menuju ke ruang tamu. Di sana, berdirilah sosok yang tidak asing bagiku. Pria itu mengenakan setelan jas mahal. Namun sorot matanya mengandung api yang seolah siap mengirim mu ke neraka kapan saja.
Ya, Sang Dewa Kegelapan sudah datang. Kini dia berdiri menghadap ku dengan kedua matanya yang memancarkan api. Aku merasakan Damon menegang di sampingku. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali kamu bertemu dengan Sang Dewa Kegelapan. Hal terakhir yang kau inginkan di dunia ini adalah membuatnya marah dan membuat dirimu dilahap oleh api yang bisa ia lontarkan dari matanya dengan mudah menuju target yang tidak akan pernah meleset. Aku berdiri kaku di depannya.
"Kau masih tetap mempesona seperti biasanya, Sayang." Dia tersenyum memamerkan taringnya padaku. Dia tidak pernah menyembunyikan taringnya seperti sebagian besar dari kami. Mungkin baginya hal itu terasa keren. Kali ini ia tidak mengenakan jubah kebanggaannya, mungkin ia merasa perlu untuk mengikuti tren fashion kekinian.
"Kenapa kau datang kemari?" Aku bertanya dengan hati-hati. Aku tidak ingin membuatnya marah dan membuat diriku dibakar hidup-hidup di rumahku sendiri. Ia adalah Dewa Kegelapan bagi kalangan kaum immortal, tidak hanya bagi para vampir, namun juga bagi semua kaum kegelapan seperti succubus dan iblis. Dia adalah saudara Lucifer dan Hades.
"Tidak bisakah kau menyambut ku dengan kata-kata manis?" tanyanya dengan senyum sinis.
"Aku tahu kau pasti datang karena mendengar desas-desus yang ada di kota." Aku berjalan santai ke arah sofa. Aku melihat Damon dan Erick masih tetap berdiri di posisi yang sama seperti tadi seolah mereka takut untuk bergerak. Aku tidak melihat Leda di manapun. Mungkin ia sedang bersembunyi di dapur dan berpura-pura memasak untuk menghindari tamu yang satu ini.
"Ah, kau memang cerdas." Dia berjalan ke arahku dan duduk di sampingku sambil meraih tanganku dan menciumnya. Aku merasakan bulu kudukku merinding ketika bibirnya yang sedingin es mendarat di punggung tanganku. "Aku yakin bukan kau yang melanggar aturan yang sudah ku buat seribu tahun yang lalu." Dia menelengkan kepalanya ke kiri dengan nada menyindir.
"Ada vampir lain di kota yang menyebabkan kekacauan ini." Aku menjelaskan dengan tenang.
"Siapa pemberontak ini yang berani melanggar perintahku?" Dia berbicara dengan gayanya yang khas yakni dengan intonasi lambat seperti pria perlente.
"Kami masih mencarinya." Damon menjawab pertanyaan itu dan melangkah ke arah sofa serta duduk di sofa yang berada di seberangku.
"Damon," ujarnya sambil tersenyum. "Kau adalah vampir yang usianya tidak terlalu muda. Aku menginginkan bukti kekuatanmu." Suaranya syarat dengan ancaman. Aku menelan ludah mendengar perkataannya.
"Aku akan berusaha menangkapnya," ujar Damon.
"Bagus," ujar Sang Dewa Kegelapan. "Aku akan menunggu kabar baik dari mu secepatnya." Dia mengucapkan hal itu sambil menghilang dari ruangan itu.
Aku, Damon serta Erick menatap tempat kosong dimana Sang Dewa Kegelapan menghilang. Kami bertiga mendesah lega ketika dia sudah pergi meninggalkan ruangan itu.
"Bagaimana cara kita menemukan vampir sialan itu?" Aku bertanya pada Damon.
Damon menyeringai lebar padaku. Aku dan Erick menatapnya dengan kebingungan yang sama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments