Teman

Grepp!

Akah berhasil menangkap tubuhku yang hampir terjatuh. Aku menoleh pada pria besar yang berlalu begitu saja. Aku berdecak kesal. Bisa-bisanya orang itu pergi tanpa merasa bersalah.

"Dasar nu gelo!" umpatku.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Akash, laki-laki itu masih memegang lenganku. Beberapa detik mata kami bersirobok. Aku bergegas masuk ke dalam resto tanpa menjawab pertanyaannya.

Aku mengedarkan pandangan menghalau rasa canggung yang tiba-tiba muncul antara aku dan Akash. Restoran ini cukup ramai, sepertinya harga makanan di restoran ini cukup terjangkau terlihat dari cara berpakaian orang-orang yang beragam. Mulai dari mereka yang berpakaian perlente sampai yang sederhana.

Tiba-tiba aku teringat Akash. Apakah restoran ini cocok untuknya? Aku menoleh ke depan dan terkejut ternyata Akash sedang memperhatikanku.

"Kenapa?" Aku menautkan kedua alisku. Dia menggeleng, lalu tersenyum.

"Akash apa kau merasa risih di sini? Sepertinya restoran ini bukan tipemu," ucapku.

"Aku bisa makan di mana saja Maya. Kamu mau pesan apa?" Akash menerima buku menu yang disodorkan oleh pelayan. Ia memberikan buku itu padaku.

Sialnya, buku itu memakai Bahasa Inggris dan Italia. Mana gak ada gambarnya!

"Akash aku gak ngerti, kamu pesenin apa aja deh. Terserah kamu."

"Kamu ada alergi?"

"Gak ada."

Akash memembolak-balik buku menu tersebut lalu memanggil pelayan. Mereka berbicara dengan cepat, sedangkan kata-kata yang bisa ditangkap oleh telingaku hanya 'beef' dan 'chiken'.

Aku memperhatikan wajah Akash. Saat berangkat tadi meski tampak lelah ia masih terlihat segar dan bersemangat, tapi sekarang wajahnya murung. Kami menunggu makanan tanpa sepetah kata. Aku memilih diam karena takut salah bicara.

"Akash, kamu gak apa-apa?" tanyaku.

"Tidak May, aku hanya lelah."

Tak lama kemudian makanan kami datang. Akash memesan pasta dengan potongan dada ayam di atasnya serta steak sapi yang mengguhah selera, sedangkan ia memesan pasta udang untuk dirinya sendiri.

Selesai makan aku dan Akash kembali ke hotel menaiki taksi. Aku langsung membuka jaket dan berganti baju, keluar dari kamar mandi aku terheran karena Akash sudah merebahkan diri di sofa. Aku mendekatinya, ini bukan Akash yang satu minggu ini ia kenal.

Biasanya setiap malam Akashlah yang selalu berisik mengingatkanku membersihkan diri sebelum tidur. Ku lihat Akash menutup wajahnya menggunakan lengan. Aku berjongkok di bawah kursi tepat di depan wajahnya.

"Akash," panggilku.

Akash menurunkan lengannya, menatapku sambil tersenyum palsu.

"Ada apa?" tanyaku.

Akash tak menjawab, ia menatap kosong langit-langit kamar. Aku tahu berada di sini denganku tidaklah mudah baginya.

"Kau mau cerita?" tanyaku lagi.

Akash tak menjawab ia beranjak mengambil baju dari dalam koper lalu masuk ke kamar mandi. Aku mengedikan bahu lalu merebahkan diri di ranjang.

Baru aku akan terlelap Akash keluar dan duduk di lantai tepat di samping ranjang. Dia membelakangiku, aku bisa mencium aroma parfum dari tubuhnya.

"Apa karena Ruth?" Aku memberanikan diri bertanya. Seingatku moodnya berubah ketika kami berada di Lindenhof.

"Aku lelah memenuhi ekspektasi orang lain Maya." Akash berbicara tanpa menoleh padaku.

"Sejak kecil aku selalu melakukan apa yang orang tuaku tentukan. Mereka bilang semuanya demi perusahaan karena aku satu-satunya orang yang akan mewarisi perusahaan itu. Tuntutan demi tuntutan datang padaku. Tanggung jawab yang mereka berikan semakin hari semakin besar dan ketika aku lelah dengan semuanya aku bertemu Ruth."

"Kukira dengan adanya Ruth aku mempunyai tempat untuk pulang. Nyatanya bebanku malah menjadi semakin berat karena kepergiannya. Aku lelah Maya. Aku tidak tahu harus membagi ini kepada siapa," ucap Akash panjang lebar.

Ternyata menjadi orang kaya itu tak seenak kelihatannya. Siapapun, entah laki-laki atau perempuan pasti merasa hancur dan kecewa jika berada di posisi Akash saat ini. Orang tua yang harusnya menjadi tempat berkeluh kesah malah menjebaknya menikahi perempuan asing. Tidak ada kesempatan bagi Akash memilih jalan hidupnya sendiri. Aku menghela napas panjang. Sepertinya posisiku lebih menguntungkan.

Aku menggeser tubuhku pelan. "Kemari," ucapku pada Akash. Aku menepuk celah kosong di sebelahku.

Pria itu menoleh dan menatapku penuh tanda tanya. "Kamu mau aku tidur disitu? Ingat kontrak kita Maya."

Aku menjulingkan mata ke atas. "Aku ingat seluruh isi kontrak Akash, apalagi point nomor dua. Memang kau pikir aku mau apa?"

Akash terkekeh, ia beranjak lalu merebahkan diri di sampingku.

"Kau nyaman denganku?" tanyaku.

"Memang kenapa? Aku hanya ingin berteman. Kita tinggal satu rumah dan sudah menikah. Aneh rasanya jika kita terus-terusan bersikap seperti orang lain. Tidak salah kan?"

"Aku tidak mempermasalahkan itu, aku hanya bertanya apakah kau nyaman denganku atau tidak?" tegasku.

Akash berbalik menghadap ke arahku. "Ya Maya, aku nyaman di dekatmu."

"Kalau begitu bisakah kau melupakan sebentar saja semua tentang Ruth dan masalah-masalah di hidupmu itu Akash. Kalau kau tidak bisa lebih baik kita pulang dan selesaikan semuanya. Mencari Ruth dan mencari tahu tentang ibumu." jelasku.

"Kau tak suka ada di sini?"

"Tak suka jika kau tiba-tiba  murung seperti tadi, bagaimana aku bisa menikmati perjalanan ini Akash? Jika kau menganggapku teman, mari lakukan semua hal layaknya seorang teman." Aku menopang kepalaku dengan tangan.

"Baiklah, teman?" Akash menjukurkan tangannya padaku.

"Teman," ucapku seraya menjabat tangannya.

Bukannya melepaskan tanganku, Akash malah menarik lenganku hingga condong ke depan. Dia menjadikan telapak tanganku sebagai bantal lalu memejamkan mata.

"Akash, apa kau lihat pemantik di tasku?"

"Sudah disita satpam bandara, kau mau merokok?" Akash membuka matanya kembali.

Aku mengangguk. Ku lihat dia menghela napas panjang. Aku menarik tanganku tapi dia menahannya.

"Diam, aku pinjam tanganmu sebentar. Tidak ada pemantik, kau tak bisa merokok malam ini." Akash bergerak sedikit mencari posisi paling nyaman.

Aku merubah posisiku terlentang. Tidak apa kan jika aku dan Akash berada di ranjang yang sama? Toh aku dan dia sudah menikah.

Entah kenapa, aku selalu merasa kesal jika Akash membahas tentang Ruth. Sudah jelas-jelas wanita itu pergi tapi selalu saja diingat. Orang-orang yang sedang patah hati memang selalu aneh, dunia tak akan kiamat hanya gara-gara putus cinta.

Mendengar napas Akash yang sedikit mendengkur, aku menarik tanganku. Aku meraih selimut dan menutupi tubuhnya.

Ruth, wanita seperti apa dia?

Sebegitu cantiknyakah sampai lelaki tampan dan kaya raya pun putus asa karenanya?

"Sepertinya aku tidak akan bisa bersaing denganmu Ruth. Nasibku pun berantakan karena kau!" gumamku.

Apa? Barusan aku bilang apa? Bersaing?

Aku menoleh pada Akash, sepertinya ketampanan dan perilakunya dua hari ini membuatku sedikit gila.

Aku beranjak dari tempat tidur. "Kalo begini ceritanya aku yang tidur di sofa"

Baru aku mau turun tiba-tiba tanganku ditarik dengan keras, tubuhku tersentak dan terjatuh lagi ke atas kasur.

"Jangan pergi, May."

***

Terpopuler

Comments

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

ayolah maya taklukkan hatinya akash,, 😂🥰

2023-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!