Akash membantuku memasang sabuk pengaman, tepat jam sembilan malam lampu kabin dimatikan. Aku bisa mendengar suara deru mesin pesawat yang sedang take off. Melihat aku yang tegang Akash menggenggam tanganku.
"It's okay," bisiknya pelan. Setelah insiden di bandara tadi rasanya Akash menjadi lebih peka terhadapku.
Beberapa saat kemudian kurasakan pesawat mulai seimbang. Sebenarnya aku agak kecewa karena tidak duduk di dekat jendela, aku ingin sekali melihat pemandangan di atas awan untuk pertama kali.
"Akash, botol air minum tadi mana?" tanyaku. Pria itu mengambil botol air mineral, membuka tutupnya dan menyerahkannya padaku.
"Kamu gak apa-apa?" tanyanya. Aku menggeleng seraya meneguk air minum.
"Maya aku ngantuk, can you speak english?"
"Sedikit," jawabku.
"Yasudah. Kalau ada apa-apa, bangunkan aku." Akash menurunkan kursinya hingga ia berbaring, tak lama kemudian dia tertidur tanpa menaikan sekat antara kursi kami. Aku meraih selimut yang tersedia lalu menyelimuti pria itu.
Karena sepanjang perjalanan Bandung - Tangerang tidur, aku sama sekali tak merasakan kantuk. Beberapa saat setelah Akash tertidur seorang pramugari menawarkan makanan.
"Nanti saja mba," ucapku menggunakan Bahasa Inggris.
Entah benar atau tidak apa yang ku katakan tapi pramugari itu pergi. Ia menjawab perkataanku, tapi karena bicaranya terlalu cepat aku tak faham benar apa yang ia maksud. Aku hanya mengangguk-angguk, biar nanti kutanyakan saja pada Akash saat dia bangun.
Untuk menghilangkan bosan aku menonton beberapa film. Tiga jam kemudian Akash bangun, ia menguap beberapa kali lalu meraih botol air minum di pangkuanku.
"Kamu gak tidur?" tanya Akash.
"Gak ngantuk. Tadi ada pramugari ke sini nawarin makan, tapi aku bilang nanti saja kalau kamu udah bangun."
Akash beranjak dari duduknya, lama ia pergi dan kembali dan menyerahkan brosur menu makanan. Tak ada nasi di daftar makanan itu.
"Ya Tuhan, membaca menunya saja aku pusing," batinku. Akhirnya ku biarkan Akash memesan apapun sesukanya.
Selesai makan Aksh meminta bantuan pramugari untuk memasang, apa itu? Bedcover?
Ah, aku tak tahu namanya. Aku pun memutuskan untuk tiduran karena perjalanan yang kami tempuh masih sangat panjang.
"May."
"Hmm.."
"Bisakah kita berteman?"
"Kamu mimpi hal yang aneh Akash?" Aku menarik selimut sampai dada.
Akash mencondongkan tubuhnya agar bisa melihatku. Dari sini aku bisa melihat wajah Akash yang ternyata lebih tampan. Ditambah penerangan yang remang, Akash terlihat lebih....
"Maya! Apa yang kamu pikirkan?" batinku.
"Memangnya kenapa? Kau tak mau berteman denganku?" tanya Akash.
"Apa kau nyaman bersama denganku?" Sengaja aku menjawab pertanyaannya seperti itu.
"Entahlah," jawabnya.
"Bagiku pertemanan bukan sekedar ikrar bahwa kita berteman, Akash. Yang terpenting adalah kenyamanan dan rasa saling percaya satu sama lain," jelasku.
Ku dengar pria itu tertawa pelan sekali. Aku sampai terkejut dan beranjak melihat wajahnya lekat-lekat. Ku lihat Pria itu tersenyum.
"Akhirnya Ranbir Kapoor ini tersenyum," kataku.
"Apa? Ranbir Kapoor? Siapa? Aku?"
"Ya." jawabku. Aku merebahkan kembali tubuhku, tidak sampai lima menit seluruh inderaku pun tak terasa lagi.
***
Entah berapa lama aku tertidur sampai akhirnya kurasakan Akash menggoyang-goyang tubuhku.
"Ada apa?" tanyaku seraya mengerjapkan mata.
"Sarapan," ujarnya.
Aku meraih ponselku melihat jam disana. "Masih pagi banget Akash, masa udah sarapan?" protesku.
"Sudah jadwalnya seperti itu. Bangunlah atau kau akan kelaparan sampai kita mendarat di Istanbul."
Aku duduk, ku lihat dari jauh pramugari mendorong troli dan membagikan makanan. Sesampainya di kursiku pramugari tersebut memberikanku sepiring buah-buahan, omlet dan roti.
"Siapa yang makan buah-buahan pada dini hari?" ucapku dalam hati. Dengan terpaksa aku mulai menyantap makanan itu.
"Kau? Gak cuci muka dulu?" tanya Akash.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh kabin, tak banyak penumpang disini. "Gak ada yang tahu kan? Akash, kau mau buahnya?"
Akash mengambil piring buahku lalu memakannya, dia selesai makan lebih dulu sedangkan aku baru menghabiskan setengahnya.
"Akash, kau mau lagi?"
Akash memanggil pramugari dan memintanya membereskan piring-piring kami. Pramugari itu menawarkan teh dan kopi tapi aku menolaknya. Akash mengambil botol air minum di laci sebelahnya, membuka tutupnya lalu memberikannya padaku.
"Aku bukan orang cacat Akash," protesku. Kenapa dia senang sekali membuka tutu botol?
Kulihat ia tersenyum manis sekali. "Kau akan terus memanggilku seperti itu? Akash, Akash. Begitu?"
"Memang kenapa?" tanyaku.
"Aku suamimu Maya dan pastinya aku lebih tua darimu."
Aku menyerahkan botol minum itu padanya dan merebahkan tubuhku kembali.
"Aku lebih nyaman memanggilmu begitu," jawabku.
"Baiklah, terserah kau saja."
***
Akash kembali membangunkanku karena katanya pesawat akan landing di Istanbul. Setelah pesawat benar-benar berhenti, seluruh penumpang meninggalkan pesawat termasuk aku.
"Apa kita akan pindah pesawat?" tanyaku.
"Tidak."
Sepanjang jalan Akash kembali meraih jemariku, menggenggamnya erat layaknya pasangan suami istri betulan. Biasanya jika bertemu dengan orang baru aku akan merasa canggung, karena sebenarnya aku hanya pandai berekting tapi tidak untuk bergaul. Itulah alasannya aku tidak punya banyak teman. Selama hidupku yang paling dekat denganku hanya Nia dan A Agung.
Aku jarang pergi bersama teman-teman kampus jika bukan untuk mengerjakan tugas kelompok. Dalam otakku hanya terpatri bagaimana cara mendapatkan uang, bukan cara menghambur-hamburkannya.
Satu-satunya hal yang menjadi hiburanku adalah mengikuti kegiatan di komunitas teater, baik di luar atau pun di dalam kampus. Beberapa kali aku ikut pementasan, salah satunya tugas akhir mata kuliah.
Sebenarnya aku lebih aktif di komunitas luar kampus. Bergaul dengan berbagai jenis latar belakang orang, hal itu membuatku lebih nyaman karena aku lebih bebas berekspresi.
Aku menoleh pada Akash, pria ini sepertinya mulai terbiasa dengan keberadaanku di sisinya. Dia sudah bisa menunjukan beberapa emosi yang benar-benar keluar dari hati.
Sejak pertama kali melihat Akash di kafe, aku merasa seakan-akan kami adalah teman yang sudah terpisah lama sekali. Rasa canggung ketika berada di dekatnya terasa sedikit berbeda.
Keluar dari garbarata aku terkesima dengan pemandangan bandara. Ini jauh berbeda dengan bandara di Indonesia. Lebih besar, lebih luas dan juga lebih mewah.
Akash mengajakku menaiki eskalator turun entah sampai lantai berapa. Di sini banyak sekali restoran, toko-toko pakaian, tas, make up dan makanan. Sudah seperti di mall saja.
"Istanbul Airport Maya. Turki," ucap Akash.
"Kau sering kesini?"
"Hanya beberapa kali."
"Apa kita akan berkeliling? Jalan-jalan?" tanyaku.
"Tidak Maya, kita hanya transit tiga jam," jawabnya.
Tidak pernah ku bayangkan aku bisa menginjakan kakiku disini, di Arnavutkoy. Sebuah distrik di sisi eropa Istanbul. Akash yang memberitahuku.
"Kita kemana sekarang?"
"Mandi," jawab Akash.
"Aku gak bawa baju ganti Akash, semua bajuku ada di koper."
Akash menoleh ke arahku lalu tersenyum. "Aku sudah membawanya. Baju, underwear dan sabun."
"Kau!?"
Aku memasang wajah tak percaya lalu melirik ke arah ransel yang ia bawa. Seketika wajahku memerah.
"Apa katanya tadi? Underwear?" batinku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments