Pria Itu

Aku berjalan menghampiri pria yang terlihat sibuk memilih kaos yang digantung, dari caranya memilih sudah terlihat ia tak akan membeli. Pria tinggi kekar dengan kulit berwarna putih itu berdiri menyamping, jambang dan kumis yang mulai menebal menghiasi rahangnya yang tegas. Terlihat seperti duda anak dua.

Anehnya penampilan pria itu membuatku merasa seperti melihat aktor bollywood yang keren. Entah, mungkin karena wajahnya sangat khas seperti orang-orang india yang sering ku tonton. Baru kali ini aku bertemu dengan visual film india di dunia. Ingin rasanya menjerit kegirangan karena pria tampan itu mencariku.

Ya Tuhan, apa kau telah mengirimkan Ranbir Kapoor padaku?.

Tapi, melihat raut wajahnya yang angkuh dan acuh membuat rasa senang dihatiku terhempas. Dia pria yang tadi ku beri kopi di kafe. Apakah dia marah?

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanyaku.

Pria itu menoleh, bisa ku lihat jelas ketampanannya meski penampilannya terlihat berantakan. Kemeja yang ia kenakan basah, sepertinya dia hujan-hujanan menuju kemari. Rambutnya yang mulai memanjang dan ikal meneteskan air ke bahunya yang bidang. Ya Tuhan, keren sekali.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Maya, Maya Adisti".

"Saya tidak perduli nama lengkapmu dan tidak bertanya. Berapa harga kopi tadi?"

"Dua puluh lima ribu," jawabku. Ternyata laki-laki ini formal dan serius sekali.

Pria itu mengeluarkan dompetnya dan meraih satu lembar seratus ribu. Dugaanku benar, dia ke sini untuk mengembalikan apa yang sudah aku beri.

"Aku memberikannya secara gratis Pak, tidak usah dikembalikan," ujarku.

"Saya tak ingin karena kopi itu kita kembali bertemu dan berurusan. Hutang selalu membuat segala sesuatu menjadi panjang," jawabnya ketus. Ia sama sekali tak melihatku. Matanya terlihat sengaja difokuskan ke arah lain.

"Bagaimana kalau bapak membeli sesuatu disini, lalu ku anggap impas?" tawarku.

Ya, melihat kesempatan seperti ini jiwa marketingku meronta-ronta. Ku lihat Nia dan A Agung memperhatikanku dari jauh. Pria itu mendengus kesal. Ia memilih-milih beberapa kaos asal dan melihat ukurannya.

Ku lirik sebuah kaos berwarna navy yang tergantung di sampingku dan membolak-baliknya sekilas.

"Cari ukuran apa Pak?" tanyaku.

"XXL," jawabnya singkat.

Aku mengecek size yang tertempel di kaos yang ku pegang ternyata sesuai.

"Bagaimana dengan ini?" Aku menunjukan kaos yang ku pegang. Pria itu menoleh dan mengangguk cepat.

Aku berjalan ke meja Kasir dan menyerahkan kaos itu pada Nia.

"Bungkus," ucapku.

Nia menurut, segera ia scan barcode kaos tersebut dan aku berdiri disampinya.

"85.000 rupiah," ucap Nia seraya memasukannya ke dalam kantong plastik. Pria itu menyimpan uang seratus ribu yang ia pegang di meja lalu meraih kantong plastik dari tangan Nia.

"Ambil saja kembaliannya." Pria itu berbalik dan berjalan hendak ke luar.

"Terima kasih! Datang lagi kesini ya!" teriakku.

Nia menyikut perutku keras.

"Sakit Nia!" protesku.

"Ke tamu itu yang sopan."

"Sopan kok. Kan aku cuma bilang terima kasih," jawabku.

"Ya tapi gak begitu juga, yang tadi itu siapa?"

"Ganteng kan ? Aku juga gak tahu tadi ketemu di kafe, karena dia melamun ku beri dia kopi," jelasku.

"Sering-sering aja kayak gitu May. Biar toko kita tambah laris." A Agung menimpali.

"Tadi bayar kopinya pake duit Aa kok. Kasih aja duitnya ke aku. Nanti aku siap beraksi," jawabku.

"Sialan!" umpat A Agung.

"Emang Si May ini aduh! Ada-ada aja kamu. Lagian ngapain beliin kopi buat orang asing? Suka gak jelas Si May nih," protes Nia.

"Yang penting closing kan?" Aku terkekeh-kekeh.

"Closing, tapi ya gak gitu juga Maya!" sergah A Agung.

Aku tertawa. Pandanganku menoleh ke luar. Di sana masih hujan deras. Seingatku pria tadi keluar dan tak membawa payung. Aku menggelengkan kepalaku menghilangkan memori tentang pria tadi.

***

Pagi ini aku bersiap, memasukan beberapa potong pakaian ke dalam ransel berukuran sedang. Beberapa kali aku melamun, apakah ini keputusan yang benar?

Aku takut terjadi sesuatu yang tak aku inginkan jika melakukannya, tapi kalau menolak aku butuh uangnya meski aku belum tahu berapa jumlah yang akan aku dapatkan. Ah, ibu maafkan anakmu yang mata duitan ini.

Kesempatan tak datang dua kali. Lumayan kan uangnya bisa aku pakai bayar SPP atau modal usaha ibu.

Aku dan ibu hanya tinggl berdua. Ibuku bekerja sebagai pegawai di sebuah kantor pemerintahan. Meski hanya kantor daerah dan tak memiliki jabatan yang tinggi tapi gaji ibu mampu digunakan untuk membiayai kuliahku, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, sabun dan yang lainnya ditanggung olehku.

Hal ini sudah berlangsung selama tiga tahun, ayahku sakit dan meninggal dua tahun yang lalu. Untungnya A Agung temanku, tidak lebih tepatnya kakak tingkatku di kampus sangat baik. Dia menawarkanku sebuah pekerjaan menjadi pegawai di distro yang dia punya.

Untungnya A Agung tidak pernah protes dengan jadwal kuliahku. Dia membebaskanku masuk jam berapapun. Entah itu pagi, siang atau malam, karena waktu itu tokonya masih merintis. Sekarang kedatanganku ke distro menjadi lebih intens karena sudah tak ada mata kuliah lagi. Aku hanya tinggal menyelesaikan skripisi.

Jika dipikir-pikir hidupku memang sedikit beruntung. Ah Tuhan. Aku sangat berharap bisa lulus dengan cepat agar aku bisa fokus mencari pekerjaan yang lebih baik. Aku sudah tak tega melihat kondisi ibuku yang sudah mulai berumur harus terus bekerja, lagi pula tiga tahun lagi ibuku pensiun.

Tiba-tiba ibu menghampiriku, ia sudah terlihat rapih memakai baju sederhana. Tidak terlihat norak, tidak pula terlihat heboh. Ia duduk disampingku.

"May, kalo nanti Mega menanyakan apa yang kamu mau jangan pernah memberatkannya. Jangan pernah menyebutkan apa yang kamu mau. Jangan pernah meminta," ucap ibu.

"Kenapa? Bukannya ibu bilang mereka akan mengabulkan semua yang aku mau?" tanyaku.

"Iya, tapi sebenarnya ibu hanya ingin membantu mereka sebagai teman. Ibu tak mau mengambil keuntungan dari mereka."

Aku menghela napas panjang. Ternyata belum juga negosiasi dengan mereka ibu malah memberikan ultimatum lebih dulu. Tak sesuai ekspektasi.

"Kamu mengerti kan May?" tanya ibu memastikan.

"Iya bu," jawabku malas.

Setelah selesai dengan semua persiapan, aku memakai jaket jeans dan helm, menyimpan semua barang bawaan di ujung teras. Aku menaiki motorku, tasku dan tas ibu ku simpan tepat di kakiku. Ku lihat ibu mengunci pintu.

"Jangan ngebut ya," ujar ibu memperingatkan.

Aku tak menjawab. Ku serahkan helm yang ku pegang pada ibu lalu menghidupkan mesin motor. Ibu pun naik di jok belakang. Pelan, aku menjalankan motorku keluar dari halaman rumah. Menerobos jalanan yang mulai padat.

Sepanjang perjalanan perasaanku tak menentu. Ada rasa khawatir yang menyelundup entah kenapa. Sebenarnya memainkan peran tidaklah sulit untukku, kuliah di jurusan sastra membuatku harus memerankan peran dalam suatu pertunjukan teater beberapa kali.

Tapi rasanya ini berbeda, panggung pelaminan tentunya berbeda dengan panggung pementasan. Ya Tuhan, tolong bantu aku.

***

Terpopuler

Comments

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

Shanti Siti Nurhayati Nurhayati

suka suka, kosa kata nya mantap, 👍

2023-06-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!