Akash menarikku berbelok ke arah kiri memasuki lorong bertuliskan 'Airlines Lounge Bussines' berwarna putih dengan latar berlakang tembok berwarna hitam. Keluar dari lorong yang pertama ku lihat adalah deretan loker di sebelah kiri dan chair pods di sebelah kanan. Kami terus berjalan sampai tiba di sebuah ruangan menyerupai aula dengan piano besar di tengahnya dan sofa-sofa kecil di sisi kanan dan kiri dekat dinding.
Tepat di belakang piano tersebut terdapat banyak sekali stand makanan berkonsep bar. Setiap bar menyajikan jenis makanan yang berbeda. Ada buah-buahan, pizza, makan tradisional turki, teh, salad dan lain sebagainya.
Kami terus berjalan melewati virtual golf, playground dan art gallery menuju ke pintu paling pojok yaitu pintu bertuliskan 'Toilet'.
Kukira toiletnya kecil, ternyata di dalam luas sekali. Akash membuka ranselnya di salah satu meja, ia mengeluarkan toote bag dan menyerahkannya padaku. Benar saja, isinya ternyata baju dan peralatan mandi.
"Kapan kamu mengeluarkan ini dari koper?" tanyaku.
"Di Indonesia, sebelum aku memasukannya ke bagasi. Jangan lama-lama mandinya, kita harus makan sebelum kembali ke pesawat," ujad Akash.
Aku dan Akash berpisah, aku memasuki area shower rooms khusus perempuan. Area ini berbentuk lorong panjang dengan banyak pintu di sisi kanan dan kiri lorong. Aku masuk ke salah satu pintu, didalamnya ada westafel, kloset duduk, shower dan cermin besar.
Aku membersihkan diri dengan cepat lalu memakai memakai kaos dan hot pants yang ada di tootebag. Aku juga memakai trench coat lengan panjang dan menutup semua kancingnya sehingga menyerupai dress dengan panjang dibawah lutut.
Setelah menyisir rambut aku bergegas keluar. Akash sudah menungguku, berdiri diluar sambil memegang pakaian kotor di tangannya.
"Sudah?"
Aku mengangguk, Akash memasukan baju kotornya ke tootebag dan memasukannya kembali ke dalam tas. Di luar kami segera menuju stand makanan.
Aku mengambil pizza dan teh lalu duduk di salah satu kursi. Akash terus berjalan menuju stand makanan lain dan kembali dengan dua porsi turkish moussaka serta beberapa potong baklava di piring kecil. Akash yang memberitahuku nama makanan itu.
"Habiskan ini." Akash menyerahkan salah satu piring yang ia bawa kepadaku. Oseng daging dan terong ala turki yang disajikan dengan sepiring nasi. Sepertinya enak.
Sebelum memakannya aku menyerahkan ponselku pada Akash. "Tolong fotokan," ucapku.
Akash menurut, ia mengambil beberapa gambarku secara candid.
"Maya, kenapa kau menjulukiku dengan sebutan Ranbir Kapoor?" tanyanya.
"Karena kau memiliki wajah yang lembut, bermata sayu, kumis tipis dan jambang. Sayangnya aku bukan Alia bhatt," jawabku seraya tertawa.
"Maksudnya?"
"Ranbir Kapoor dan Alia bhatt itu suami istri betulan, sedangkan aku dan kau hanya kawin kontrak." Aku kembali terkekeh-kekeh.
"Kau suka india?"
"Ya. Filmnya, budayanya, tariannya, mitologinya, semua. Itu yang membuatku selalu diolok-olok oleh Nia. Kenapa kau bule sekali Akash, seperti ...,"
"Seperti orang india?" potongnya cepat. Aku mengangguk.
"Kakek dan ayahku asli Mumbai. Mereka pindah ke Indonesia dan mendirikan perusahaan di sini," jelasnya.
"Kau punya saudara?"
"Tidak, aku hanya punya seorang sepupu, anaknya paman Dhika. Pria yang waktu itu mengantarkanmu ke altar."
Aku mengangguk-anggukan kepala. Ketika menyendok makanan tiba-tiba aku dan Akash terkejut mendengar panggilan boarding. Akash melihat jam tangannya, waktu telah berlalu dengan cepat. Tanpa menghabiskan makanan Akash meraih tasnya lalu bergegas pergi diikuti olehku.
Sialnya jarak lounge dan gate sangatlah jauh. Kami berjalan cepat menyusuri bandara, sesekali kami berlari lalu berjalan pelan untuk mengambil napas. Panggilan boarding kembali terdengar, hal itu membuat kami panik. Di garbarata ku lihat beberapa orang juga ikut berlari.
"Cepat Maya," kata Akash.
Dia masih memegang tanganku sambil menariknya agar aku berlari lebih cepat. Aku menoleh ke arahnya lalu tertawa. Biasanya di film-film bollywood aktornya berlarian karena ketinggalan kereta, sedangkan aku berlari mengejar pesawat.
Ketika aku melihat Akash rasanya waktuku berubah menjadi slow motion. Tampak raut wajahnya yang serius dan memerah, bulir-bulir keringat bermunculan di pelipisnya, nafasnya yang terengah, semuanya berhasil membuatku terkesima. Aku tak bisa menyembunyikan senyumanku.
Ketika pintu pesawat sudah terlihat, Akash memperlambat langkahnya. Kami memasuki pesawat lalu duduk di kursi semula. Aku meraih ponselku dan mengubah pengaturannya. Masih dengan terengah-engah Akash membuka botol minum dan meneguknya. Setelah minum ia menyerahkan botol itu padaku. Aku meraihnya sambil tersenyum.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku menggeleng seraya meneguk air itu. Akash meraih selimut lalu menutupi kakiku yang terbuka.
"Terima kasih," ucapku.
***
Tiga jam kemudian pesawat yang kami tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional Zurich. Aku mengambil sebuah troli disudut ruangan sedangkan Akash menunggu koper kami keluar di rel dan mengambilnya. Setelah menyusun barang-barang di troli Akash mendorongnya dan mengajakku keluar.
Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, menelpon seseorang menggunakan bahasa inggris. Cukup jauh kami berjalan sampai akhirnya seseorang menghampiri Akash. Lama mereka mengobrol sedangkan aku hanya memperhatikan.
"This is Maya. My wife." Akash memperkenalkanku padanya.
"Hai, i'm Paul. Can you speak english?"
"Sedikit," jawabku seraya menjabat tangannya.
"Dia guide tour kita May," bisik Akash.
"Akash Bahasa Inggrisku gak lancar, aku gak ngerti dia ngomong apa."
"It's okay. Ada aku," jawab Akash.
Akash dan Paul kembali berjalan sambil terus mengobrol, sesekali mereka tertawa. Keluar bandara, Paul mengajak kami ke sebuah mobil. Di sini masih sekitar jam sebelas siang, karena ini musim gugur cuaca tidak terlalu panas meski angin cukup kencang.
Akash membukakan pintu mobil untukku, ia pun duduk tepat di sebelahku. Mobil bergerak keluar dari bandara menuju ke arah barat menyusuri Jalan Butzenbuelring dan masuk ke dalam tol.
"Kau pusing?" tanya Akash.
"Tidak, hanya saja telingaku rasanya berdengung," jawabku.
Aku terus memerhatikan jalan dan bangunan yang berjejer. Tatanan kota yang rapih dan kombinasi bangunan khas eropa dan modern membuatku terkesima. Dari Jalan Uraniasstrase mobil yang kami tumpangi belok ke arah kiri menyusuri Jalan Taltrasse.
Di kiri kanan jalan, gedung-gedung tinggi menjulang. Membuat jalananan yang kami lewati menjadi teduh. Pandanganku tiba-tiba tertuju pada sebuah gedung berwarna putih gading khas eropa yang tampak megah. Aku jadi teringat gedung-gedung di Jalan Asia Afrika Bandung, designnya hampir mirip.
"Paul, bangunan apa ini?" tanyaku.
"Hotel Ma'am. Baur Au Lac. We'll stop there," jawab Paul seraya membelokan mobilnya memasuki pelataran hotel tersebut. Tidak lama perjalanan yang kami tempuh dari bandara, sekitar lima belas menit.
Karena gedung hotel yang tak terlalu tinggi dan terdapat taman yang luas, serta bendera di atas gedung. Aku tidak seperti masuk ke area hotel, melainkan kantor pemerintahan.
"Akash, kau yakin ini hotel ?" tanyaku memastikan.
"Iya May. Ini hotel paling terkenal."
Mobil berhenti tepat di depan lobi. Aksh dan Paul bergegas keluar dan menurunkan koper dan barang bawaan lainnya.
Aku keluar dari mobil dengan ekspresi kagum, terkejut dan bingung. Tiba-tiba dua orang pria berjas hitam keluar dari dalam hotel lalu menghampiri kami, salah satu dari mereka membawa troli. Pria itu tersenyum kepadaku.
"Welcome to Zurich ma'am..."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments