Bandara

Aku berjalan perlahan, mengedarkan pandangan ke seluruh sisi bandara mencari keberadaan Akash dan porter tadi. Baru pertama kali aku ke bandara, aku tidak mengerti prosedur yang harus aku tempuh di sini. Melihat petunjuk dan arah panah pun aku bingung dengan istilah-istilah yang tak aku mengerti.

"Sial! Mana tasku dibawa Akash!" umpatku pelan.

Aku terus berjalan sampai akhirnya aku melihat satpam yang sedang berjaga.

"Permisi pak. Numpang tanya. Kalau penerbangan ke Swiss sebelah mana ya?" tanyaku.

"Mba sudah pesan tiket? Sudah chek in?"

"Sudah pesan tiket tapi barang-barang dan semua dokumen dibawa suami saya, kalau mau ke luar negeri biasanya kemana dulu ya pak?"

"Coba mba ke loket chek in di sebelah sana, siapa tahu suami mba ada di sana." Satpam itu menunjukan tempat yang sepertinya cukup jauh.

"Baik, terima kasih Pak." Aku kembali berjalan mencari loket chek in untuk penerbangan luar negeri.

"Chek in.. chek in.. chek in.." gumamku seraya berjalan cepat.

Sesampainya di tempat chek in aku semakin dibuat bingung karena ternyata banyak sekali loket dengan berbagai macam maskapai dan kelas yang berbeda. Aku semakin bingung, mau bertanya pun aku tidak tahu pakai pesawat apa. Ada lebih dari delapan loket di sini.

"Ah, sudahlah. Sebaiknya aku pulang saja, tapi bagaimana caranya aku pulang?" pikirku.

Aku berbalik dan diam sesaat, mencoba menjauh dari tempat itu. Di pikiranku hanya ada satu hal. Bagaimana caranya agar aku bisa pulang ke Bandung dengan selamat.

Tunggu, bukankah Akash kaya raya? Kata ibu dia pengusaha, haruskah aku mencari namanya di google? Mencari nomor telepon perusahaannya dan menyuruh anak buahnya menjemputku? Sepertinya itu ide yang bagus.

Aku melihat sekeliling, mencari orang yang kira-kira ponselnya bisa ku pinjam.

"Oh ya, satpam tadi," pikirku.

"Mau kemana?"

Baru saja aku berjalan, suara yang aku kenal menghentikan langkahku. Lututku lemas. Tiba-tiba perasaan terkejut membuat tubuhku bergetar. Aku terduduk di lantai, perasaan lega menyeruak seakan membuatku jatuh dari tempat paling tinggi.

Ku dengar langkah Akash berjalan dari arah belakang lalu berdiri di hadapanku, sedangkan aku sibuk mengatur detak jantungku yang berdegup sangat cepat. Ingin aku mengumpat, meneriaki dan memaki pria itu tapi lidahku kelu.

"Hey, kamu kenapa?"

"Kukira kau meninggalkanku" ucapku lirih.

"Kau kan bisa menyusulku ke sini. Jadi aku chek in dan menyimpan bagasi," jelasnya.

Akash mengulurkan tangannya padaku, meski masih gemetaran aku aku mencoba meraihnya. Semandiri-mandirinya aku, jika ditinggalkan di tempat asing tanpa uang, ponsel dan identitas diri ciut juga nyaliku.

Akash tiba-tiba berjongkok dan menarikku ke pelukannya. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Beberapa detik kemudian tubuhku berangsur normal. Pelukannya menenangkan.

"Kau takut? Ini pertama kalinya kau ke bandara? Pergi jauh?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Maafkan aku, aku tidak tahu." Akash menepuk-nepuk punggungku pelan.

"Sudah lebih baik?"

"Iya." Aku melepaskan diri dari pekukan Akash lalu berdiri.

"Ini tasmu," katanya.

Tanpa permisi Akash menggenggam tanganku dan membawaku menuju ke sebuah lounge. Tak banyak orang disana, hanya ada beberapa bule, aku dan Akash saja.

"Mau makan apa?" tanya Akash setelah kami tiba di depan pantry. Dia menyerahkan buku menu padaku.

"Aku mau bakso aja."

"Oke, tunggu di sana." Akash menunjuk ke deretan kursi.

Aku pun menurut dan duduk di dekat jendela dengan pemandangan deretan pesawat. Di luar hujan lumayan deras membuat cahaya lampu memantul di titik-titik air hujan di jendela.

Aku memutar kepalaku ke depan, ku lihat suamiku itu berbicara pada seorang pegawai. Setelah selesai dia duduk tepat di hadapanku. Kukira dia akan mengeluarkan ponsel dan menyibukkan diri seperti biasa, tapi ternyata dia malah melihat ke arah jendela.

"Maya."

"Ya?"

"Sudah lama bekerja di distro?"

"Lumayan, sejak ayah sakit sampai sekarang," jawabku.

"Ayahmu kerja apa?" tanya Akash.

"Ayahku sudah meninggal dua tahun lalu."

"Oh, maaf. Kulihat di kamar lumayan banyak buku-buku teori sastra milikimu. Kau kuliah jurusan sastra?"

"Ya, Sastra Indonesia. Sebenarnya aku sudah telat lulus satu tahun. Ada seorang dosen yang menurutku tidak jelas. Dia terus saja menyuruhku revisi tapi entah bagian mana yang salah," keluhku.

"Kau menyetujui kontrak kita karena itu?" tanya Akash lagi.

"Salah satunya iya, aku belum membayar uang praktikum dan SPP tiga semester ini. Belum lagi uang pendaftaran sidang dan wisuda. Mengandalkan gajiku saja tidak cukup." jelasku.

"Kau tidak memeberitahu ibumu?"

Aku menggeleng. "Aku berbohong pada ibu, kubilang semua biaya kuliahku sudah kubayar memakai tabungan. Padahal aku sama sekali tidak punya tabungan."

"Kenapa begitu?"

"Kau tahu Akash, sebuah keluarga akan pincang jika salah satu penopangnya runtuh. Semenjak ayahku meninggal ibu banyak berhutang entah itu untuk biaya kuliahku atau keperluan yang lain. Aku mengorbankan biaya kuliahku agar ibu bisa mencicil hutang-hutangnya," jelasku panjang lebar.

Akash mengangguk-anggukan kepalanya. "Rencanamu setelah ini apa?"

"Maksudnya?" Aku mengerti maksud pertanyaannya.

Tiba - tiba seorang pelayan datang membawakan makanan pesanan kami.

"Apa rencanamu jika kontrak pernikahan kita berakhir Maya?" Akash mulai menyuapkan makanannya.

"Entahlah, mungkin aku akan pergi ke luar kota. Mencari pekerjaan, aku belum tahu," jawabku asal.

"Kenapa harus ke luar kota? Kulihat transkip nilaimu bagus, bekerja di Bandung pun kamu akan mendapat gaji yang cukup."

Aku menatap lekat pria di depanku. Ranbir Kapoor itu benar-benar hanya peduli dengan dirinya sendiri. Tapi sepertinya dia mulai penasarana padaku, kapan dia melihat barang-barangku? Ketika aku mandi atau sedang tidur?

"Mungkin kau belum tahu ini Akash, tidak mudah bagi seorang wanita menyandang status janda. Menurutku keluar kota adalah hal yang paling tepat." jawabku tegas. Mendengar itu Akash terdiam.

Lama kami berada lounge sampai akhirnya panggilan boarding untuk penerbangan kami di umumkan. Akash memakai sweaternya lalu  mengajakku ke gate, ia berjalan di depanku dengan ransel berukuran sedang di punggungnya.

Asik berjalan sendiri tiba - tiba Akash berbalik dan mengulurkan tangan kanannya. Aku sedikit berlari mengejarnya dan meraih tangan kekar itu. Aku pun mensejajari langkahnya.

Aku dan Akash terus berjalan memasuki boarding bridge. Dari sini aku bisa melihat pesawat lebih dekat. Hujan masih deras, dari jendela garbarata samar-samar aku bisa membaca tulisan berwarna biru di badan kapal yang besar.

Di pintu pesawat Aku dan Akash disambut pramugari berseragam merah. Akash mengangguk lalu membawaku masuk.

"Oh, jadi begini di dalam pesawat," ucapku dalam hati.

Deretan kursi besar berwarna abu-abu hitam terhampar di dalam kabin. Langkah Akash berhenti di salah satu kursi di tengah-tengah ruangan.

Aku mengangguk-anggukan kepala saat melihat ke seluruh ruangan. Kursi jajaran tengah didesain berbeda, terdapat dua kursi yang bersebelahan hingga bisa diakses oleh dua orang. Sedangkan jajaran kiri dan kanan hanya terdapat satu kursi di dekat jendela.

Aku duduk dan mengecek semua fitur yang ada di kursi, banyak sekali tombol yang sebenarnya tidak ku mengerti. Akash membantuku mengganti sepatu dengan sandal yang sudah disediakan. Dia menyerahkan sebuah pouch yang ternyata isinya hand body, odol, parfum, sikat gigi dan lain-lain.

"Kaya di hotel aja," gumamku.

"Akash berapa lama kita di pesawat?" tanyaku.

"Sebelas atau dua belas jam. Kenapa? Kamu sering mabuk perjalanan?"

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!