Night In Alstadt

#POVAkash

Aku keluar kamar setelah sedikit menggodanya. Maya itu terlalu banyak protes. Dia tidak pernah langsung setuju pada setiap keputusan yang aku buat. Keras kepalanya sungguh luar biasa. Dia juga kadang memikirkan apa yang tidak pernah terlintas dipikiranku sebelumnya.

Tapi, aku lebih suka mendengarkannya mengoceh tak karuan dari pada melihatnya murung. Rasanya suasana di sekitarku menjadi lebih hidup. Semenjak kejadian di bandara, aku sudah seperti pengasuh baginya. Ingin aku bersikap acuh tapi tak bisa.

Sore tadi ketika melihat siluet Maya di balkon darahku rasanya berdesir.

"Cantik," gumamku dalam hati. Ya, memang. Maya kalau diam terlihat lebih anggun.

Pandanganku terhadapnya tiba-tiba berubah. Ada sesuatu yang membuatku ingin terus berada di dekatnya dan satu-satunya cara yang aku miliki adalah membuatnya kesal.

Aku mengetuk-ngetuk jariku pada pagar pembatas tangga. Berdiri sendiri tanpa Maya rasanya seperti ada yang hilang. Aku mencari ponselku di saku celana. Niatku akan mengirimkan pesan agar ia berganti baju dengan cepat tapi benda pipih itu tak ku temukan. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamar.

Dalam hati aku tersenyum melihat Maya berusaha menutupi dirinya, susah payah aku menahan diri agar tak melihatnya. Aku meraih ponselku yang tergeletak diatas meja sembari setia mendengarkan ocehannya.

Cukup lama aku menunggu Maya di luar. Aku menoleh ketika pintu kamar terbuka, sebetulnya aku lebih suka melihat Maya seperti ini. Memakai dress-dress casual. Salahku yang tidak membelikannya celana panjang karena ku pikir di sini sudah musim semi ternyata aku salah perhitungan.

Setelah menaiki taksi, Aku dan Maya berjalan menyusuri Jalan Bhanhostrasse daerah Alstadt.

"Mau foto?" tanyaku pada Maya.

Gadis itu mengangguk, dia menyerahkan ponselnya padaku lalu bergaya membelakangi gedung-gedung tua dengan pintu lebar khas bangunan eropa. Aku memasukan ponselnya ke dalam saku jaketku.

"Aku mau lihat," ucapnya.

"Nanti saja." Aku menarik Maya memasuki salah satu butik dan membiarkannya membeli apa yang ia suka. Maya melihat-lihat deretan celana. Sedangkan aku berdiri di bagian coat.

"Akash!" Maya memperlihatkan dua celana jeans berwarna hitam dan krem.

"Pilih yang senada dengan dress yang ada di hotel Maya," jawabku.

Maya menyimpan kembali celana yang berwarna hitam lalu mengambil celana berwarna abu-abu. Aku pun mengangguk setuju.

"Try it," Aku meminta staf toko mengantarkan Maya ke kamar pas.

Tak lama kemudian ia keluar dan berbicara dengan staf toko dengan Bahasa Inggrisnya yang sangat acak-acakan, meminta size celana yang lebih besar. Aku diam saja. Ingin rasanya aku tertawa mendengar Maya, tapi kutahan.

Aku tersenyum, mataku tertuju pada sebuah camel coat berwarna beige dengan saku besar di kedua sisi.

"May, coba ini." Aku menyerahkan coat itu kepada Maya.

Meski panjangnya sampai lutut tapi coat itu mengikuti bentuk badan Maya. Tiga buah kancing hitam dan kerah memanjang dari bagian dada sampai leher membuat coat itu cocok dipadukan dengan dress yang ia pakai saat ini.

Ketika staf toko kembali, Maya membuka coat itu dan menyerahkannya padaku. Maya kembali ke ruang pas sedangkan aku meminta staf toko membungkus coat tersebut.

Selesai belanja kami kembali menyusuri Jalan Bhanhostrasse. Jalan ini adalah salah satu pusat perbelanjaan, banyak sekali toko-toko dan butik di sini. Aku meraih ponselku melihat maps lalu berjalan sesuai petunjuk.

Kami tidak hanya berdua, banyak orang yang berjalan bersama kami. Di sini Maya banyak berfoto, sampai aku harus mengingatkannya berkali-kali agar kami tak pulang terlalu malam.

Sampai di bukit Lindenhof aku dan Maya berhenti sejenak, menikmati pemandangan malam Kota Zurich. Aku menghela napas panjang, ada rasa sakit yang tiba-tiba muncul berdesakan keluar.

"Ada apa?" tanya Maya.

"Zurich adalah tempat impianku bersama Ruth. Aku pernah membayangkan berdiri di sini bersamanya. Menikmati malam sambil berpelukan." Aku tertawa getir.

"Kenapa kalian batal menikah?"

"Entahlah May, hanya dia yang tahu alasannya meninanggalku lima hari sebelum pernikahan." Ku rasakan Maya menepuk-nepuk pundakku.

Begitu cara dia menenangkan seseorang?

Aku tersenyum lalu menariknya ke dalam pelukan. Setidaknya aku tidak sendiri. Ku rasakan Maya membalas pelukanku. Apakah sekarang aku dan Maya sudah sah berteman?

Tiba-tiba Maya menjauh, aku mengernyit heran.

"Aku lapar," katanya.

Aku terkekeh suasana sedang sedih begini, dia malah minta makan. Tanpa menjawab aku menggenggam tangannya berjalan menuruni bukit. Lagi-lagi Maya melihatku dengan tatapan aneh.

Kami melewati jembatan Munsterbrucke, jembatan yang terbuat dari batu membentang di atas sungai Limmat. Di seberang kami terdapat gereja yang menjadi icon Kota Zurich, Grosmunster.

"Akash, mana hapeku?" tanya Maya.

Aku memberikan ponsel padanya, dia terlihat serius menekan-nekan layar lalu berpose membelakangi gereja.

"Biar aku yang foto." Aku mencoba mengambil ponselnya tapi ia malah menarikku.

"Ayo kita selfie Akash, aku belum punya fotomu," ujarnya.

Aku menurut, kulihat Maya membenarkan angle kamera beberapa kali agar menara kembar Grosmunster terlihat jelas di layar.

"Sekali lagi." Maya kembali bergaya dengan pose yang lain.

"Lihat aku," ucap Maya. Aku menoleh heran.

"Senyum Akash," pintanya. Aku tersenyum kepadanya, tiba-tiba dia tertawa lepas sambil menekan layar kamera.

"Senyum lebih tulus atau tertawa," ujar Maya.

"Untuk apa?" tanyaku.

"Biar fotonya bagus," jawabnya. Aku menurut. Maya mengambil gambar beberapa kali.

"Lihat ini, bagus kan?" Maya memperlihatkan hasil jepretannya padaku. Sekarang giliranku yang menatapnya.

"Kenapa wajahmu begitu teduh May?" ucapku dalam hati.

"Ada apa?" Maya terheran melihatku.

"Aku lapar Maya."

"Maaf, ayo kita makan." Maya menggandeng lenganku dan berjalan kembali. Setelah berbelok kami memasuki kawasan Niederdorf. Banyak sekali restoran, cafe dan bar disini.

"Mau makan apa?" tanyaku pada Maya.

"Apa aja asal kenyang."

Aku melihat ke sekitar, jalanan cukup ramai oleh pejalan kaki. Aku melepas genggamanku pada Maya, meraih ponsel dan mencari rekomendasi restoran yang menyediakan masakan China agar rasa makanannya bisa diterima oleh Maya.

"Akash lihat." Maya menunjuk ke sebuah restoran yang cukup ramai.

Melihat kursi dan meja yang berderet di luar restoran cukup penuh terisi aku bisa menyimpulkan restoran itu pasti enak karena pengunjungnya banyak. Dari nama restorannya saja aku bisa menyimpulkan kalau itu restoran italia.

"Kita cari restoran China aja ya biar ada nasi." Aku menolaknya dengan lembut.

"Memang itu restoran apa?"

"Italia."

"Gak apa-apa, kita kan masih lama di sini. Besok aja kita cari restoran China. Makanan Italia tuh apa ya? Pizza? pasta? Aku bisa kok makan itu." Dengan semangat Maya berjalan mendahuluiku. Ia menyebrang, sedangkan aku mengekorinya di belakang.

Baru saja Maya akan memasuki restoran, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh besar keluar dan menabrak gadis itu dengan keras.

"Maya!" teriakku. Sepertinya orang tadi sedang terburu-buru.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!