Aku terbangun karena silau sinar matahari yang tiba-tiba mengganggu tidurku. Aku menutupi mataku dengan tangan, dari sela-sela jariku aku bisa melihat seseorang memakai kemeja abu-abu berdiri menghadap ke arahku.
"Akash?"
"Pagi Maya, kau melewatkan sarapanmu." Akash mengambilkan segelas air putih yang terletak di atas meja lalu menyerahkannya padaku.
"Aku tak bisa tidur gara-gara kau." Aku meneguk air putih itu pelan.
"Aku tahu. Beberapa kali aku terbangun dan mendapatimu melamun, kamu mikirin apa?" Akash meraih gelas dari tanganku dan duduk di sampingku.
"Aku gak bisa tidur karena kamu terus saja memegang tanganku Akash! Pegel!" protesku.
"Maaf, mandi sana! Sebentar lagi Paul jemput kita."
Aku beranjak dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi. Mendengar Paul akan menjemput aku mandi dengan cepat. Aku masih berada di kamar mandi setelah menggunakan pakaian, berdiri di depan cermin lalu memakai make up. Tiba-tiba Akash mengetuk pintu.
"Ada apa?" tanyaku saat pintu itu terbuka.
"Belum selesai?"
"Belum." Aku kembali menyelesaikan make up ku. Akash berdiri di belakang, ia melepas handuk yang melilit dikepalaku.
"Akash, apa-apaan sih?"
"Biar kukeringkan rambutmu."
"Oh." Aku kembali melanjutkan aktifitasku. Kulihat di kaca Akash sibuk dengan hair dryer di tangannya.
"Ya Tuhan, perlakuannya manis sekali." Aku tersenyum tapi tiba-tiba aku teringat pernikahan ini hanya sementara. Make up ku sudah selesai tapi aku masih diam di tempat membiarkan Akash menyisir rambutku.
"Rambutmu bagus Maya," puji Akash. Dia membelai rambut panjangku pelan.
"Kenapa akhir-akhir ini kau senang sekali menyentuh Akash?" Aku membalikan badan menghadap ke arahnya.
"Kenapa? Aku memang seperti ini."
"Kepada semua wanita?" Aku menatap tajam ke arah matanya.
"Tidak, hanya pada seseorang yang menurutku spesial."
"Jadi, aku spesial?" tanyaku menyelidik.
"Tentu Maya, kau temanku."
Aku tersenyum sinis. "Kau seperti ini pada semua teman wanitamu?" Aku menekan kata teman dalam nada bicaraku.
"Kau istriku Maya."
"Pernikahan ini hanya kontrak Akash. Tolong jaga batasanmu dan ingat kontrak kita." Aku meninggalkan Akash lalu meraih roti di meja. Akash keluar dari kamar mandi lalu duduk di karpet tepat di depanku yang sedang menyantap roti diatas sofa.
"Eh? Akash? Ngapain? Jangan begini." Aku panik berusaha menarik pria itu agar duduk di sofa. Akash meraih tanganku lalu menciumnya.
"Aku minta maaf Maya. Aku tahu, aku dua hari ini aku bersikap lancang. Maafkan aku, tolong jangan marah. Jangan tinggalkan aku Maya." Akash terlihat sangat tulus dan jujur, ia berbicara padaku sambil menundukan kepalaya.
Aku menghela napas, aku bingung. Di satu sisi Akash terlihat rapuh tapi mengingat kontrak pernikahan ia menunjukan bagaimana ia sangat terobsesi pada Ruth. Aku tak bisa menehan tubuhku agar tak turun dari sofa, dengan sadar aku menggeser meja dengan pelan lalu meraih Akash ke dalam pelukanku. Kenapa dia selalu merasa takut ditinggalkan?
"Jangan ada emosi yang ditahan lagi Akash, keluarkan semuanya. Menangis pun tak apa, tak ada siapa-siapa di sini. Tak usah malu, hanya ada aku." Aku merutuki setiap kata yang keluar dari bibirku. Semua yang kuucapkan bertentangan dengan akal sehatku.
Bagai mantra, Akash menuruti semua kata-kataku. Kurasakan bahunya mengguncang dan isakan mulai terdengar. Kurasakan bajuku mulai basah dan Akash memelukku semakin erat.
"Ya Tuhan, aku takut jatuh cinta. Aku takut terperangkap dalam perasaan yang tak seharusnya." batinku.
***
Mobil Paul melaju menyusuri jalan raya, Akash duduk disampingku seraya menggenggam tanganku. Paul terlihat sibuk menjelaskan segala hal, karena banyak kata yang tak ku mengerti aku lebih asik melihat pemandangan dari jendela mobil. Akash meremas tanganku membuatku menoleh ke arahnya. Masih terlihat jelas sisa-sisa tangis di wajahnya, hidungnya memerah dan matanya pun sembab. Dia tersenyum ke arahku.
Paul membelokan mobilnya ke pelataran Kunsthaus. Sebuah museum seni rupa yang sangat besar di Zurich. Konon katanya bangunan berbentuk kotak itu menyimpan karya-karya paling berpengaruh dan legendaris.
Aku dan Akash keluar dari mobil. Ia menguluran tangannya, menatapku dan mengangguk. Ragu-ragu aku meraih tangannya hingga kami masuk bergandengan layaknya pengantin baru sungguhan.
Kami masuk ke ruang pameran lukisan, aku yang pada dasarnya menyukai seni merasa takjub dengan apa yang aku lihat. Lama kami di sini, kami berkunjung ke ruang pameran patung dan lain sebagainya.
Selain mejelaskan berbagai hal, Paul juga membantu kami berfoto. Ku lihat Akash lebih ceria hari ini, seperti ada sesuatu yang hilang di pundaknya. Ia bahkan menimpali candaan-candaan yang Pa lontarkan.
"Sepertinya kamu sangat bersemangat di museum Ma'am." Paul menoleh ke arahku sebelum memasuki mobil.
"Dia kuliah jurusan sastra, pastinya menyukai seni," jawab Akash.
"Apa kau mau menonton opera?" Paul menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Opera?" Aku mengerutkan dahi.
"Yes, ma'am**! Hari ini ada pertunjukan di Opernhaus. Sebuah pertunjukan drama."
"Benarkah?" tanyaku memastikan.
"Kau mau pergi ke sana?" tanya Akash.
Aku mengangguk dengan semangat. Paul mempercepat laju mobilnya. Tiba di gedung opera aku benar-benar terkagum-kagum melihat gedung putih dengan tiang-tiang besar di depan pintu. Opernhaus yang megah berdiri dengan angkuh bagaikan istana.
"Akash kau yakin ini gedung pertunjukan?" Aku mengedarkan pandanyan ke sekeliling halaman yang benar-benar luas.
"Aku mau foto," ucapku.
Kami masuk ke dalam gedung, aku tak bisa berkata-kata lagi ini benar-benar membuatku terkesima. Gedung pertunjukan dengan panggung yang sangat luas. Kursi-kursi berwarna merah berderet melengkung menghadap ke arah panggung. Tidak hanya di bawah, diatasnya terdapat tiga lantai kursi berjejer yang sama. Biasanya aku melihat ini di film-film barat, sekarang aku bisa menyaksikan semua ini dengan mata kepalaku sendiri.
"Kau suka kesini Maya?" tanya Akash.
"Suka, aku sedang membayangkan suatu saat nanti aku yang ada di atas panggung itu." Aku menunjuk ke arah panggung, sedangkan Akash melihatku heran.
"Kau lupa? Aku ikut komunitas teater Akash, sudah pasti tempat seperti ini adalah tempat favoritku," jelasku.
Paul mengajak aku dan Akash duduk di salah satu kursi bersama pengunjung yang lain. Drama yang kami tonton adalah Rome Und Julia, sebuah kisah cinta legendaris yang paling tragis dunia karya William Shakespeare. Meski aku tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan tapi aku benar-benar menikmati setiap babak pertunjukan.
Pertunjukan selesai, hari sudah mulai sore Paul mengantarakan kami ke hotel setelah kita makan di sebuah Restoran China. Aku merebahkan tubuhku di kasur yang empuk, ternyata berkeliling seharian membuatku pegal. Aku melihat-lihat beberapa foto lalu menguploadnya ke instagram.
"Kau mau mandi duluan?" tanya Akash.
"Nggak ah, aku nanti saja." Aku tak menoleh pada Akash.
Kudengar ia menutup pintu kamar mandi. Aku ingat foto-fotoku juga ada banyak di ponsel Akash. Aku bangkit lalau mencarinya.
"Kayaknya yang di ponsel Akash lebih bagus." Aku berhasil menemukan ponselnya, tapi ketika aku menyalakan layar tubuhku terdiam.
Ada rasa sakit yang mendadak menelusup ke dalam hati. Aku menyimpan kembali ponselnya dan ponselku di atas meja lalu keluar dari kamar.
Tanpa alasan aku merasa sesak berada di dalam kamar. Aku terus berjalan menyusuri tangga lalu masuk ke sebuah ruangan dengan botol yang berjejer di setiap sudut. Aku duduk di depan meja berbentuk bar. Seorang pelayan menghampiriku.
"Mau minum?" tanya pelayan itu menggunakan bahasa yang tak ku mengerti.
"English please...."
"Mau minum ma'am?" tanya pelayan tersebut.
Aku teringat, hari ini aku kurang minum. Aku pun mengangguk.
"Mau pesan apa?"
"Apa saja jawabku." Aku memperhatikan pelayan tersebut memasukan beberapa cairan yang entah apa lalu mengocoknya dan menghidangkannya di hadapanku.
Melihat warnanya yang menggoda aku pun meminumnya. Rasanya aneh, ada manis, asam, pahit dan sedikit pengar. Aku menghabiskan minuman itu dengan cepat.
Pelayan itu menawarkan minuman lagi, aku pun mengangguk karena rasa hausku tidak menghilang, malah tenggorokanku terasa terbakar.
Aku meneguk kembali minuman itu setengahnya. Kini aku merasa pandanganku sedikit berputar. Aku menghabiskan minumanku dan berhenti saat seorang laki-laki yang tak ku kenal menghampiriku.
Aku mengabaikannya karena tak mengerti dengan apa yang ia ucapkan. Kepalaku semakin pusing, laki-laki itu terus saja mengoceh dan merangkulku. Aku berusaha menghindar tapi laki-laki itu terus saja merangsek semakin dekat, malah semakin berani.
Aku merasa sangat risih, aku ingin melawan tapi kepalaku rasanya berat. Aku menyandarkan kepalaku pada meja. Tak sanggup melawan membiarkan pria-pria itu menyentuh lenganku, sepertinya ia akan membawaku karena ku rasakan tanganku melingkar di pundaknya. Aku ingin berontak tapi tubuhku tak bisa dikendalikan.
"Aku kenapa?" batinku.
Tiba-tiba orang itu terjengkang entah kenapa, aku akan terjatuh tapi tangan lain menangkap tubuhku.
"Don't touch her! She is my wife!"
Aku menoleh, aku tersenyum mendengar Si Ranbir Kapoor itu mengatakan bahwa aku istrinya. Tapi kenapa ia terlihat marah?
"Akash..." ucapku lirih.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments