“Dokter Yuka, sudah berapa kali wali pasien itu datang?” Tanya salah satu perawat yang berjaga bersamanya.
“Mungkin 3 kali dari sejam saya duduk disini,”
“Wah, tegas aja dok,”.
”Tidak apa-apa,”.
Ryuka hanya tersenyum menanggapi ucapan rekan kerjanya. Bagaimana pun Ryuka masih mencoba sabar dan mengerti. Tak jarang wali pasien memanggil dokter yang berjaga untuk mengecek keadaan pasien beberapa kali walaupun sebenarnya hal-hal sepele tapi bisa berarti kode biru dalam bayangan mereka, seperti pasien yang tak kunjung bangun walaupun telah dijelaskan sebelumnya bahwa pasien baru saja diberi obat penenang dan sejenisnya.
Tiap hal-hal itu terjadi, hanya Ryuka yang hampir tak pernah marah dan tetap memeriksanya berkali-kali jika diminta, Ryuka merasa kembali teringat kejadian saudara kembarnya yang dilarikan kerumah sakit setelah percobaan bunuh diri, ia kalang kabut walau adiknya mengeluh sakit dibeberapa bagian padahal hal itu hanya efek dari tubuh yang minim aktifitas setelah seharian atau beberapa hari hanya terbaring di ranjang rumah sakit.
Karena itu, Ryuka selalu mencoba menempatkan posisinya sebagai wali pasien. Tiga hari berlalu sejak Ryuka kembali bekerja, semua hal-hal yang dikhawatirkan sahabat-sahabatnya benar terjadi, tetapi Ryuka sejauh ini berhasil melaluinya dengan baik. Lamunan Ryuka terhenti karena dering ponselnya, tertera nama Lily.
“Dok, bisa tolong ke UGD?”
“Apakah mendesak?”
“Iya dok,”
“Saya menuju kesana, bisa tolong jelaskan kondisinya?”
“Anak laki-laki berumur 7 tahun dan ditubuhnya terdapat beberapa luka memar, terparah dibagian kepala dan kelihatannya telah terjadi beberapa kali dok, observasi sementara ada beberapa kelainan dibagian tulang rusuk, dokter Septi dan dokter Indra akan menyusul kemari tetapi beliau menyuruh saya memanggil dokter Yuka terlebih dahulu,”.
“Baik, saya sudah dekat.” Ryuka mematikan ponselnya dan berjalan lebih cepat.
Ryuka yang disambut Lily dipintu UGD bergegas kearah pasien dan mengecek hasil pemeriksaannya dilayar komputer, “apa perlu dilakukan MRI dok?” tanya Lily mempertimbangkan kondisi pasien.
“Terlebih dahulu sebaiknya hubungi wali pasien, siapa yang mmbawanya kemari?”
“Mari dok, saya antar,” Lily mempersilakan.
“Tidak perlu, mereka ada diluarkan? Untuk sementara tolong bersihkan luka dibagian kepala dan mengganti perbannya sesering mungkin, nanti saya kembali,” Lily dan seorang rekannya lagi mengangguk.
“Selamat malam dok, kami dari kepolisian,” dua orang pria berusia sekitar akhir 30-an menyapa Ryuka, sambil menyodorkan kartu tanda pengenal mereka.
“Kami yang membawa pasien tadi,” mereka lalu menjelaskan detailnya, bocah berusia 7 tahun tadi tiba-tiba berlari dari arah gang sempit dan nyaris tertabrak mobil patroli mereka.
Satu-satunya kalimat yang diucapkan bocah itu hanya, “tolong, selamatkan nenek saya,” sebelum detik kemudian jatuh pingsan.
“Bagaimana hasil pemeriksaannya dok?” Tanya mereka.
“Menurut dugaan kami, setelah melihat hasil pemeriksaan sementara, anak yang bapak bawa tadi mengalami penganiyaan,” Ucap Ryuka.
Salah satu polisi tadi termasuk Lily, yang beberapa waktu lalu bergabung, sedikit kaget dengan ucapan Ryuka, sedangkan polisi yang satunya lagi seolah sudah menduga hal itu.
“Walaupun detailnya harus tetap sesuai hasil MRI jika dibutuhkan tapi dari hasil pengamatan kami, terdapat beberapa tulang rusuk yang retak, pergelangan tangan kanannya memar dengan tingkat peradangan yang tinggi, mustahil penganiyaan baru sekali saja terjadi,”
Ryuka lebih menjelaskannya lagi. “Intinya, seperti bekas luka yang terus saja mendapat luka baru, tentu saja bukan sekadar memar tapi berubah menjadi lebam, tetapi kami perlu mendapat persetujuan dari wali pasien untuk observasi lebih lanjut, apakah ada prosedur tertentu untuk bisa menemukan wali pasien pak?” tanyanya.
“Kami akan melakukan yang terbaik dok,”.
Penjelasan Ryuka berhenti lagi-lagi karena dering ponselnya, ia harus bergegas menjelaskan kondisi pasien pada dokter Septi dan dokter Indra yang baru saja tiba.
“Terima kasih, semoga kami bisa mendapat kabar secepatnya. Maaf sekali, saya ada pasien. Kami akan terus menghubungi perkembangan kondisinya, jika sudah ada kabar dari walinya, tolong segera hubungi pihak UGD kembali pak,” ucap Ryuka pada kedua polisi dihadapannya. Keduanya mengangguk dan berlalu pergi.
“Dok, benar ya dugaan kita? Tidak ada opsi lain atau kemungkinan lain?” Bisik Lily.
Walau mereka berteman dekat, jika dalam lingkup rumah sakit keduanya mencoba untuk bersikap se-profesional mungkin.
“Kamu lihat sendiri kan kondisi serta hasil pemeriksaannya,” jawab Ryuka sambil memijat tengkuknya.
”Walaupun bukan kasus pertama, kenapa aku tidak juga terbiasa ya,”
”Karena kamu manusia, begitu kan kata Kinan?” Ryuka mencoba menghibur sahabatnya walau perasaannya pun tidak karuan.
”Oh iya, tambahkan cairan saline NaCL 0,9% ya, sepertinya anak itu kekurangan gizi,”.
Setelah memastikan Lily mengangguk, Ryuka melanjutkan, “Dok, tolong pastikan segera hubungi saya jika pasien sudah sadarkan diri,” ucapnya sebelum pergi dengan sedikit berlari.
Drama UGD berlalu tak membuat pekerjaan Ryuka berkurang, ia mesti menjalankan tugas asisten pemeriksaan poli. Barulah setelah menangani belasan pasien, tepat pukul 3 sore, Ryuka bergegas ke UGD lagi. Ia berusaha lebih keras untuk berkonsentrasi saat menangani pasien tadi setelah tindakan operasi semalaman, bahkan beberapa kali meminta perawat memeriksa ponselnya, kalau-kalau ada kabar dari Lily, hal yang tidak pernah ia lakukan saat menangani pasien.
“Dok, pasien tadi sudah siuman?” Ucapnya begitu melihat Lily.
“Sudah dok, wali pasien tadi bahkan datang dan membawa paksa pulang,”
“Apa?”
“UGD tadi sempat heboh sekali Kaa, eh maksudnya dokter Yuka, kami bahkan belum sempat menghubungi anda dan polisi yang membawanya tadi, wali pasien mendesak untuk keluar, kami jadinya tidak punya alasan untuk menahannya,”.
“Bagaimana kondisi anak itu?”
“Anak itu siuman sekitar jam 4 subuh dok, sayangnya ia memilih diam setelah terus menerus berkata, ‘tolong selamatkan nenek saya’, tim keamanan juga sudah berusaha menghentikan kekacauan yang ditimbulkan walinya, sayangnya setelah mengonfirmasi hubungan kekerabatan mereka, menurut prosedur kita harus menghargai segala keputusan wali dan pasien itu sendiri,”.
“Lalu yang datang tadi siapanya anak itu?”
”Ayahnya, bahkan kalau dilihat, hubungan mereka cukup akrab. Sepertinya, pihak lain yang menganiayanya”.
Ryuka membuang nafasnya kasar, ia pasti akan memikirkan anak tadi selama berbulan-bulan. Prosedur? **** !
Jika ada yang mengatakan profesi dokter tak bisa digapai dengan mudah, tentu saja itu benar. Sepertinya, tak ada jeda untuk beristirahat dalam kehidupan mereka, walau tentu saja tugas mulia dan penuh tanggung jawab menanti mereka.
Sama seperti yang dijalani Ryuka sekarang, bukan hanya ujian kompetensi yang seolah terus menerus datang dan menghantui, tetapi menjadi tugas tambahan untuknya yang berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan untuk profesor tempat ia bekerja, semacam aturan tak tertulis. Walau menguras tenaga ekstra, tetapi hal itu bisa menjadi sarana tambahan pengetahuan untuknya. Dan Ryuka tentu saja menyukainya, ia sama sekali tidak bisa berdiam diri bukan??
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments