Bab #9

Waktu berlalu, sore bergulir menjadi malam, saatnya untuk makan dari makanan yang dibawa oleh Gino dan lainnya. Raka menepati janjinya untuk bersikap seperti biasa. Pun Ryuka dengan susah payah tentu saja.

“Gimana Q, dapet gadis pulaunya?” Goda Ryuka pada Q yang sedari pulang terus menekuk wajahnya.

“Dapet, sepuluh tahun lebih tua dari aku, banyak malah,”

“Hha?” Tanya Ryuka tak mengerti.

“Mereka bisa disebut perempuan umur tiga puluh delapan tahun yang belum nikah,” jelas Q semakin kesal.

“Hahahahhaha”

“Kan sesuai definisi sesungguhnya Qwenzy, mereka emang gadis kan belum nikah,”

“Hahahhaaha” Ryuka tertawa puas. “Untung kamu gak ikut Ka,” sambungnya.

Semuanya ikut tertawa menatap Q yang diam saja tak berkutik menjadi bahan olokan malam itu.

Hari semakin larut, karena terlalu dini untuk terlelap. Q dan Ryuka si penghidup suasana dianraea mereka berlima, mulai menyalakan mesin karaoke. Untung saja, Gino dan Ken membangun villa yang cukup jauh dari rumah warga dan dekat dengan bibir pantai. Membuat suara mereka yang seribut apapun, tetap tertelan oleh semilir angin dan suara ombak.

“Heran aku Kaa, kok ada sih orang yang buta nadanya kebangetan kaya kamu,” Ken dengan tatapan prihatin ke Ryuka.

“Benar, tapi kalau suara dia ngomong, nenangin pasien gitu, kok bagus-bagus aja ya,” Gino ikut menatap Ryuka sambil menyilangkan tangan didada terheran-heran.

Q dan Raka hanya tertawa walau ikut menatap Ryuka yang menutup telinganya tidak peduli.

“Nanti orang-orang pada ngiri kalau aku sempurna banget, gitu.” Kata Ryuka dengan penuh percaya diri.

Keempatnya hanya memutar bola matanya malas, tak lupa dengan tatapan jijik.

Tak berselang lama, Ryuka dan Q mulai menyanyikan lagu berbagai genre. Mulai dari ballad kesukaan Raka, Ken dan Gino. Hingga sekarang, Ryuka dan Q bersiap-siap menyanyikan genre favorit mereka Pop-Rock.

Qwenzy yang memang memilih genre itu untuk karirnya dan Ryuka yang memiliki banyak referensi lagu terutama pop-rock untuk menghidupkan hari-harinya yang sibuk.

It's my life

And it's now or never

I ain't gonna live forever

I just want to live while I'm alive

(It's my life)

My heart is like an open highway

Like Frankie said, "I did it my way"

I just want to live while I'm alive

'Cause it's my life

Mereka memulai dari lagu sejuta umat, Bon Jovi. Diiringi dengan lompat-lompat bak konser tunggal mereka. Serta merentangkan tangan seolah-olah menyambut tangan para penonton yang menikmati aksi panggungnya.

*Mereka selalu mengakui Ryuka sebagai wanita paket lengkap, Ryuka sangat tahu memosisikan dirinya diantara sahabat-sahabatnya, bahkan Ryuka tidak segan menggantikan posisi salah satu diantara mereka ketika harus mendampingi orang tua mereka check-up* ke dokter atau sekadar menjemputnya dibandara. Work a holic namun ia pandai bersenang-senang juga, kecuali suaranya yang sumbang dan tak tertolong tentu saja. Mereka berlima akhirnya berpesta hingga pukul 4 pagi.

Ryuka sebagai morning people, jam berapa pun ia baru terlelap, matanya akan terbuka lebar, pukul 6 pagi. Seolah ada saklar otomatis di kedua matanya. Hal yang dapat membuat Ryuka kesal dihari liburnya yang seharusnya dapat ia gunakan untuk tidur sepuasnya.

Ryuka menyapukan pandangannya kearah sahabat-sahabatnya yang masih berada dialam mimpi. Kecuali Raka, yang juga mulai menggeliat ditempatnya tanda ia sudah memiliki kembali kesadarannya.

“Morning,” Raka menyapa Ryuka yang sudah duduk diatas sofa tempat ia tertidur, masih mengumpulkan nyawanya yang melayang.

“Hmm pagi, hooaaammm,”. Ryuka berjalan pelan melewati Q yang masih tidur menuju coffe maker. Tanpa bertanya, Ryuka membuat segelas teh hijau untuk Raka, ia tahu perut Raka kurang bersahabat dengan kopi dipagi hari.

“Kenapa kalian ikutan tidur diruang tamu sih? Kan sayang kamarnya,”

“Terus biarin kamu tidur sendirian disana? Yakali kita semua tega,”

“Kan aku udah biasa, sayang kamarnya dianggurin Ka,”

“Lebih sayang kamu,” Raka menatap tulus kearah Ryuka yang justru menjulurkan lidahnya.

Ditengah-tengah mereka sedang menikmati sunrise dan percakapan ringan, ponsel Raka berdering, tertera nama Ibu. Ryuka memilih memainkan ponselnya disebelah Raka.

“Nih Ibu mau ngomong,” Raka menyodorkan ponselnya pada Ryuka.

“Pagi Bu, Ibu sehat-sehat aja kan?” Ryuka menyapa dengan ramah.

Percakapan mereka berlangsung kurang lebih 10 menit.

“Ibu ngomong apa? Gak ngomong yang aneh-aneh lagi kan?” Tanya Raka, sebab Ryuka sengaja agak menjauh untuk bebas mengobrol dengan Ibu Raka.

“Hehehe gak kok. Cuma nanyain kabar, kerjaan aku, terus diomelin dikit karena sekarang jarang mampir ke toko katanya,”

“Mmmmmm, iya yah, kalian udah jarang kerumah juga,”.

”Kan itu sebelum Ibu pindah rumah, rumah lama kamu kan paling strategis untuk ngumpul dulu, itu pun sebelum kita semua sesibuk sekarang,”.

”Aku pernah berpikir untuk beli kembali rumah lama,”.

”Oh ya? Terus kenapa gak jadi?”

”Ibu yang ngelarang, katanya untuk apa pindah kalau tetap mau mempertahankan rumah itu,”.

”Benar juga sih, tapi banyak banget kenangan kita berlima dirumah kamu itu, saking ributnya, ayah sampai renovasi basement untuk jadi markas kita,”.

“Gimana enggak, tetangga kan udah pada komplain ke Ibu sama Ayah, mau ngusir kalian juga gak mungkin. Mana tega si Ayah,”.

”Bener, Ayah mah asik banget, gak jarang juga kan ikut nongkrong sama kita sampai tengah malem,”.

”Sampai Ibu protes karena suaminya gak ada mulu disebelahnya kalau mau tidur,”. Mereka berdua tertawa.

Tak ada percakapn lagi, mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Termasuk kehilangan terbesar yang dialami Raka. Ayah adalah salah satu korban kecelakaan beruntun. Walau sempat dilarikan ke rumah sakit tempat Ryuka bekerja kala itu.

Namun naas, sesaat setelah tiba, Ayah mengalami henti jantung dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Ibu sangat kehilangan suami tercintanya yang seolah begitu cepat, membuat Ibu begitu larut dalam kesedihan hingga benar-benar mengganggu kesehatannya.

Alasan itu pula lah yang membuat Raka mengambil langkah terpaksa dengan menjual rumah mereka. Menyaksikan sang Ibu kerap kali menangis karena mengingat setiap kenangan bersama Ayah disudut rumah, walaupun dengan pertengkaran alot bersama Ibu. Tetapi setelah menyaksikan Raka menangis memohon padanya, hingga kalimat, ia tak ingin kehilangan Ibunya juga, barulah sang Ibu akhirnya luluh dan mencoba mengalah.

Sebuah langkah besar, yang mengantarkan kondisi Ibu semakin membaik. Mencoba menerima takdir dan mencari beberapa kesibukan, hingga memutuskan membuka toko bunga, yang memang menjadi kegiatan favorit sang Ibu. Ketika mendengar rencana Ibu, Raka langsung menyetujuinya saat itu juga.

Raka dan Ryuka memilih menikmati pagi dengan hening sambil terus mengulang kenangan-kenangan mereka bagai film dengan proyektor manual disetiap adegannya, yang mereka sadari ternyata sudah terangkai banyak sekali.

“Kaaa,” Raka memulai percakapan.

“Aku gak mau denger kalau kamu ngomong aneh-aneh lagi,”.

“Ya udah gak jadi,”. Akankah Raka menyerah pada akhirnya?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!