Bab #4

Ryuka kini tengah menatap nanar layar ponselnya, para sahabatnya yang mengirim foto liburan mereka di Bali membuat Ryuka semakin merana. Karena ia sekarang justru tengah memijat kaki yang pegal karena operasi 10 jam, terlambat 2 jam dari perkiraan karena pasien mengalami pendarahan yang cukup parah.

Ryuka mengetik mengomentari:

Have fun kalian. *Boom emotikon nangis*

Ken melakukan panggilan video

“Halo dek,” layar menampilkan wajah Q, bukan sang pemilik ponsel.

”Ngapain pake video call segala, pamer yah, kesel banget aku” Ryuka melayangkan tatapan sinis.

“Hahaha galak amat, astaga kantung mata kamu,” mendengar Q, membuat Gino, Ken dan Raka ikut memperlihatkan wajahnya dilayar.

“Aku operasi 10 jam, dan aku masih hidup, hebat kan” ucap Ryuka lesu.

“Dek, tulang pipi kamu udah kelihatan banget,” prihatin Raka.

“Berat badan kamu turun berapa kilo lagi?” lanjut Gino.

“Sana makan yang banyak, astaga kamu berencana setipis handphone ya?,” sambung Ken.

“Sepertinya sekarang aku lebih butuh tidur daripada makan,” Ryuka menguap.

“Setidaknya isi perutmu sedikit Kaa,”

“Anyway, besok kami pulang, mau oleh-oleh apa?” Tanya Q. Melihat Ryuka berpikir, membuat keempatnya menunggu dengan sangat amat antusias. Karena selama ini Ryuka tidak pernah meminta apapun kepada mereka, kecuali mereka yang berinisiatif lalu setelahnya mendapat omelan panjang kali lebar dari Ryuka.

“Hmmmmmmm,” Ryuka tampak sibuk berpikir.

“Bilang aja, gak apa-apa,” Kata Ken diikuti anggukan yang lainnya.

“Yuph, apapun itu Kaa,”

“Gak usahlah, aku lagi gak butuh apa-apa.” Ryuka memutuskan.

Keempatnya langsung berekpresi datar dan kesal.

“Kamu gak sadar ya, keempat sahabat kamu ini punya banyak uang, sekali-kali minta sesuatu kek,” Q mulai frustasi.

“Ih sombong amat, yaudah terserah,” Ryuka menyerah.

“Itu bukan jawaban Kaa,” Ken menjawab dengan malas.

“Kan aku bener-bener gak butuh apa-apa.”

Namun melihat keempat pria dilayar ponselnya kesal, “Yaudah, aku butuh sepatu yang nyaman untuk disimpan di rumah sakit, terserah warna apa yang bagus, gak perlu yang mahal, soalnya akan jarang dipakai juga,” kata Ryuka lagi. Secepat kilat, membuat wajah keempatnya terlihat ceria.

“Hahaha, aneh banget, baru kali ini ada orang yang minta untuk dibeliin sesuatu, yang mau beliin justru tersenyum senang,”

“Soalnya kamu gak pernah minta apa-apa,” jelas Raka.

“Kan aku sering minta dibeliin makanan,” Ryuka membela diri.

“Kan makanannya untuk kita semua juga, gak masuk hitungan itu,” tegas Ken.

“Udah ah, aku mau tidur, inget yaaa jangan yang mahal atau aku gak bakal terima,” ancam Ryuka.

Keempatnya hanya terkekeh dan melambaikan tangan mereka, “Byeee.”

Belum sempat Ryuka menaruh ponselnya dengan baik, terdengar suara dengkuran halus, Ryuka telah tertidur pulas.

Sayang, setelah tidur kurang dari 60 menit, ponsel Ryuka berbunyi lagi dan itu adalah gangguan keempat selama ia tertidur. Kali ini, membuat Ryuka membuka mata secara penuh. Pasien yang didiagnosa menderita penyakit CIPA atau Congenital Insensitivity to Pain, penyakit yang membuat penderitanya tidak mampu merasakan sakit seburuk apapun kondisi dan luka ia derita. Perawat secara terpaksa menghubungi Ryuka karena pasien tersebut terus mencari Ryuka dengan menodong jarum infus ke semua orang diruangannya.

Pasien yang berusia 18 tahun itu memang cukup akrab dengan Ryuka, selain karena dua bulan lalu, awal ia dirawat, Ryuka adalah dokter yang bertugas menanganinya dan menanyakan kondisinya sesering mungkin dari hari ke hari. Setelah mendengar perawat menjelaskan situasinya padanya, ia langsung berlari keruangan itu tanpa memerdulikan tatapan orang-orang sekitar.

Semua tatapan tertuju pada Ryuka yang baru saja memasuki ruangan sambil ,encoba mengatur ritme nafasnya setelah berlari, ia lalu berjalan perlahan ke hadapan Galih, “maaf saya terlambat, sekarang bisa kita bicara baik-baik Galih?” bujuk Ryuka dengan suara selembut mungkin.

“Kenapa dokter baru datang? Dokter juga mau ninggalin aku kan?” Galih berteriak marah.

“Kamu bisa kan meletakkan jarum ditanganmu itu terlebih dahulu sebelum kita bicara baik-baik? Hm?”

“Dokter tidak mengerti perasaan aku, dokter gak punya penyakit kaya aku,” Galih masih berteriak histeris.

“Saya tidak harus punya penyakit yang sama untuk mengerti kamu, saya paham sekali kesedihan dan kondisi kamu, bukannya kita sudah berjanji akan melewatinya bersama-sama?”

”Kamu ingat kan?” Sambung Ryuka lagi.

“Dokter cuma kasihan, tidak ada yang benar-benar peduli sama aku,” lirihnya.

“Saya justru iri sama kamu, apa hebatnya bisa merasakan sakit,” melihat Galih melemah, “saya justru ingin bebas seperti kamu, maaf saya baru datang, tadi saya ada operasi yang sangat sulit, membuat kaki saya sangat pegal.” Ryuka diam sejenak, “Seandainya itu kamu, kamu pasti akan tetap riang, tanpa merasa apa-apa,” sambungnya lagi.

Ryuka berusaha tetap tenang, ini bukan pertama kalinya ia menghadapi pasien yang histeris dan nekat seperti Galih. Ia sangat paham, untuk menghadapinya hanya dapat dilakukan dengan permainan kata-kata.

Semua perkataan Ryuka bohong dan sebenarnya tidak dapat diucapkan oleh seorang dokter, tetapi Ryuka tidak peduli hukuman apa yang akan menantinya. Walau sakit yang ditimbulkan luka bisa berakibat fatal, namun rasa sakit bisa menjadi awal pengobatan yang sangat berharga bagi pasien agar keakuratan pengobatannya pun bisa maksimal.

Berbeda dengan penderita CIPA, memar bahkan luka yang terbilang cukup parah tak membuat penderitanya berkutik bahkan sekadar meringis kesakitan. Dapat dikatakan bahwa mereka mati rasa dan itu adalah bagian yang justru paling menyakitkan. Ryuka tidak memiliki pilihan lain, ia terjebak dalam keadaan dan situasi sekarang, membuatnya tak memerdulikan akibat dari perkataannya.

Galih yang terus tertunduk, mengalihkan pandangannya pada sepasang kaki Ryuka yang hanya memakai satu sendal di kaki kanannya, akibat berlari terburu-buru, Galih terlihat mulai tergugah, Ryuka yang memahami situasi dan karakter Galih, mulai mendekat perlahan.

“Saya sampai lupa memakai sendal, mana mungkin saya tidak peduli dengan kamu. Sekarang, boleh kita duduk berdua ditempat tidur itu?” Tunjuk Ryuka. Galih mengangguk samar, sayangnya petugas keamanan yang sedari tadi berjaga menenangkan keributan berjalan mendahului Ryuka dengan maksud mengantisipasi tindakan Galih yang bisa saja berbahaya. Alhasil Galih kembali panik, dengan sigap Ryuka berlari menahan tangan Galih yang ingin melukai dirinya sendiri, dengan menusukkan jarum pada dadanya.

Jarum berbalik menancap ditelapak tangan Ryuka, membuat darahnya tampak menetes, Ryuka meringis. Namun mencoba tetap tenang menghadapi Galih.

”Tidak apa-apa, ini tidak apa-apanya dibanding rasa sakit kamu sekarang, mari kita beristirahat,”

“Maafkan saya dokter.. maafkan saya,” disela tangisan Galih.

Ryuka berkata sambil terus memeluk Galih, lalu memberi kode pada perawat yang berjaga untuk memasangkan kembali infusnya dan menyuntikkan obat penenang. Setelahnya Ryuka masih menghabiskan 30 menit berikutnya untuk memastikan kondisi Galih baik-baik saja tanpa memedulikan luka yang ia terima.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!