"Gue duluan ya, Khay, maaf banget kalo gue nggak bantu kunci pintu cafe, ada urusan mendesak nih." Rekan kerja Khaya-Putri, terlihat terburu-buru untuk pulang lebih dahulu, di luar sudah terlihat laki-laki paruh baya yang sudah menjemputnya.
"Oke, hati-hati di jalan, ya!" balas Khaya sambil berteriak, Putri adalah salah satu teman baiknya juga.
"Makasih, Khay, besok malam kita gantian, ya!" Putri sudah benar benar pergi dari sana, meninggalkan Khaya sendirian.
Sepuluh menit kemudian....
Malam tiba, sudah tidak ada pelanggan yang datang dan jarum jam sudah menunjukkan angka sembilan lewat sepuluh menit, Khaya sudah berada di luar Caffe Shop tempatnya bekerja, setelah mengunci pintu Caffe Shop tersebut ia pun berjalan beberapa meter menuju halte bus. Khaya duduk sendirian di sana, ia menghela napas berat lalu menundukkan kepalanya lelah, hari ini benar-benar sangat melelahkan, dan itu Khaya sudah lama merasakannya.
Sebenarnya, ia sudah lama ingin menyerah dengan hidupnya. Sudah lama ia ingin bunuh diri, bagaimana tidak? Selain kuliah, ia harus bekerja untuk membiayai adik dan sang ibu, ditambah lagi ia terus dibayang-bayangi oleh hutang almarhum perusahaan ayahnya, Khaya dulunya tinggal di Bali, tetapi pindah ke Jakarta setelah usaha ayahnya di ibukota sukses. Namun, usaha itu juga bangkrut pada akhirnya yang hanya meninggalkan banyak hutang di mana-mana.
Jadi jangan heran kalau Khaya Cantika itu sangat cantik, sebab dulu sangat suka ke salon untuk perawatan. Namun sekarang, untuk tidur siang di rumah pun ia sudah tidak bisa. Kita benar-benar tidak bisa meremehkan roda kehidupan.
Oiya, sang ibu juga ikut bekerja, walaupun hanya sebagai pembantu rumah tangga dan ibunya bekerja di rumah Freya, itulah mengapa mereka bisa berteman.
Khaya dari luar memang terlihat sebagai gadis kuat dan tegar, tetapi di dalamnya ia sangat rapuh, sampai-sampai sudah berpikir ingin bunuh diri. Namun, ia bersyukur pikiran buruknya itu tak terealisasikan sampai sekarang, dan ia juga bersyukur bahwa hari ini ia masih bisa bernapas. Lalu ia akan membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah, tidak lagi berpikir untuk bunuh diri, saat ini, ia harus fokus menjadi lebih kuat lagi dari sekarang.
Lama Khaya menundukkan kepalanya, dan bis belum datang juga, tetapi ia malah mendengar suara deru mesin motor berhenti di depannya. Lalu gadis itu pun mendongak ingin melihat orang yang mengendarai motor tersebut. Khaya melihat orang itu yang membuka helm-nya dan ternyata dia adalah Haven Stewart, mahasiswa baru yang ia lihat tadi di lapangan, ia menunggu Haven, menunggu apa yang akan dilakukan oleh laki-laki itu.
Haven membuka helm-nya, lalu menghampiri Khaya yang sedang duduk di halte, gadis itu terlihat lelah dan acak-acakan, ia pun tersenyum. Tadi setelah Khaya menutup cafe-nya, Haven ke sana, tetapi ia sudah tak melihat gadis incarannya lagi, tetapi malah bertemu di halte ini.
"Ayo pulang, gue antar," ucap Haven to the point saat ia sudah berdiri di hadapan Khaya, tiada hujan tiada angin malah menawarkan diri untuk mengantar Khaya pulang.
"Ha?!" Khaya malah bengong sebentar memikirkan maksud dari Haven yang tiba-tiba saja mengajak pulang, padahal mereka tak saling kenal bahkan ia baru tahu kalau ada orang yang bernama Haven Stewart di kampusnya.
Cuekin aja, Khay, nggak penting juga. Peri kecil berbaju putih di sebelah kanan telinga Khaya berbisik.
Udah, ikut dia aja Khay, itung-itung hemat ongkos naik bis. Peri kecil berbaju hitam di sebelah kiri telinga Khaya juga ikutan berbisik memberi saran.
Nggak usah, Khay, siapa tahu dia mau apa-apain lo kan? Bisik si peri putih masuk akal.
Ih, nggak akan diapain-apain lagian Khaya juga pandai bela diri. Balas si peri merah tak mau kalah. Lalu, mereka berdua yang merupakan peri khayalan Khaya Cantika pun berdebat mengeluarkan seluruh saran-saran baik mereka untuk Khaya.
Khaya menyadarkan diri dari lamunannya lalu ia pun menjawab Haven sambil menunduk seperti semula.
"Nggak usah," ujarnya cuek, ia merasa tidak sama sekali mengenal Haven. Jadi, untuk apa meladeni laki-laki itu?
Benar, berita tentang Khaya yang sombong memang benar adanya. Haven yang ganteng dan kaya ini pun masih dicuekin. Ia jadi penasaran dengan kriteria laki-laki yang disukai Khaya. Apakah hanya laki-laki biasa?
Haven memilih tak menanggapi jawaban Khaya yang cuek, ia juga ikut duduk di samping Khaya, halte ini tidak ada penghuninya selain mereka. Jadi, Haven berinisiatif untuk ikut menunggu bis datang, siapa tahu dengan ini Khaya bisa luluh padanya? Oh, itu adalah harapan Haven Stewart yang paling utama sekarang. Mereka menunggu dalam diam, tidak ada yang mengeluarkan suara atau memulai pembicaraan, benar-benar sunyi dan sangat membosankan.
Lima belas menit berlalu, mereka sudah menunggu selama itu, dan sampai saat ini pun bisnya belum datang juga yang membuat Khaya merasa cemas.
Haven berdiri dari duduknya, menatap lurus pada Khaya yang masih menundukkan kepalanya, apakah gadis itu tidak lelah atau pegal menunduk terus?
"Udah, nggak bakalan ada bis yang lewat, udah jam setengah sepuluh malam nih. Mending lo gue antar pulang," ajak Haven lagi. "Ini tawaranku yang terakhir ya." Haven merapikan jaketnya, bersiap untuk pergi dari sana.
Khaya yang merasa cemas sedari tadi karena bis tak datang juga menoleh pada Haven. "Kenapa?" tanyanya tak jelas.
"Kenapa apanya?" tanya Haven bingung.
"Kenapa lo mau anterin gue padahal kita nggak saling kenal?" tanya Khaya. "Nggak mungkin lo gitu aja nawarin orang random di jalanan buat dianterin pulang, kan?" kata Khaya masuk akal. "Lo pasti punya maksud terselubung sama gue, 'kan?" tanyanya bertubi-tubi, ingin mengetahui maksud dari laki-laki itu yang tiba-tiba muncul di depannya dan mengajak pulang.
Bagaimana bisa Haven tahu tentangnya? Apakah gara-gara tadi mereka yang tak sengaja saling pandang? Tapi masa cuma itu? Pasti ada maksud lainnya nih, Khaya mesti harus hati-hati. Ia harus tetap menjadi dirinya sendiri, yaitu cuek dan sombong pada orang lain.
Haven terdiam sebentar, diberi pertanyaan yang banyak begini membuatnya bingung, tetapi setelah itu ia tersenyum manis dan langsung saja berkata jujur? "Because you are my first love?" ungkap Haven serius.
Namun, Khaya menganggap itu hanya bualan semata. Ia memilih diam, dan memalingkan wajahnya dari Haven yang terus menerus menatapnya.
"Okey, lo bilang kita nggak saling kenal, jadi kita harus kenalan dulu, 'kan?" Haven mengulurkan tangan, ingin menjabat tangan Khaya. "Kenalin, gue Haven Stewart Maba di Universitas Satu Persada jurusan manajemen bisnis," kata Haven memperkenalkan diri, ia menunggu Khaya untuk menjabat tangannya, tetapi gadis itu hanya menatapnya datar.
Haven menghela napas kasar lalu mengurungkan niatnya untuk menjabat tangan Khaya. "Ya udah kalau lo nggak mau pulang sama-sama, gue duluan. Hati-hati ini udah hampir jam sepuluh malam loh," ujar Haven, kemudian ia berjalan dengan pelan menuju motornya berniat menunggu gadis itu berubah pikiran, ia sudah ingin memakai helm-nya, tetapi tidak jadi karena ada seseorang yang memegang lengannya yang berlapiskan jaket kulit.
Haven tersenyum tipis lalu ia menoleh pada Khaya, pelaku yang menarik-narik lengannya. "Kenapa?" Haven pura-pura cuek.
"Gue nebeng sama lo aja," ujar Khaya gengsi, ia mengedarkan pandangannya ke kiri dan ke kanan, tak mau melihat pada Haven. Ia malu, sebab tadi bersikeras menolak dan pada akhirnya mau juga diajak pulang.
Ini semua gara-gara bisnya yang nggak datang-datang! Batinnya kesal plus dongkol.
Haven hanya bisa tersenyum menatap gadis di sampingnya, akhirnya Khaya berubah pikiran juga. Lalu, ia mengambil helm lalu memakaikannya pada kepala gadis itu, tak lupa membuka jaketnya juga dan memberikannya pada Khaya.
Khaya sempat baper atas perlakuan Haven yang terlalu perhatian ini, sebab tidak ada laki-laki yang pernah memperhatikannya seperti ini selain Kelvin, tetapi cepat-cepat ia tepis rasa itu.
***
Khaya sudah sampai di depan rumahnya dengan selamat, walaupun tadi Haven dengan sengaja ngebut di jalanan kota Jakarta yang masih banyak kendaraan berlalu lalang. Tadi ia meminta untuk diturunkan di depan gang saja sebab Khaya tidak mau Haven mengetahui letak rumahnya ia juga ingin menghindar dari mata-mata tetangga penggosip.
Sudah tidak ada orang yang berlalu lalang di sana padahal ini masih jam sepuluh malam. Rumahnya pun kini terlihat gelap, seakan tak ada penghuninya. Kemudian, Khaya dengan mengendap-endap masuk ke rumah kecilnya.
Lalu setelah masuk Khaya melihat ibunya yang sudah tidur di ruang tamu depan televisi, beralaskan kasur lantai tipis. Rumahnya kecil, di dalamnya hanya ada satu kamar mandi, satu kamar tidur, dapur yang menyatu dengan ruang tamu. Kamar tidur dipakai oleh Pradipta, ia dan ibunya memilih tidur di ruang tamu depan televisi.
Setelah ia mengganti baju serta cuci muka dan gosok gigi, Khaya pun tidur di samping sang ibu yang membelakanginya. Ia memeluk ibunya dengan erat, dan menempelkan wajahnya di punggung sang ibu.
"Ibu sudah tidur?"
"Hmm ...," gumam Mayang merespon, menandakan kalau ia belum tidur. "Kenapa pulangnya lama sekali?" tanyanya perhatian, ia menikmati pelukan erat dari anak sulungnya. Kadang ia merasa khawatir saat Khaya pulang larut malam seperti ini, tetapi ia juga merasa lega karena anaknya itu pandai bela diri.
Setelah perusahaan sang suami bangkrut, mereka sekeluarga langsung saja pindah ke kontrakan ini. Tidak ada yang menyangka bahwa mereka akan hidup semelarat ini, apalagi mempunyai hutang yang banyak. Setelah itu sang suami frustrasi lalu jatuh sakit dan meninggal dunia, saat itulah masa-masa terpuruk mereka.
Perusahaannya bangkrut karena tidak ada pemasukan selama dua tahun lebih, dampak dari virus corona.
Lalu mereka bertiga bangkit karena kalau ingin menyelesaikan masalah, tentu bukan dengan cara terus bersedih, kan? Dan untungnya, kedua anaknya, Pradipta dan Khaya tidak ada yang merengek malahan mereka juga membantu menghasilkan uang, walaupun tak seberapa, asal bisa bertahan hidup, melanjutkan pendidikan, dan membayar hutang. Mayang sangat bersyukur memiliki dua anak yang sangat berbakti padanya.
"Banyak pelanggan hari ini ...," ujar Khaya lirih, lalu ia pun terlelap tidur sambil memeluk erat sang ibu.
Mayang yang mendengar suara dengkuran halus dari Khaya segera membalikkan badan menghadap anak gadisnya itu, ia tersenyum sedih menatap Khaya lalu mengusap dengan lembut wajah cantik anaknya serta merapikan selimut agar tidak kedinginan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Mayang memeluk putrinya lalu ikut tidur mengarungi mimpi indah yang tak akan pernah menjadi nyata.
Bersambung ....
Tidak Up pada hari Senin, Kamis, dan Ahad. Tolong di-like dan komen ya. terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments