“Anik, ini sudah acc Pak Gentala. Tim udah mau berangkat, cepet ya,” ujarku sambil memberikan berkas tadi pada Anik.
“Sabar bos. Bu Ita lagi meeting loh.”
Masalah lagi aja, gara-gara si playboy lupa sama tugasnya. Kalau sampai tim yang mau berangkat ditunda, pasti aku yang kena omel.
“Bu Ita sudah tahu, ini sudah diajukan Pak Fabian. Tapi lupa di paraf Pak Gentala. Ayo ah, cepet.”
“Serius?”
“Hooh, kalau nggak percaya nanti konfirm aja ke bu Ita dan Pak Fabian tapi uangnya cairkan dulu. Kalau gagal berangkat, aku nggak tanggung jawab ya,” ancamku.
“Iya, iya, bentar.”
Setelah urusan dengan divisi keuangan selesai, aku tidak kembali ke meja kerjaku. Pantry pilihanku kali ini. Ada Jojo sang penguasa ruangan yang sedang memasang galon.
“Tumben Mbak, mampir ke sini,” kata Jojo.
Antara benar-benar menyapa dan mengejek bedanya tipis. Aku hanya berdehem daripada menyahut, mengambil cangkir dan mengisi dengan kopi sachet.
“Mau ngopi, sini Mbak biar saya yang buat."
“Nih, jangan kebanyakan air apalagi pake sianida. Hidup saya sudah berat tapi di akhirat belum tentu bekal saya sudah cukup.”
“Mbak Ajeng bisa aja.” Jojo mengaduk kopi lalu meletakkan cangkir di depanku yang sudah duduk manis di salah satu kursi meja pantry.
Aku sedang menghisap kopiku dan Jojo mencuci gelas dan cangkir kotor saat Mbak Nella datang.
“Jo, kopi untuk Pak Gentala antar ke ruangannya,” titah wanita yang menjadi sekretaris orang nomor satu di Go TV.
Kebetulan sekali, ruang kerjaku berada satu lantai dengan para manajer dan pejabat tinggi perusahaan lainnya termasuk Pak Gentala. Bisa dikatakan lantai ini khusus manajemen termasuk para asistennya.
“Ajeng, kamu tadi dicari oleh Pak Gentala.”
Aku tersedak, rasanya kopi yang aku sesap masuk ke hidung.
“Salah kali Mbak, bukan saya yang dicari tapi Pak Fabian.”
Ngeles mulu kayak bajaj. Aku mengelap mulutku dengan tisu karena air kopi sempat muncrat, sungguh tidak elegan.
“Benar. Kamu ke ruangan Pak Gentala ‘kan? Dia cari kamu tapi nggak minta dipanggilkan sih,” ujar Mbak Nella lalu beranjak pergi.
Aku mengusap dadaku, lega karena Pak Gentala tidak panggil aku. malas juga ketemu Pak Gentala setelah menyaksikan adegan silaturahmi kedua mulut tadi.
“Mau ke mana Mbak?” tanya Jojo saat aku meletakan gelas di wastafel.
“Ke studio. takut Mbak Nella cari aku lagi.”
...***...
Sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu dengan GM, katanya sibuk dengan rapat pemegang saham juga dengan perusahaannya di Singapura. Hasil curi dengar dari para sekretaris. Fabian juga sempat cuti dua hari kemarin karena urusan keluarga.
Aku tidak pulang ke rumah melainkan menginap di tempat Anik dengan alasan ada tugas syuting ke luar kota dan malam ini aku harus pulang, nggak enak juga numpang kelamaan. Kenapa tidak pulang? Tentu saja menghindar dari keluarga toxic.
Aku sedang membaca ulang konsep acara “Mari Dukung Mereka” untuk episode perdana. Menoleh ke meja di sebelahku, kosong. Walaupun kami sering berdebat tapi ada yang hilang tidak melihat si playboy beberapa hari ini.
“Masa sih aku kangen Pak Fabian,” gumamku dengan wajah bertumpu pada telapak tangan kiri sedangkan tangan kanan masih memegang mouse menscroll pelan layar laptop.
Fabian adalah pria tergombal dan pintar merayu. Bahkan kalimat biasa saja bisa buat wanita baper dan klepek-klepek. Aku bukan benci pria itu, lebih tepatnya menahan. Siapa tahan dengan godaan dan tampang si playboy.
Jadi, kalau ditanya aku suka atau tidak dengan Pak Fabian. Suka dalam konteks hubungan pria dan wanita, jawabnya aku nggak tahu.
Aku menghela nafas dan ….
“Hai, sayang.”
Aku menoleh. Mampus, kenapa bisa dari pikiran langsung menjelma ada di sini. Aku menatap makhluk Tuhan paling ganteng di ruangan ini, dari kepala sampai kaki. Menapak, berarti dia benar manusia.
“Pak Fabian,” ujarku tergagap.
“Sejak kapan kamu jadi Ajeng gagap?”
“Bapak sejak kapan duduk di situ?”
Dia melirik sekilas lalu bersedekap. Nyebelin banget, jual mahal. Biasanya dia yang nempel atau dekat-dekat.
“Sejak kamu scroll nggak jelas layar laptop kamu,” ujarnya.
Aku manggut-manggut. Tunggu … itu artinya dia dengar dong. Aku menatapnya lagi dan berkata, “Pak Fabian nggak dengar isi pikiran aku ‘kan?”
“Isi pikiran kamu?” tanyanya. Sekarang dia memutar kursi dan kami saling berhadapan. “Aku Cuma dengar gumaman kamu aja,” sahutnya. Aku menghela nafas lega.
Aman, dia nggak dengar.
“Gumaman, kalau kamu kangen aku.”
“Hahh.”
Fabian semakin mendekatkan kursinya. “Kalau suka bilang dong, biar aku nggak ngerasa bertepuk sebelah tangan.” Fabian berdiri dan mengusap kepalaku, aku menengadah menatapnya. Senyum di wajah Fabian, dia senyum dan bikin hati rasanya melting gaes.
Jantung berdetak tidak karuan. Gawat, jangan terlena Ajeng. Jatuh cinta sama si playboy harus siap menghadapi fans dan wanita-wanitanya.
“Ayo.” Fabian mengulurkan tangan kanannya.
“Ke mana?”
“KUA. Mau nggak?”
Demi apa, aku yakin wajahku kali sudah merah. Mau jingkrak-jingkrak malu, diam saja malah pengen ,kentut. Dia serius nggak sih? Kayaknya serius deh, Pak Fabian jarang bicara formal begini denganku.
“Kalau belum siap, makan siang dulu deh. Aku siap tunggu sampai kamu siap kok,” ujarnya lagi.
Oh, Tuhan kenapa ciptakan tubuh mudah mleyot begini. Kedua lututku terasa terbuat dari jelly, lembek dan sulit untuk berdiri.
...***...
Saat ini aku sedang memperhatikan jalannya syuting Kata Netizen. Tubuhku masih selembut jelly mengingat adegan makan siang bersama Fabian. Pria itu memang sering merayuku tapi rayuan kali ini beda, dari tatapannya terlihat serius dan tidak ada keraguan atau kebohongan di sana.
“Mbak … Mbak Ajeng,” panggil salah satu kru menyadarkan lamunanku.
“Kenapa?”
“Dipanggil Pak Fabian.”
Aku menatap sekeliling dan tidak ada Fabian, yang ada malah debaran jantungku. Untungnya studio dalam keadaan ramai dan bising, jadi suara debar jantungku pun samar.
“Di depan studio empat Mbak.”
“Oke.”
Aku menoleh kembali ke arah stage, lalu keluar studio dan menuju studio empat. Studio empat berada satu lantai di mana aku berada. Entah apa yang Fabian lakukan di sana, padahal di sini sedang berlangsung program acara tanggung jawab kami.
Saat pintu lift terbuka dan aku melangkah keluar. Sudah terlihat Fabian sedang bicara dengan seseorang yang berdiri membelakangi arah di mana aku berjalan. Seorang pria dan tinggi, aku memperlambat langkahku.
“Pak Genta.”
Sejak kejadian aku melihat Pak Gentala dan Natasha memagut bibir, kali ini aku baru melihatnya lagi. Sebelumnya aku sempat menghindar saat Mbak Nella mengatakan Pak Gentala mencari aku.
Kalau Pak Gentala marah dan menagih tanggung jawab masalah mobil, gimana ya?
“Ajeng, kemari!” Fabian memanggilku dengan senyumannya. Aku harus bersiap kena diabetes, karena senyum Fabian sungguh … manis.
Pria itu menoleh saat aku berdiri menghadap mereka dan tatapannya ….
Tahu Lord Voldemort, musuhnya Harry Potter? Pak Gentala sebelas dua belas dengan Lord Voldemort, seraaammm.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Nendah Wenda
lanjut
2024-09-01
0
Bunga Nirwana
males baca krakter Ajeng jelek terlalu ga sopan sama bos... bay
2024-08-30
0
my name
ajeng kenapa ngak ngekos aja sih daripada pulang dan kumpul keluarga yg ngeselin
2024-07-28
0