Tony menghampiriku dengan gaya menyebalkannya dan senyum menyeringai. Serem nggak, katro iya. Pertanyaan dia tadi cukup ambigu, maksudnya apa dapat berapa? Emannta aku habis narik taksi atau dia mikir aku habis menjajakan apa.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sedangkan makhluk Tuhan paling rese ada di hadapanku.
“Kamu nanya?” tanyaku.
Tony mengernyitkan dahinya lalu tersenyum.
“Gue pikir lo perempuan bener taunya sama aja. Dapat berapa dari Om tadi? Bisa kali separuh kasih gue, uang tutup mulut,” ujarnya sambil cengengesan.
Aku melirik bak sampah tidak jauh di belakang Tony, rasanya ingin aku dorong dan gulingkan tubuh laki-laki ini hingga masuk ke dalam tong sampah.
“Mulut masih kepake ‘kan? Kalau masih, jangan bicara asal. Apalagi kalau nggak tahu masalahnya.”
“Ahh, iya. Lo lagi cari uang untuk lunasi hutang Ayah ya? Baguslah, kalau gitu.”
Eh, ini orang mau ngapain? Kenapa dia makin dekat.
Aku melangkah mundur karena Tony malah melangkah semakin dekat.
“Lain kali boleh dong gue dapat gratisan tubuh lo,” ujar Tony lirih. “Kita bukan saudara kandung, jadi nggak masalah lah sesekali mah.” Dia bicara sambil tersenyum menyebalkan.
Menurut cerita si Tony ini anak ibu dari suami sebelum Ayah. Aku nggak ngerti hububgan aku dengan Tony adalah saudara kandung atau bukan yang jelas kami tidak akur.
“Kamu gila udah lama?” tanyaku dan sukses membuat senyum di wajah Tony hilang lalu dia menggeram pelan.
Dari pada ikutan gila, aku memilih kabur.
“Awas, ada orang gila,” teriakku sambil berlari.
Aku masih mendengar Tony menyumpahi dan memaki. Entah dia mengejar atau tidak, aku masih berlari.
...***...
Karena semalam pulang agak larut dan cukup lelah tentunya, aku bangun kesiangan. Alhasil harus semeja dengan keluargaku menikmati sarapan pagi yang sebenarnya biasa aku hindari karena malas berinteraksi dengan mereka.
“Ajeng, Ayah nggak mesti tanya kamu tiap hari selama kamu bisa kasih gambaran kapan akan lunasi hutang ayah?” tanya pria yang sudah menyebabkan aku terlahir ke dunia ini.
Sumpah demi apapun, rasanya aku tidak berselera untuk sarapan. Aku menghela nafas sebelum mulai bicara.
“Nah, mumpung kita sedang berkumpul. Ayah bisa tanyakan hal itu bukan hanya ke aku, ada Bang Tony, Kak Vina dan suaminya di sini. Ayo tanyakan juga ke mereka, jangan hanya aku.”
“Ajeng,” tegur Ibu.
“Kenapa, mereka juga anak kalian ‘kan? Kenapa harus aku yang dilimpahkan urusan hutang yang aku sendiri nggak tahu mulainya untuk apa?” Aku mulai tidak bisa menguasai diri, bahkan ucapanku mulai bernada tinggi.
“Kenapa diam, Yah? Apa alasan Ayah hanya menekan aku? Di mana logika kalian minta aku membayar hutang ratusan juta rupiah dari gajiku sebagai asisten dan tim kreatif,” tuturku lagi.
“Juga jual diri sama om-om,” cetus Tony dengan senyum menyebalkannya. Aku menatap pria itu. rasanya ingin aku jadikan dia makanan untuk anj*ng yang kena penyakit ra bies.
Aku meraih gelas di depanku lalu aku siramkan isinya pada muka Tony. Ibu menjerit menghardikku. Ayah menyebut namaku seraya menegur.
“Kamu semakin lama semakin tidak sopan ya,” ujar Ibu.
“Mana yang nggak sopan Bu, dia atau aku? Kalian ini sebenarnya orang tuaku atau bukan sih, kenapa nggak ada simpati dan pembelaan sedikitpun. Yang ada hanya menekan terus,” tuturku dengan suara mulai serak karena menahan tangis.
“Tapi lo memang jual diri ‘kan? Semalam gue lihat lo ….”
“Turun dari mobil bos gue, kita habis diskusi program acara baru,” sahutku. “Aku kerja dan terkadang harus lembur. Bukan hanya nongkrong di pengkolan atau nge gaet pacar orang,” tuturku sengaja menyindir Tony dan Vina.
“Nyindir gue,” teriak Vina.
“Sayang, udah jangan marah-marah,” ujar Gio menenangkan.
“Bukan untuk kamu, tapi kalau merasa ya udah sih,” jawabku dan sukses membuat Vina marah wanita hamil itu berdiri sambil menunjuk wajahku dan berteriak.
Ayah hanya menggelengkan kepala sedangkan Ibu berusaha menenangkan Vina. Aku beranjak pergi dari kekacauan ini. Sungguh pagi ini benar-benar membuatku tidak mood.
Aku mendorong motor matic yang rusak, untuk disimpan di bengkel. Kalau memang tidak bisa diperbaiki mungkin bisa dipajang sebagai motor bersejarah.
“Aku tinggal aja ya Bang,” ujarku pada Bang Roy pemilik bengkel. “Kabari kalau sudah selesai,” ujarku lagi. berharap kalau sudah diperbaiki, aku bisa lebih efisien dan cepat sampai di kantor.
Melihat waktu di ponsel tidak mungkin aku harus naik kendaraan umum yang akan antri dan berjubel, sudah dipastikan aku akan terlambat. Akhirnya aku pilih ojek online, walaupun agak mahal mungkin aku tidak terlalu lambat sampai di kantor.
...***...
Gentala
Kepalaku masih berat, tapi sebagai orang baru di Go TV aku tidak boleh memberi contoh yang buruk. Semalam, setelah mengantarkan gadis bernama Ajeng yang sudah dua kali bermasalah denganku. Aku mampir ke club. Bukan mampir tapi memang sudah ada janji dengan beberapa temanku.
Minum beberapa sloky sepertinya bisa membuatku lebih tenang. Si4l, aku agak mabuk bahkan saat ada seorang wanita merayu dan sudah duduk di pangkuanku aku malah terbawa suasana. Saat ini kami berada di ruang VIP, private tentu saja.
Aku melirik yang lain sudah asyik dengan para wanita. Wanita ini sudah mulai meraba dan men_cumbu dan aku terlena. Bahkan pagutan bibir kami sangat liar dan ... kenapa aku teringat gadis itu. Ajeng.
“Kenapa?” tanya wanita itu karena aku menghentikan cium4n panas kami.
“Pergilah!” Aku membuka dompet dan mengeluarkan semua lembaran merah dan memberikan pada wanita itu agar cepat menyingkir.
Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, kenapa wajah gadis lugu itu merusak kegiatanku. Sebagai pria dewasa dan normal aku butuh aktivitas bersama wanita. Apalagi aku pernah menikah, tentu saja penyatuan diri menjadi salah satu kebutuhan.
Kembali menyesap kopi ku lalu beranjak dari outlet kopi dengan merek ternama yang ada tidak jauh dari lobby perusahaan. Seperti biasa, orang-orang menyapa dan menganggukan kepalanya saat melihatku. Aku tetap fokus menuju lift dan ada dia di sana, Diajeng Sekar Ayu.
Berdiri sambil menunduk menatap ujung sepatunya, aku berdiri dibelakang tubuhnya. Saat pintu lift terbuka dan beberapa orang berebut masuk, tidak sengaja menyenggol Ajeng membuat gadis itu oleh dan aku menahan tubuhnya.
Dia terkejut dan menoleh.
“Pak Genta.”
Dia sibuk melihat sepatuku kemudian menatapku.
“Pak, nggak sengaja. Bapak lihat sendiri ‘kan kita desak-desakan. Saya nggak sengaja injak sepatu Bapak, jangan suruh ganti ya.”
Ajeng bicara sambil mengatupkan kedua tangannya bahkan memasang wajah sendu seakan menyesal dengan kejadian tadi. Aku tidak merespon permintaannya, hanya memandangnya. Memandang wajahnya yang terlihat alami. Alami dalam artian sebenarnya. Dia tidak menggunakan make up seperti para wanita pada umumnya. Hanya bedak mungkin dan perona bibir yang membuat bibir mungilnya semerah ceri.
“Kamu mau terus berdiri di sini? Kalau iya, bergeserlah. Saya harus naik,” titahku.
Dia malah terkekeh dan bergegas masuk ke dalam lift yang terbuka. Kami berdiri dan semakin terdesak ke belakang karena pengguna lift lainnya. Entah bagaimana kejadiannya, Ajeng sudah berdiri di depanku. Tubuhnya semakin menempel dan … shittt.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Elizabeth Zulfa
keknya ajeng anak pungut dech.. masa ortu kandung kek gitu sikapnya ke anak... biarpun pilih kasih tpi ya gak segitunya kali..
2024-12-23
0
Hamimah Jamal
jangan bilang junior anda bangun pak genta🤭😁
2025-03-10
0
May Keisya
pgn bgt aku jedotin tuh bapaknya...itu tanggung jawab kmu hai bapak sableng
2024-09-13
0