“Hai Gentala.”
“Natasha, kami sedang rapat.”
“Kita harus bicara, penting! Aku tidak akan ke sini kalau kami merespon pesan atau panggilan aku.”
Rasanya aku ingin mencibir di depan model yang katanya papan atas itu. Jelas banget diabaikan si bos malah harus nyamperin bahkan sampai ke ruang rapat.
“Eh, ada Fabian. Apa kabar kamu?” tanya Natasha yang sudah bisa diduga hanya basa-basi.
Fabian diam saja, hanya melirik sebal ke arah Natasha. Oh, ada apa ini. Apa si playboy ini cemburu?
“Kita bicara di ruanganku.” Gentala beranjak dari kursinya sempat melirik ke arahku sesaat lalu aku membuang pandanganku, takut dipanggil Pak Gentala untuk bayar hutang atau ganti rugi sepatunya yang aku injak.
“Loh, Pak Fabian nggak ikut?” tanyaku sudah siap pergi dari ruang meeting.
“Ikut ke mana?” kali ini dia bertanya serius, dahinya berkerut dan tampangnya agak cupu, tapi masih aja tampan.
“Itu ada Natasha, ‘kan bisa main bertiga,” ujarku lalu terbahak.
Entah bagaimana tampang Fabian aku tidak melihatnya, yang penting sukses membalas ejekannya tadi.
“Apanya bertiga?” bisik Fabian yang entah sejak kapan sudah ada di sampingku.
Gawat, Fabian marah atau gimana sih?
Tatapan matanya beda, seperti tatapan copet melihat dompet. Cepat Jeng, sepertinya harus menghindar dan benar saja Fabian malah menghalangi langkahku.
“Minggir Pak!” titahku berusaha tenang.
“Minggir ke mana? Dari pada main bertiga, lebih baik kita aja yang main. Kamu ngerti ‘kan?”
“Ck, Bapak kalau bercanda nggak inget finish. Bentar lagi kita syuting di luar Pak. Di Mall, aku mau siap-siap dulu.”
Brak.
“Aaaa.”
Fabian malah mendorong tubuhnya ke dinding dan dia merapatkan tubuhnya dengan kedua tangan di sisi kiri dan kananku seakan mengungkungku agar tidak bisa menghindar. Sumpah, jantungku sudah berdetak disko tapi aku berusaha tidak panik.
“Pak Fabian bercanda mulu sih,” rengekku sambil lebih erat memeluk laptop di dadaku.
“Aku pikir kamu polos tapi kamu tahu konsep main bertiga,” ujarnya lagi.
Punya asisten bener-bener mesum. Pengen banget mendaratkan laptop yang kupegang ke jidatnya agar sadar kalau ….
Dia terbahak, lalu menjauhkan tubuhnya.
“Kamu serius amat sih, dipikir aku bakal cium kamu ya?” ejeknya.
Serius? Cium aku? Justru dari tadi aku takut.
Di rumah aku selalu menghindar dari Tony yang isinya otaknya sudah pasti adegan delapan belas ke atas semua. Itulah mengapa kunci kamarku sampai triple dengan slot atas bawah.
Sekarang si playboy cap kodok ini seenak perutnya membuat aku teringat lagi ulah Tony yang hampir menyentuhku waktu rumah sepi dan saat aku adukan ke Ibu, malah aku yang dituduh menggoda si bangs4t.
“Bercanda Bapak nggak lucu,” ujarku lirih dan beranjak pergi.
“Eh, Ajeng,” panggil Fabian tapi aku tahu dia tidak mengejarku.
Aku berlari ke toilet terdekat setelah keluar dari ruang meeting. Masuk ke dalam salah satu bilik dan duduk di atas toilet yang tertutup.
“Nggak mungkin Tony sampai berani begitu kalau kamu tidak menggodanya.”
“Lagian ya Bu, aku juga punya selera. Mana mungkin mau yang kayak dia.”
“Yaelah Jeng, pantesan Gio malah pilih aku dan menduakan kamu. Murahan sih.”
Cacian Ibu, Tony dan Vina kembali terngiang di telingaku. Aku sudah takut setengah mati saat itu dan butuh perlindungan dan kekuatan, yang aku dapat malah cacian dan tuduhan aku menggodanya.
Apa seperti ini yang dirasakan para korban pelecehan, yang malah mendapat tuduhan dari lingkungan sekitar kalau kejadian terjadi karena ulah korban sendiri. Padahal Tony belum sempat macam-macam tapi takutnya sampai ubun-ubun.
Aku berusaha menahan tangis, karena tangisanku ada dua jenis. Meraung agak melengking atau menangis tersedu dengan nada suara paling rendah dan pasti fals. Beruntungnya toilet di perusahaanku selalu steril dan wangi, jadi salah satu tempat aku bersembunyi atau menghindar dari sesuatu adalah toilet dan rooftop.
Lima menit berada di toilet, akhirnya aku keluar dari bilik. Merapikan penampilanku dan memastikan tidak terlihat kalau aku baru saja menangis.
“Hahh. Semangat Ajeng.”
Baru saja aku sampai di meja kerjaku dan mengabaikan Fabian.
“Babe, kamu minta paraf Pak Gentala. Cost nggak cair karena ini lupa di tanda tangan beliau, cepat ya! Aku ke studi dua,” ujarnya lalu pergi.
Oke, kelakuan Fabian hari ini menambah daftar kekesalan aku dengannya. Boleh nggak sih, tukar atasan. Aku mau deh jadi asisten manager SDM, kelihatan cool dan bersahaja daripada yang ini tebar pesona ke mana-mana dan nggak ada empatinya.
Aku membawa berkas yang harus dibubuhi oleh tanda tangan si jutek. Sukses acara ada ditanganku, budget syuting bisa cair karena berkas ini. Sampai di depan ruang GM, aku tidak melihat Mbak Nella di mejanya.
“Pak Gentanya ada nggak ya,” gumamku.
Gawat kalau si Natasha malah ajak Pak Gentala ke luar, aku pun melangkah mendekat ke pintu yang ternyata tidak tertutup rapat. Terdengar suara, berarti Pak Gentala ada di dalam.
Aman dong, tapi … suaranya bukan obrolan melainkan dessahan.
Mungkin suara televisi. Masa sih Pak Gentala nonton drama atau sinetron.
Aku berjalan semakin dekat dengan pintu, suara dessahan semakin terdengar. Saat aku semakin menempelkan telinga, pintunya tidak bisa diajak kompromi malah terdorong ke dalam karena sentuhan tanganku yang tidak tersadar mendorong pintu tersebut.
Terpampanglah situasi paling awkward di Go Tv saat ini. Aku mematung menyaksikan Natasha berada dalam pangkuan Gentala dan posisinya mereka sedang beradu bibir. Aku hanya bisa mematung tanpa bersuara dan Gentala menyadari kehadiranku. Dia mendorong bahu Natasha dan menatapku tajam seperti biasa.
“Karyawan kamu nggak punya attitude banget sih.”
Nggak punya attitude? Maksudnya aku, bukannya dia nggak ada attitude duduk di pangkuan pria yang bukan berstatus suami atau pacarnya bahkan melummat bibir pria itu. Kalau bibir Pak Gentala terbuat dari marshmallow sudah pasti somplak dimakan olehnya.
“Ada apa?” tanya si jutek.
Aku berjalan mendekat ke mejanya dan menyerahkan berkas yang aku bawa ke hadapan sang prabu yang tatapan bikin merinding, bahkan aura mistis di studio tujuh yang terkenal angker juga kalah dengan aura Pak Gentala.
“Tolong di tanda tangan Pak. Pak Fabian lupa mengusulkan ini ke Bapak, untuk pencairan cost syuting outdoor.”
Gentala membuka lembaran berkas sekilas lalu memberikan tanda dirinya sebagai General Manager, kemudian menyerahkannya padaku.
Aku menerima tanpa menatapnya dan melirik model yang berdiri sambil bersedekap di samping Pak Gentala.
“Maaf ya Tante, eh Mbak Natasha. Saya punya attitude kok, salahin aja pintunya yang malah terbuka padahal belum saya ketuk. Mbak tuh yang gak ada attitude, kalau duduk itu di kursi bukan di pangkuan orang.”
“Kamu ….”
“Permisi Pak, terima kasih. Silahkan di lanjutkan,” ujarku lalu berbalik dan bergegas pergi bahkan agak berlari.
“Ajeng,” teriak Pak Gentala.
“Gawat, mending kabur.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Hamimah Jamal
semangat hidup ajeng
2025-03-10
0
Alanna Th
aq tuh baru denger cln pcrq dekat cewe lain aja udeh jijik, gmn spt ajeng mergokin 2org lagi on? sungguh mnjijikkn n mngerikn
2024-10-14
0
Nendah Wenda
ngakak bener kelakuan Ajeng sampai lari gentala udah mengepul tuh asap di kepala karena marah🤣🤣🤣
2024-09-01
1