Ada Semut

Bel istirahat berbunyi.

Hana keluar kelas, hendak pergi ke kantin bersama Inung dan kawan-kawannya. Hampir setiap hari ia dapati Ruri selalu asyik mengobrol dengan siswa baru anggota OSIS bahkan sebelum bel istirahat berbunyi, selama itu pula Hana berusaha mengabaikan.

Namun saat itu berbeda, yang Hana lihat hanya ada Ruri dan satu orang siswi yang selalu terlihat akrab dengan Ruri. Seperti ungkapan lama, ada gula ada semut. Hana mengartikannya sebagai ungkapan bahwa dimana ada Ruri, disitu pasti ada siswi tersebut.

Karena hanya ada mereka berdua yang sedang berbincang, Hana pun memberanikan diri untuk mendekat setelah menyuruh Inung dan teman lain untuk pergi terlebih dahulu.

"Ngomongin apa, sih? Kayaknya seru banget?" Ucap Hana sarkas.

"Hai, kamu pasti Kak Hana ya? Ceweknya Kak Ruri? Salam kenal, Kak. Aku Farah, adeknya Kak Ruri." Ucap siswi itu sambil mengulurkan tangan.

Hana menyambut uluran tangan itu dan hanya membalas dengan senyuman kaku.

"Ya ampun, Kak Hana cantik banget, pantesan Kak Ruri suka. Seneng deh, aku jadi punya kakak ipar baru."

Awal pertemuan yang sangat antusias dari pihak Farah, sementara Hana menganggapnya hanya basa-basi yang sangat basi.

"Ngomong-ngomong, adeknya Ruri beneran? Soalnya aku belum terlalu hafal." Hana memberanikan diri menanyakan hal itu walaupun dalam hati sangat dilema. Ia mencoba memastikan siapa sebenarnya Farah agar tidak keliru saat mengambil langkah, dalam hati kecilnya ia takut tidak direstui seandainya benar itu saudarinya. Meskipun feeling Hana sangat yakin bahwa Farah tidak lebih hanyalah seorang gadis genit menurut versinya.

"Aku saudara Kak Ruri, saudara jauh. Saudara dari saudaranya lagi." Jawab Farah berbelit.

"Maksudnya?" Hana mengernyit, seakan mencium sesuatu yang tidak beres dari perkataan siswi di hadapannya.

"Kita kenal dari organisasi di luar sekolah, udah kenal dari sebelum dia masuk ke SMA ini." Ruri menjelaskan.

"Oh, begitu ya? Pantesan kayak akrab gitu."

"Iya, Kak. Oh iya, Kak Hana jangan cemburu ya? Kita cuma kakak adek biasa kok. Kalo Kak Hana nggak keberatan, Kak Hana bisa join obrolan kita biar seru."

Ruri yang menyaksikan percakapan dua orang gadis di depannya mendadak panas dingin, bibirnya kelu. Ia tahu, jika sudah begini, Hana pasti sudah menyadari sesuatu.

"Iya. Tapi jangan setiap hari juga kayaknya, apalagi pas masih jam pelajaran. Emangnya kamu nggak masuk kelas?"

"Tenang aja, aku OSIS, Kak. Aku punya alasan penting, jadi nggak masalah."

"Emangnya OSIS nggak punya waktu di luar jam sekolah, kayak semisal ekstrakurikuler gitu? Aku penasaran soalnya nggak pernah ikut organisasi."

"Ada kok, Kak-"

"Ya udah," Hana memotong perkataan Farah sebelum ia sempat menyelesaikannya, "berarti biarin Ruri istirahat dulu ya? Kasihan nanti dia laper. Kamu juga harus bareng sama temen-temen kelas, kan?" Hana menggamit bahu Ruri, memberi kode untuk beranjak dari tempat itu secepat mungkin, mengabaikan Farah yang belum juga memahami situasi.

Di kantin, Hana menghampiri Inung dan beberapa teman lain.

"Aji nggak ikut?"

"Lagi galau habis ditolak Bella."

"Lah? Ditolak lagi? Masih belum nyerah dia?"

"Belum, gara-gara kemakan omongan aku waktu itu, yang nyuruh dia perjuangin terus biarpun ditolak. Jadinya Aji ngejar Bella terus." Inung tertawa geli.

"Bagus, deh. Jadi nggak berisik." Ucap Hana.

"Kamu tumben banget ke kantin, Ri? Biasanya sibuk sama komplotan OSIS-nya."

"Biasanya aku juga ke kantin, cuma nggak sesering dulu waktu kita masih suka bareng."

Hana melirik Ruri dengan tatapan dingin, membuat wajah Ruri menjadi terlihat pucat, serta menampakkan kemerahan pada kedua telinganya.

"Lagi nggak ada kepentingan juga." Sambung Ruri, iw diselimuti rasa canggung.

"Emang biasanya ada kepentingan apa?" Sambung Inung.

"Mau tahu aja." Ruri berusaha menjawab sesantai mungkin.

Hana memilih beberapa makanan ringan dan segera membayarnya. Ia tidak berniat membeli makanan berat dan tinggal sebentar di kantin bersama Inung, ia akan langsung kembali ke kelasnya yang tidak seberapa jauh.

Ruri hanya memperhatikan tingkah Hana yang berusaha menghindari tatapannya. Sudah jelas suasana hati Hana pasti sedang buruk.

"Nung, aku balik ke kelas dulu."

"Cuma bentar doang?"

Hana mengangguk, berlalu begitu saja meninggalkan orang-orang yang masih berada disana.

Setengah berbisik Inung bertanya kepada Ruri, "kalian berantem?"

"Kayaknya gitu."

"Ya udah, sana buruan susulin."

Ruri berjalan cepat menyusul Hana yang dalam sekejap sudah menghilang dari pandangan.

Sampai di kelas, Ruri mendapati Hana sedang duduk menelungkupkan wajah di mejanya.

"Han." Ruri menelan ludah, berusaha membangkitkan Hana, "Hana, kamu marah sama aku?"

Hana mengangkat wajahnya, Hana terlihat sangat kesal.

"Kamu masih tanya aku marah sama kamu? Ya kamu pikir aja sendiri gimana pantesnya. Aku males sama kamu, di diemin malah keterusan."

"Hana, maaf. Aku nggak sadar kalo hal itu ternyata bikin kamu marah."

Ruri menjadi tidak berdaya, jiwa dan raganya seperti rumput yang baru saja di petik dan dibiarkan begitu saja di alam terbuka. Layu.

"Kadang aku nggak ngerti sama kamu, mungkin kamu juga, sering nggak paham sama jalan pikiran aku. Jadi, daripada bikin masalah baru, kita introspeksi diri aja dulu. Aku pengen tenangin pikiran aku dulu."

Ruri mengangguk dan tidak mengucapkan satu patah kata pun. Ia berjalan ke tempat duduknya dan merenungi apa yang sedang terjadi. Sekeras apapun ia berusaha, sepertinya memang belum cukup untuk memahami isi hati kekasihnya.

"Kenapa, Ri?" Aji yang datang dari ujung kelas menghampiri Ruri.

"Biasa."

"Kali ini siapa yang salah?"

Tangan Ruri mengepal dan siap melayangkan tinjunya kepada Aji, tidak serius tentu saja.

***

"Zia, kayaknya novel yang lagi aku baca ketinggalan di kelas, deh." Kata Hana sembari memeriksa isi ranselnya.

"Terus? Kamu mau balik ke sekolah buat cari bukunya?"

"Iya. Siapa tahu emang beneran ketinggalan disana."

"Tapi ini udah sore, Han. Lagian ambil besok juga bisa, kan?"

"Aku nggak tenang kalo harus ninggalin buku itu di kelas, aku lagi baca part yang bener-bener seru, aku nggak rela kalo nanti malem harus tidur dengan pikiran yang nggak tenang."

Zia menggeleng kepala, sudah tidak heran ketika Hana menginginkan sesuatu harus saat itu juga terpenuhi, terlebih lagi jika itu sangat memungkinkan untuk diwujudkan.

"Lagian jarak asrama ke sekolah seberapa jauh, sih? Jalan sambil merem juga bakal sampe."

"Iya, iya. Dasar tukang ngomel ... Aku ikutan apa enggak?" Zia bertanya sekaligus menawarkan diri.

"Terserah. Tapi ada baiknya kamu nemenin aku biar aku nggak hilang digondol wewe."

"Wewe juga males kali nyulik kamu, bukannya untung, yang ada malah boncos. Udah banyak mau, banyak makan pula."

Tawa menghiasi wajah Hana. Ucapan Zia seringkali membuatnya terhibur meskipun suasana hatinya sedang kacau, meskipun garing.

Hana mengambil sandal jepit yang berjajar rapi bersama alas kaki lain pada sebuah rak sepatu di depan kamar. Baru kali ini mereka berdua berjalan santai menuju sekolah pada sore hari, tanpa dikejar waktu.

Berangkat lah mereka menuju sekolah.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!