Sudah beberapa waktu lamanya sejak tangan kirinya sembuh dari cedera, Hana menjadi sedikit kehilangan fokus. Terlebih lagi setelah mengetahui pertengkaran Ayah dan Ibunya yang semakin intens, selama itu pula ia tidak pernah berhenti memikirkan adiknya. Sesekali Hana menghubungi Indra untuk sekedar menghiburnya, meskipun ia juga sama kalutnya dengan Indra.
Hana membolak-balik halaman buku di tangannya. Sudah beberapa kali ia coba memahami deretan aksara tersebut namun Hana tidak juga mengerti maksud dari kalimat-kalimat yang berjajar rapih dari penglihatannya itu.
Tidak butuh waktu lama bagi Hana untuk menyerah dengan otaknya yang sedang bermasalah. Ia meraba tas miliknya dan sibuk mencari sesuatu, handphone.
Hana coba menyambungkan handphonenya dengan Wi-Fi sekolah, membuka media sosial Facebook dan melihat semua problematika teman-teman virtualnya disana.
Tidak banyak hal yang dapat menghibur kebosanan Hana, hanya ada grup postingan meme dan jokes garing, prahara kehidupan remaja puber dari teman-teman dari sekolahnya, dan pesan masuk dari orang-orang random yang tidak ia kenal. Namun anehnya, ia mampu berlama-lama memelototi layar yang berisi postingan monoton tersebut.
"Woi, Han. Serius amat?" Aji yang tengah sibuk berkeliling kelas menbawa gitar berhenti di samping meja Hana.
"Iya, nih." Hana asal menjawab.
"Kamu sekarang udah nggak pernah ngegambar manga lagi?"
"Enggak, Ji. Kan emang aslinya nggak terlalu suka ngegambar manga gitu."
"Kenapa, tuh?"
"Terlalu gampang. Nggak ada tantangannya."
"Kamu, sih, ngegambarnya gitu-gutu aja. Gimana mau menantang? Coba dikasih variasi apa gitu biar seru."
"Males ah. Aku tuh ngegambar cuma iseng doang, bukan yang beneran jago gambar."
"Lah, kamu mah apa-apa males. Cuma tidur aja yang nggak males." Ucap Aji seraya memonyongkan bibirnya, sementara jari-jarinya sibuk memetik gitar dan memainkan melodi yang sama berulang-ulang.
Aji berpindah duduk di meja belakang Hana.
Hana tetap hikmad menyimak layar berlatar putih yang berisikan gambar dan tulisan di handphonenya, meskipun telinga Hana sudah terasa penuh dengan genjrengan gitar Aji yang mulai tidak beraturan.
Satu lagu, dua lagu, dan beberapa lagu lainnya tidak dinyanyikan Aji hingga selesai. Sampai entah lagu ke berapa Hana mulai mengenal melodi yang dimainkan Aji, seperti tidak asing di telinga Hana.
Lama sekali Aji memainkan intro lagu tersebut, lalu beberapa saat kemudian Aji mulai menyanyikan bagian awal lagu milik grup band asal Amerika Serikat bernama Avenged Sevenfold yang berjudul Warmness on the Soul. Lagu tersebut memang memiliki intro yang lumayan panjang menurut Hana.
Lirih Hana mengikuti permainan gitar Aji, ia ikut merapalkan nyanyian itu dengan mata dan jari yang masih berfokus dengan layar handphonenya.
Di tengah-tengah lagu mendadak Aji menghentikan permainannya, "kamu tahu lagu ini?"
"Tahu."
"Apa judulnya?"
"Warmness on the Soul, kan?"
"Kok kamu tahu, Han?"
"Tahu dong."
"Kalo yang ini tahu nggak?" Aji memainkan beberapa melodi lain masih dari band yang sama. Aji merasa heran mengetahui gadis yang sangat hobi tidur itu ternyata mengetahui semua lagunya.
"Udah lah, capek." Sela Hana ketika Aji masih terus saja menyuruhnya bernyanyi, sejujurnya Hana sedikit malu.
"Kok kamu tahu semuanya, Han?"
"Aku udah suka Avenged Sevenfold dari SMP. Awalnya nggak sengaja denger satu lagu, habis itu aku penasaran sama lagu mereka yang lain. Suka, deh."
Ruri yang sedari tadi hanya mengamati dari jauh kini mendekat, duduk tepat di samping Aji.
"Kenapa, Ri? Cemburu?"
Hana tidak terlalu mendengarkan perkataan Aji, Hana tidak merasa aneh karena menurutnya tipe candaan mereka memang seperti itu.
Sementara Ruri hanya tersenyum, entah apa arti dari senyumnya.
Mereka bertiga berbincang banyak tanpa kehadiran Inung. Predikat Inung si tukang nimbrung kini sedang tidak disandangnya, Inung harus mengerjakan essay panjang untuk kegiatan ekstrakurikuler drama nanti sore. Ia harus menyelesaikan skrip saat itu juga.
"Kamu udah nggak mau lanjutin lagi silatnya, Han?" Tanya Ruri pada Hana ketika sedang membahas ekstrakurikuler Inung.
"Nggak dulu, Ri. Mau istirahat dulu dari silat."
"Kasihan, Ri. Baru aja sembuh masa udah disuruh ikut drama action lagi?" Celetuk Aji mendengar pertanyaan Ruri.
"Bukan gitu. Aku cuma tanya, nggak ada tuh nyuruh-nyuruh Hana buat balik lagi. Malah syukur kalo Hana berhenti dulu. Cuma mastiin aja, soalnya pelatih masih suka nanyain keadaan Hana, biar aku tahu mau jawab apa."
Cedera bukan satu-satunya alasan Hana ingin berhenti, namun hal itu selalu berhasil mengingatkan Hana akan peristiwa di rumah yang terjadi setelahnya. Dimana ia ingin pulang ke rumahnya karena ingin menyembuhkan cedera tangan, namun lukanya malah menjalar ke hati Hana dan hati adiknya setelah menyaksikan adu mulut kedua orang tuanya dengan mata kepalanya sendiri.
Setiap kali Hana mengingatnya, dada Hana mulai terasa sesak. Entah ada hubungannya atau tidak, yang jelas Hana sedang tidak ingin mengingatnya.
Walau dengan terpaksa Hana masih harus menghadapinya lagi esok hari.
***
Hana merapikan bukunya yang berserakan di atas meja, sebagian ia taruh di laci mejanya, sebagian lagi ia masukkan ke dalam tas, bersiap untuk pulang. Ia berpamitan pada Inung yang belum juga selesai mengerjakan essaynya, beberapa murid lainnya pun masih banyak yang masih sibuk di kelas.
Hana menggendong tasnya lalu berjalan keluar kelas. Baru beberapa langkah Hana melewati pintu kelas, seseorang di belakang memanggilnya. Hana reflek menoleh, ternyata suara itu berasal dari Ruri.
"Aku mau ngomong sama kamu bentar."
"Iya, Ri? Ada apa?"
Ruri mengepal-ngepal tangannya yang mulai bergetar, bukan hanya tangannya, bibirnya pun sama.
"Aku suka sama kamu, Han."
Hana mengerutkan alisnya keheranan, tanpa aba-aba Ruri melayangkan tembaknya begitu saja.
"Aku capek, Han."
Hana makin keheranan, "kamu capek suka sama aku?"
"Aku capek suka sama kamu diem-diem. Makanya aku mau ngomong ini sekarang."
"Ah, bercanda kali." Hana berusaha mengabaikan Ruri, dan berniat untuk segera pulang.
"Han, aku serius!"
"Sejak kapan?"
"Sejak... Udah lama, sih. Pas MOS."
"Pas MOS? Kok bisa?"
Ruri menelan ludah, memberanikan diri mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam.
"Aku udah perhatiin kamu dari lama. Waktu itu kamu jalan sampingan sama Novi anak IPS itu, terus aku lihat kamu, dalem hati aku bilang, wah siapa nih anak ini, kok cakep? Habis itu tiap hari aku cari-cari kamu terus, eh, tahunya satu kelas."
"Terus?"
"Terus, ya, gitu. Aku jadi lebih sering perhatiin kamu, aku suka tiap kali lihat kamu nulis di depan kelas, aku suka jam kosong, soalnya aku bisa nyamperin ke meja kamu, aku suka senyum kamu, aku suka semuanya."
Hana mencoba mencerna kata-kata Ruri, siapa tahu ia salah dengar.
"Pas satu sekolah pada naksir sama Novi, kenapa kamu milih aku? Mata kamu bermasalah?"
"Kenapa kamu ngira mata aku bermasalah? Orang kamu emang beneran cantik, beneran manis. Kenyataannya emang gitu, kan?"
"Wah, kamu ngarang, nih, pasti?"
Ruri memandang Hana dengan muka memelas, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan.
"Iya, deh, iya. Kenapa baru bilang sekarang?"
"Takutnya kamu udah punya pacar, makanya aku cari tahu dulu." Ruri mulai kehilangan keberanian, ia pun menunduk lesu.
Hana ragu ingin merespon pernyataan Ruri seperti apa. Ia takut dipermainkan, atau justru ia yang mempermainkan Ruri sebab saat itu ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Ruri.
"Jadi gimana? Kamu mau nggak jadi seseorang yang spesial buat aku? Kamu mau nggak ... Jadi pacar aku?"
Sekujur tubuh Ruri hampir mati rasa, ia begitu gugup mendengar jawaban Hana yang tidak ingin Ruri dengar sebagai jawaban tidak.
Hana memikirkannya dalam-dalam.
"Oke, besok sepulang sekolah, ya."
"Iya, Han. Aku tunggu."
Hana melambaikan tangannya sembari berjalan menjauh dari Ruri, ia sedang ingin pulang cepat ke asrama.
Ruri memandangi bahu Hana hingga menghilang dari pandangan. Tidak menyangka akan segugup itu, tetapi ada sedikit rasa lega juga karena ia telah mengungkapkan perasaannya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments