Hana menguap perlahan seraya menutup mulutnya dengan punggung tangan.
Akhir-akhir ini pikiran Hana sedang tidak terkontrol. Pikiran Hana bercabang kemana-mana hingga tidak bisa fokus terhadap apapun. Mulai dari nilainya yang perlahan turun, Ruri yang selalu memberinya perhatian namun selalu Hana abaikan, hingga menjadi sangat sensitif terhadap hal kecil di sekelilingnya. Bahkan saat kenaikan kelas peringkat Hana sampai turun dan dilampaui oleh Bella.
Penyebabnya?
Hampir setiap malam Indra menelepon Hana dengan suara yang gemetar, sesekali diiringi isak tangis yang tertahan.
Pernah suatu kali Hana merasa sangat kesal pada Indra, Hana seharusnya tidak perlu mendengar kabar tidak mengenakkan seperti itu dari mulut Indra karena ia telah merasa aman berada jauh dari rumah. Ia merasa bahwa keadaannya bisa saja lebih baik andai Hana tidak mengetahui tentang hal itu sedikit pun.
Namun kembali lagi ia pikirkan, jika ia berada di posisi adiknya, mungkin ia akan lebih hancur. Bagaimana tidak, keributan orang tua yang terjadi secara intens dan ego yang semakin dibesarkan setiap pertengkaran terjadi tentu sangat menyakitkan, terlebih Indra menyaksikannya secara langsung.
Jika Hana nekat bersikap egois terhadap adiknya, maka tidak akan ada tempat adiknya untuk bersandar, Indra akan kehilangan sosok kakak tempatnya berlindung. Padahal Hana sendiri yang sempat menawarkan diri sebagai sandaran.
Hana merasa kesal pada orang tuanya karena tega menyebabkan kedua anaknya terluka. Jauh dalam lubuk hati Hana, Hana sangat menyayangi orang tuanya, rasanya ia tidak akan pernah rela orang tuanya berubah jauh dari figur Ayah Ibu yang selama ini Hana kenal.
Hana selalu memaksakan dirinya untuk tetap kuat. Namun pada kenyataannya, kondisi jiwa Hana belum siap menerima beban itu.
Hana membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang ia lipat di atas meja. Tidak hanya mengantuk, kali ini Hana juga ingin meredakan isi kepalanya yang sangat berisik.
Biasanya Hana akan tertidur hingga waktu istirahat usai tanpa ada satu orang pun mengganggu. Namun entah angin mana yang meniup Inung sehingga memiliki ide untuk menjahili Hana ketika sedang lelap-lelapnya.
Inung dengan sengaja menusuk pinggang Hana menggunakan jari telunjuknya dengan sedikit tenaga sehingga membuat Hana terkejut. Hana terbangun dengan kaki yang reflek menendang meja dengan keras hingga bergeser setengah meter jauhnya.
Hana berdiri.
"Sialan!" Tanpa sengaja kalimat itu keluar dari mulut Hana dengan nada yang begitu keras.
Saking kagetnya, Hana naik pitam, bulir keringat mengucur deras di kening Hana, jantungnya berdebar begitu kencang, nafasnya keluar masuk tidak beraturan. Sepersekian detik kemudian, Hana pergi tanpa mempedulikan apapun.
Entah pergi kemana, Hana meninggalkan kelas dan tidak mengikuti jam pelajaran terakhir. Handphone Hana tersimpan rapi di laci meja sehingga tidak ada satu pun yang bisa menghubungi Hana.
Ruri, Aji, serta Inung menunggu Hana hingga pulang sekolah. Mereka berpikir jika Hana akan kembali untuk mengambil tas dan handphone miliknya, namun setelah satu jam menunggu, Hana masih belum juga menampakkan diri.
"Kita susulin aja ke asrama, siapa tahu Hana langsung pulang tadi." Usul Inung.
"Ayok, lah." Jawab Aji tanpa pertimbangan.
Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Ruri, mukanya merah padam serta tidak banyak bicara. Ia memandang handphone Hana sejenak, kemudian memasukkannya ke dalam ransel milik Hana.
Mereka bertiga bergegas menuju tempat yang di maksud.
"Aku coba telepon Zia, siapa tahu ada." Dengan sigap Ruri menelepon seseorang yang ia maksud.
Zia muncul bersamaan dengan ditutupnya telepon Ruri.
"Beneran Hana nggak ada di asrama?" Inung langsung menyerang dengan pertanyaan begitu Zia muncul.
"Beneran. Sepatunya juga belum ada, aku kira Hana emang belum pulang. Emangnya Hana kenapa?" Tanya Zia penasaran.
Mereka bertiga menceritakan kejadian itu pada Zia secara rinci.
Zia mengangguk tanda paham, "ya udah, nggak apa-apa. Palingan Hana cuma kaget terus pergi kemana sebentar. Nanti juga balik kok anaknya."
"Kok kamu bisa setenang ini? Emang Hana biasa kayak gini, ya?" Tanya Aji.
"Enggak, sih. Baru kali ini Hana main kabur-kaburan, apalagi sampe bolos pelajaran ... Aku juga panik, tapi semoga aja Hana nggak kenapa-napa." Zia melirik ransel milik Hana. "Sini, aku bawain tas Hana. Kalian pulang dulu aja, nanti aku kabarin kalo Hana udah pulang."
***
Keesokan paginya.
Inung menunggu Hana di mejanya. Begitu Hana datang, Inung langsung menyambut Hana dengan banyaknya permintaan maaf.
"Maafin aku, Han. Pasti kamu kaget banget ya? Aku nggak tahu kalo kamu bakal semarah itu."
"Nggak apa-apa, Nung. Aku nggak marah, cuma kaget dikit soalnya posisi langi tidur. Aku juga minta maaf kemarin sempet ngomong kasar ke kamu."
"Tapi kemarin kamu sampe nggak ikut kelas, padahal kamu kan Hana, si anak teladan."
"Masih sempet ngeledek lagi." Hana diam beberapa saat, kemudian bicara lagi. "Pokoknya itu bukan apa-apa, asal nggak kamu ulangin. Perkara aku bolos, itu masalah pribadi aku, nggak ada hubungannya sama kamu kok, Nung. Waktu itu aku juga nggak terlalu sadar, kejadiannya kayak cepet banget." Hana tersenyum.
"Emangnya kamu pergi kemana?" Tanya Inung penasaran.
"Mau tahu aja."
Dari jauh, Ruri menatap Hana dengan tajam. Tatapan yang membuat Hana merasa seperti diserang dengan puluhan pisau.
Ruri mendekat.
"Kemarin kamu kemana?" Tanya Ruri dengan nada lembut, namun gurat keseriusan tergambar jelas pada raut wajahnya.
"Nggak kemana-mana."
Baru kali ini Hana sedikit ada rasa takut menatap Ruri, ditambah Ruri tidak menjawab lagi dengan kata-kata melainkan helaan nafas panjang dan berat, membuat Hana merasa semakin terintimidasi. Sepertinya ia hampir menangis.
"Dari semalem kamu nggak mau jawab, teleponku dimatiin, chat nggak dibales. Aku cuma tanya, kemarin kamu dari mana?" Ruri masih belum melepas tatapan itu dari Hana.
"Ya udah kalo sekarang belum mau ngomong. Nanti pulang sekolah jangan langsung pergi." Ruri berdeham kemudian mengalihkan pembicaraan. "Oh iya, kemarin pas absensi aku bilangnya kamu sakit terus udah pulang duluan."
Ruri kembali ke tempat duduknya ketika seorang guru mulai memasuki ruangan.
***
Ruri segera menguasai kursi di samping Hana ketika murid lain berhamburan keluar kelas setelah bel berbunyi, sehingga tidak ada celah untuk Hana pergi.
Lama mereka berdua saling diam. Ruri memandang Hana, bibirnya hendak terbuka, tapi bungkam kembali. Ia berpikir keras, sebaiknya menunggu Hana berbicara sendiri atau tidak.
"Sekarang udah bisa cerita?" Tanya Ruri lembut, mencoba membuka pembicaraan.
Hana mengangguk pelan.
"Kenapa belakangan ini kamu murung banget? Ada masalah apa?"
Pertanyaan Ruri membuat Hana semakin resah, matanya kosong. Kepalanya yang menunduk dipenuhi dugaan-dugaan yang membuatnya cemas.
Air mata menggenang di pelupuk mata Hana.
"Kenapa? Berat banget ya masalahnya? Sampe kamu susah buat cerita?"
Tenggorokan Hana tercekat, sakit seperti tercekik oleh sesuatu. Bulir yang sejak tadi terbendung membasahi bola mata, kini berpindah jatuh membasahi pipi.
Ruri mengusap-usap kepala Hana, mungkin hal kecil itu bisa sedikit menenangkan Hana.
Setelah tangis Hana mereda, Ruri mengusap pipi Hana yang telah basah dengan penuh kasih sayang.
"Kadang kesedihan juga perlu diungkapkan, biar nggak berlarut-larut."
"Ada masalah di rumah. Nggak bisa aku ceritain sekarang, mungkin kapan-kapan pas aku siap."
"Kalo kamu berat mau cerita ke aku, kamu bisa cerita ke Zia, Inung, atau siapapun yang bisa kamu percaya. Aku nggak mau kamu nanggung sedih sendirian, aku nggak tega lihat kamu murung terus tiap hari."
Terlihat Hana memejamkan mata beberapa detik. Sepertinya ia begitu khusyuk menguatkan dirinya dalam hati.
"Kamu tenang aja, aku nggak sekasihan itu. Aku masih punya Zia yang siap nampung susah seneng aku kapan aja. Aku juga punya kamu yang nggak pernah berhenti peduli sama aku. Masih ada Aji sama Inung juga yang mulutnya siap ngehibur aku kapan aja."
Ruri yang duduk di samping Hana mengembangkan senyumnya. Rupanya Hana hanya perlu ditenangkan.
"Capek ya nangis terus?" Ruri membukakan tutup botol berisi air mineral untuk Hana, "nih, minum dulu."
"Sejak kapan kamu bawa minum?" Hana terheran-heran, itu bukan kebiasaan Ruri.
"Tadi sengaja beli. Buat jaga-jaga kalo kamu nangis. Eh, nangis beneran."
Hana mencubit lengan Ruri dengan keras hingga meringis kesakitan. Sejak Hana berubah menjadi gadis pemurung, rasanya ada yang berubah dengan sikap Hana terhadap Ruri. Mereka jarang menghabiskan waktu bersama dan bercerita apa saja.
"Jangan-jangan, seandainya aku nggak nangis, kamu mau bikin aku nangis ya?"
"Enggak juga, tuh. Kalo kamu nggak nangis, aku minum sendiri airnya, soalnya aku haus."
"Tuh, kan." Hana mencubit Ruri lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.
"Aduh, sakit loh sayang..."
Muka Hana pura-pura ditekuk kecewa, membuat Ruri tertawa menyaksikan tingkahnya.
"Dulu, belum juga bekas cubitannya ilang, udah ditambahin lagi sama kamu. Kayak nggak ada mulus-mulusnya badan aku, hampir semua kena cubit. Jadi kangen."
"Maksudnya?" Hana tidak menangkap maksud perkataan Ruri. Kangen katanya? Pikir Hana, mana mungkin ada orang yang rindu pada hal yang menyakitkannya?
Ruri mendekatkan wajahnya pada Hana, dipandanginya lekat-lekat gadis dengan mata sembab itu.
"Kangen waktu dulu kamu masih suka bercanda sampe cubit-cubit orang. Sekarang kamu jarang gitu, jadinya udah nggak pernah cubit aku lagi. Aneh tahu rasanya!"
"Aku kan tidur..."
"Dari dulu kamu juga udah suka tidur di kelas, tapi masih suka ngobrol bercanda pas lagi melek. Sekarang kerasa banget bedanya, soalnya kamu lebih sering diem."
"Kelihatan banget ya?"
Ruri mengangguk.
"Jadi, kemarin kamu pergi kemana?" Tanya Ruri tiba-tiba.
Melihat ekspresi Hana yang kebingungan, Ruri pun tertawa. Hana sangat tidak menyangka jika Ruri akan kembali menanyakan hal yang sebenarnya sudah Hana lupakan sejak beberapa saat lalu.
Dengan penuh senyum, Ruri mengusap-usap gemas kepala Hana, "kalo nggak mau jawab juga nggak apa-apa."
"Aku ke toko buku langganan aku kemarin."
"Sempet-sempetnya?" Kali ini giliran Ruri yang kebingungan mendengar jawaban Hana.
"Habisnya aku bingung mau kemana, kaki tiba-tiba aja udah jalan sampe depan sekolah. Mau balik ke kelas lagi malu, ke kantin nggak mungkin, ke asrama juga sama aja. Ya udah aku naik angkot sampe ke toko buku. Untung waktu itu bawa duit."
"Kok bisa?" Ruri benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Hana, "maksudnya, dari sekian banyak tempat, aku nggak kepikiran kamu bakal kesana walaupun aku tahu kebiasaan kamu baca buku. Coba cerita, kamu disana ngapain aja?"
"Ya umumnya orang-orang kalo ke toko buku. Muter-muter cari buku, kalo ada yang bagus aku baca bentar. Habis itu lanjut muter lagi. Toko buku itu kan yang jaga bapak-bapak, udah tua, terus model tokonya juga jadul banget. Nah, aku nyaman disana, ketiduran deh."
Ruri terbahak mendengar kelucuan kekasihnya.
"Terus, terus? Kok bisa sampe ketiduran itu gimana ceritanya?"
"Kan capek habis muter-muter, terus aku duduk nyender sambil baca buku. Eh, tahu-tahu ketiduran. Bangun-bangun udah sore, dibangunin bapaknya, katanya toko udah mau tutup."
"Untung ketahuan ada yang tidur terus dibangunin, coba kalo kamu kejebak disana. Orang yang nyariin kamu pasti makin panik."
"Termasuk kamu?"
Senyum melekat di wajah Ruri. Aura gadis didepannya benar-benar berubah. Tidak terlihat kemurungan dari wajah Hana seperti sesaat yang lalu. Untuk beberapa alasan Ruri merasa lega, setidaknya untuk hari ini.
Hari semakin sore, sekolah pun mulai sepi, Hana dan Ruri meninggalkan kelas dengan perasaan yang lebih lega.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments