Setelah mata ujian hari itu selesai, Hana, Inung, Ruri, serta Aji menongkrong ria di kantin sekolah sambil membahas ujian tadi, materi ujian besok, serta kegiatan selama liburan satu minggu setelah Ujian Akhir usai.
"Eh, kalian rencana liburan mau kemana?" Inung memulai pembahasan mengenai liburan.
"Aku mau mudik."
"Ah elah mudik, kayak yang jauh aja rumahnya." Sanggah Aji seperti biasa.
"Aaa, jauh bingittt..." Ledek Hana, ia rasa setiap perkataannya selalu ditanggapi dengan kejahilan Aji.
"Mau mudik tuh, kegiatan kamu dirumah apa?" Tanya Ruri.
"Tidur!!" Jawab Inung dan Aji serempak, kemudian diikuti tertawa secara bersamaan.
Hana mendengus kesal. Tidak perlu menunggu ujian, kesabaran Hana selalu diuji hanya dengan kehadiran kembar-kembar nakal didepannya.
Ruri tertawa, "udah, udah. Kasihan Hana kalo kalian ledekin terus."
"Soalnya Hana tuh lucu ekspresinya kalau lagi kesel." Inung mencoba mencairkan suasana.
"Apalagi kalau udah marah-marah, serem banget tuh, alisnya sampai ikutan marah kayak angry bird." Timpal Aji, meskipun ia tahu penyebab kemarahan Hana adalah dirinya sendiri.
"Capek banget hidup sama kalian berdua." Hana pasrah.
"Lah? Cuma kita berdua? Sama Ruri nggak capek?"
"Nggak lah, Ruri kan temen aku yang paling baik hati, nggak jahil kayak dua temen aku yang lain, ya kan?" Hana menarik lengan Ruri perlahan, menggandengnya dengan lembut.
Memang Hana menggandeng tangan Ruri dengan cara yang sangat biasa dan hanya berlangsung beberapa detik, namun hal itu menciptakan taman yang berbunga indah di lubuk hati Ruri. Hana tidak menyadarinya.
"Aku berasa jadi tokoh jahat jadinya. Padahal aku nggak ngerti apa-apa." Ujar Aji pura-pura sedih.
"Hmm, sedih." Inung mengikuti gaya bicara Aji barusan.
"Sana kalian liburan santai-santai. Aku mau ngejalanin tugas negara." Beberapa hari lalu ada pengumuman perekrutan anggota OSIS baru, Ruri yang sejak SMP sudah aktif dalam kegiatan OSIS tentu saja tertarik untuk mengikuti.
"Oh iya, ya, kamu sih ikutan OSIS segala. Jadi orang sibuk nih calon-calonnya." Inung menanggapi Ruri, "sukses deh buat kamu. Soalnya katanya banyak drama pas awal pelatihan."
"Biasa itu mah. Cuma settingan juga."
Dari kejauhan, nampak Zia dan Novi berjalan menuju kantin, mereka berdua berada di kelas yang sama.
"Hei, kamu disini, Han?" Sapa Zia ramah. "Halo, temen-temennya Hana." Zia mencoba sok akrab meski dalam hatinya sangat canggung, diantara sekian orang, Zia merasa tidak enak jika hanya menyapa Hana saja.
"Hai, Zia!" Jawab Aji.
"Dih, kayak yang kenal aja kamu, Ji." Sambar Inung. "Maaf ya Zia, dia emang kadang suka gitu."
"Kenal dong, udah dari jaman MOS malahan. Kamu nggak tahu ya?"
Zia hanya tersenyum.
"Kamu nggak nyapa Novi, Ji?" Goda Hana pada Aji.
"Hai, Novi."
Novi hanya menganggukkan kepalanya dengan senyuman yang terlihat dipaksakan.
Karena tujuannya bukan untuk beramah-tamah, Zia segera membeli sesuatu yang diperlukannya. Begitu juga dengan Novi yang sejak tadi berdiri di samping Zia tanpa sepatah kata pun.
"Han, aku pulang duluan ya."
"Iya, Zi."
Zia berlalu meninggalkan Hana dan teman-temannya dengan membawa satu kantong plastik berisi ciki.
"Lihat tuh, Ji. Bidadari yang kamu puja-puja, cantik dikit doang, tapi songongnya nggak ketulungan." Ujar Inung dengan mulut tanpa remnya.
"Eh, udah lama tahu aku nggak deketin Novi, waktu itu cuma penasaran aja. Kayaknya sekarang ada orang baru yang aku suka."
"Dih, cakep lu? Gegayaan cuma penasaran doang."
"Siapa, Ji?" Ruri memfokuskan perhatiannya pada pernyataan aji.
Aji mencondongkan badannya kearah Hana, menampakkan seyuman seperti seorang psiko, "Han?"
Deg!
Jantung Ruri hampir melompat dari tempatnya. Nafasnya tertahan, matanya membelalak. Ada yang tidak biasa dari mata Ruri yang menyaksikan pemandangan tersebut.
"Dih, ogah!"
"Plis lah, Han. Bantuin aku.." Pinta Aji memelas.
"Nggak mau! Aku nggak rela Zia dideketin cowok stress kayak kamu."
Mendengar hal tersebut, sebagian jiwa Ruri merasa lega. Sejurus kemudian senyum Ruri terbit. Awalnya Ruri mengira jika Hana lah yang di maksud oleh Aji.
Sejak awal kedekatan mereka berempat, sebenarnya Ruri merasa was-was, sebab Aji lebih dulu mengenal Hana daripada dirinya. Meski begitu, Ruri masih belum berani untuk melangkah lebih jauh.
Bukan tanpa alasan, di mata Ruri, Hana bagaikan palung laut yang tidak dapat ia selami seluruhnya. Bahkan belum sampai ia menyelam, ia sudah takut tenggelam.
Hana bukan tipe orang yang dengan sukarela menceritakan kehidupan pribadinya, sangat sulit mengetahui siapa Hana, bagaimana kehidupan aslinya, dan yang paling Ruri ingin tahu, siapa yang sedang berada di dalam hatinya.
***
Pagi ini dingin, tidak seperti biasanya, padahal langit sangat cerah. Hana mengusap hidungnya yang dingin, sepertinya hampir meler.
"Semoga nggak ingusan, deh."
"Kamu mah dikit-dikit meler, dikit-dikit ingusan. Heran aku tuh."
"Enggak dikit-dikit juga sih, Zi. Kebetulan aja hawanya lagi dingin. Nanti siang juga udahan ini."
"Iya, tahu. Si paling nggak bisa dingin."
Mereka berdua berpisah di halaman sekolah. Ruangan tempat Zia ujian berlawanan arah dengan Hana.
Hana berbelok menuju ruangan ujian, belum nampak satu pun dari murid yang satu ruangan dengan Hana disana. Saat berangkat ia tidak sempat melihat jam, rupanya ia kepagian.
Hana meletakkan ransel miliknya diatas kursi kosong di koridor ruangan ujian. Dikeluarkannya materi untuk Hana pelajari.
Sebenarnya ia bukan termasuk murid yang terbilang rajin maupun kutu buku, ia masih nyaman belajar dalam tahap normal, dan tidak ada satu keinginan pun untuk menambah kualitasnya dalam belajar, namun hal itu tak lantas menjadikannya pantas untuk disebut pemalas.
Karena ia berangkat kepagian saja, makanya Hana belajar sepagi itu.
"Hana." Sapa seseorang yang lalu memecah keheningan. "Pagi amat?"
"Eh, Ruri. Aku berangkatnya kepagian, orang-orang belum pada berangkat ternyata. Kamu sendiri jam segini juga udah nyampe sekolahan?"
"Tadi aku nganterin ibuku dulu ke pasar. Kakakku yang biasa nganterin lagi ada urusan." Ruri beralasan. Padahal hari itu ia sengaja berangkat lebih awal hanya untuk sekedar melihat Hana pagi-pagi.
Ruri berjalan menghampiri dan duduk di depan Hana. Matanya memang meraba tulisan-tulisan di bukunya, namun yang masuk bukanlah materi pelajaran melainkan bayangan-bayangan tentang gadis berparas manis yang saat ini sedang berhadapan tepat di depan matanya.
"Kamu sakit, Han?"
Hana yang mendengar pertanyaan mendadak dari mulut ruri tentu saja membuatnya sedikit terkejut. Padahal ia merasa sehat-sehat saja pagi ini.
"Sakit? Enggak. Apa aku kelihatan pucet?" Hana mengeluarkan cermin kecil di sakunya, dipandanginya dengan seksama wajahnya di cermin, "enggak, tuh."
"Syukur deh kalau nggak. Aku kira kamu sakit, habisnya kamu bawa-bawa tissu, mana ingusan lagi."
Plakk!
Hana memukul lengan Ruri cukup kencang sehingga membuatnya meringis kesakitan.
"Ih! Aku kira kamu bilang gitu karena kamu perhatian, tahunya ngeledek doang!"
"Nggak perlu nunggu perhatian orang lain juga mereka bakal langsung tahu kalau kamu ingusan, Han." Ruri terkekeh.
Hana lanjut memukul-mukul lagi lengan Ruri.
"Aduh, aduh, aduh, sakit, aduh!" Ruri meringkukkan badannya, menghindari pukulan bertubi-tubi dari Hana.
"Rasain! Aku tarik balik kata-kataku kemarin pas di kantin, deh. Kalian bertiga sama aja!"
Dalam hati Ruri tersenyum, dimatanya, Hana terlihat lebih menggemaskan ketika marah.
"Tangan kamu keras banget kaya batu."
"Masih untung aku mau berbaik hati, jadi kamu cuma aku tabok aja."
"Ooh, gitu ya? Hmm." Lanjut Ruri dengan gelagat meledeknya, membuat Hana merasa terjahili.
Hana melotot kesal. Hana masih saja belum menyadari jika reaksinya lah yang membuat mereka semakin menjahili Hana. Hana yang mudah terpancing, juga sangat ekspresif. Hana bagai sasaran empuk saja.
Satu persatu murid berdatangan, kini tidak hanya mereka berdua saja yang berada disana. Ujian pun berjalan seperti biasa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments