UTS (Ujian Teman Sableng)

Seperti baru saja kemarin MOS berakhir, ternyata satu semester telah berlalu. Ujian Akhir Semester satu sudah di depan mata, dan Hana sudah mampu menyesuaikan diri, ia menjadi lebih akrab dengan teman-teman satu kelas.

Hana melirik jam dinding diatas papan tulis, waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi namun mata Hana sudah terasa sangat berat. Belakangan ini Hana menjadi sangat mudah sekali mengantuk, bahkan terkadang ia sampai tertidur di kelas. Tidak jarang ia menghabiskan jam istirahat untuk tidur, bukannya ke kantin seperti murid pada umumnya. Jika ditanya alasannya, Hana sendiri pun tidak tahu pasti.

"Han, ke kantin yuk, mumpung jam kosong!"

"Mager lah Nung, aku mau tidur aja."

"Ayo dong. Nggak capek apa tidur mulu? Sekali-kali aku pengen lihat kamu hidup."

"Lah, emang biasanya aku meti?"

"Layu. Lemes banget kaya kangkung sore." Inung terlihat sedikit kesal melihat teman sebangkunya yang belakangan ini hampir tidak pernah memiliki tenaga untuk melakukan apapun. "Udah deh, ayo buruan! Ntar habis jam istirahat pertama kita disuruh bersih-bersih kelas soalnya."

Inung dan dua teman lain menarik tangan Hana, Hana pun terpaksa menurut meski dengan berat hati.

Hari itu merupakan hari terakhir di semester satu, biasanya hari Jumat digunakan para siswa untuk membersihkan ruangan kelas agar dapat digunakan untuk ujian semester yang di mulai hari Senin.

Karena berada di pekan terakhir, banyak jam pelajaran yang menjadi tidak kondusif apabila tetap digunakan untuk belajar, maka dari itu akan ada beberapa mata pelajaran yang kosong.

"Han, denger-denger kamu naksir sama kakak kelas yang pernah satu meja sama kamu waktu Ujian Tengah Semester? Siapa namanya? Kak Tobi?" Inung berbicara dengan mulut yang masih penuh dengan nasi goreng buatan ibu kantin.

"Aku? Enggak lah. Kamu aja yang suka bilang gitu, aslinya mah enggak."

"Waktu itu kamu yang bilang kalo kakak kelas itu baik banget sama kamu, sampe pinjemin pulpen segala pas ujian."

"Aku kan cuma bilang kalau dia baik soalnya mau pinjemin aku pulpen, padahal aku nggak minta. Lagian itu kepepet banget, ujian mata pelajaran selanjutnya aku juga udah beli pulpen sendiri, kok."

"Tapi, ada kemungkinan kamu suka sama Kak Tobi, kan?"

"Enggak.."

"Halah palingan juga naksir banget tuh dalam hati."

"Enggak, Nung. Kalaupun iya aku suka sama dia, aku nggak akan kasih tahu kamu." Hana pura-pura ngambek mendengar pernyataan Inung yang menurutnya sering sekali mengarang cerita.

"Dih, kamu jahat banget, Han."

"Habisnya kamu suka ngomong langsung di depan orangnya, aku kan malu. Nanti kalau dia salah paham gimana?"

Seolah mengerti kegalauan Hana, semesta tiba-tiba saja menghadirkan sosok manusia yang sedang berada di dalam obrolan mereka. Kakak kelas yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan, kini sedang berjalan menuju kantin bersama segerombolan temannya yang lain.

'gawat, nih.' Ucap Hana dalam hati, 'kalau nggak buru-buru kabur, nanti mulut Inung yang ember itu pasti bakalan ngomong yang enggak-enggak di depan Kak Tobi dan gengnya, mendingan kabur mumpung Inung belum sadar.'

Segera Hana bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan es teh dan seporsi nasi goreng yang bahkan belum habis setengahnya, juga meninggalkan Inung beserta dua siswi lain yang beberapa waktu lalu menyeretnya menuju kantin.

"Han, mau kemana?"

Tidak dipedulikannya pertanyaan Inung yang kebingungan melihat tingkah Hana, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menghilang dari tempat itu secepat mungkin.

Dengan tergesa-gesa Hana mengambil uang di saku baju lalu menaruhnya di meja kasir, "Bu, es teh sama nasi goreng satu, kembaliannya nanti, ya!"

Tanpa menunggu jawaban, Hana langsung melesat meninggalkan kantin.

Rupanya Hana sempat trauma, pasalnya beberapa waktu silam tepatnya saat Ujian Tengah Semester, ada sebuah kejadian yang membuatnya malu. Sebenarnya hal itu tidak akan menjadi hal besar atau bahkan sampai bisa disebut memalukan jika saja Hana tidak menceritakannya pada Inung.

***

Kala itu, di tengah ujian yang sedang serius-seriusnya, bolpoin yang Hana gunakan untuk mengerjakan soal tiba-tiba saja ngadat. Sebentar hidup, sebentar kemudian mati. Hana hampir frustasi, jawaban yang seharusnya dapat ia tulis dengan cepat malah memakan waktu dua kali lipat.

Di malam sebelumnya Hana tidak berpikir untuk membawa bolpoin cadangan karena ia baru saja membelinya. Tidak terpikir di benak Hana jika bolpoin baru itu malah menimbulkan masalah.

Ia memang tidak berniat meminjam kepada temannya yang lain karena saat ujian biasanya mereka hanya membawa satu bolpoin saja tanpa membawa alat tulis lainnya.

Tanpa Hana sadari, entah berapa lama seorang murid laki-laki yang duduk di sampingnya memperhatikan kesulitan Hana.

Sudah sejak lama SMA Garuda Bangsa menerapkan sistem gabung dua kelas ketika ujian semester dilaksanakan. Dimana dua kelas yang berbeda jurusan dan berbeda tingkat dijadikan satu ruangan, dan duduk bersebelahan sesuai dengan nomor urut ujian. Kebetulan saat itu Hana satu meja dengan seorang murid laki-laki bernama Tobi, murid jurusan IPS, satu tingkat diatasnya.

Dengan inisiatifnya sendiri, Tobi memberikan sebuah bolpoin kepada Hana.

"Nih, pakai punyaku dulu. Aku bawa dua."

Hana hanya melirik kearah bolpoin yang diberikan tanpa menoleh kearah kakak kelasnya tersebut.

"Makasih, Kak."

Mereka berdua sama-sama hening, lanjut mengerjakan soal ujian masing-masing. Bahkan Tobi pun tidak menjawab ucapan terimakasih Hana.

Bukan masalah besar. Tidak sebelum Hana menceritakannya kepada Inung.

"Habis dari mana, Han?" Tanya Inung yang sejak keluar ruangan tidak menemukan Hana di tempat biasanya mereka belajar.

"Nih, habis beli pulpen."

"Beli pulpen lagi? Perasaan baru kemarin kamu bilang habis beli pulpen."

"Makanya, aku juga kesel, masa pulpen baru beli kemarin udah error aja?"

"Terus, kamu tadi ujian pake apaan?"

"Pake pulpen yang aku beli kemarin, tapi baru setengah jalan, eh rewel dia. Terus aku dipinjemin pulpen sama kakak kelas yang duduk di sebelah aku."

"Duh, harusnya kamu jangan beli pulpen baru dulu, pinjem dulu punya dia!"

"Modus banget sih, Nung. Lagian udah aku balikin, malu lah kalau mau pinjem lagi."

"Emangnya tadi dia langsung minjemin kamu, apa kamu yang minta?"

"Aku nggak minta, tiba-tiba aja dia minjemin aku. Ya aku terima, lah."

"Berarti boleh tuh, kamu pinjem lagi."

Hana menghela nafas, ia tidak habis fikir dengan temannya yang satu ini, yang tingkat kehaluannya melebihi batas normal.

Lima menit lagi ujian mata pelajaran kedua akan segera dimulai, para siswa satu persatu mulai bersiap di depan ruangan, termasuk Tobi dan kawannya. Tobi tidak terlihat begitu mencolok, pembawaannya santai juga kalem, tipe pendiam tapi menghanyutkan.

Ketika Tobi berjalan melewati Hana, Inung berdehem dengan sengaja.

"Ekhem."

Inung hanya berdehem saja hati Hana sudah berdebar, takut Inung bertindak lebih frontal lagi.

Dan benar...

"Ciyee, yang dipinjemin pulpen sama kakak kelas. Katanya seneng banget. Ciyee."

Duarrr!

Jantung Hana seperti ingin meledak, matanya terasa panas, dari ujung kaki hingga kepalanya mendadak panas dingin, tangannya berkeringat deras. Hana sangat ingin menghilang saat itu juga.

Perasaan marah, malu, dan tentunya sangat tidak karuan itu Hana tahan, ia hanya mampu terdiam sembari menelan ludah. Dalam hatinya, ia tidak boleh menunjukkan reaksi apapun, ia harus tetap terlihat tenang meskipun sejujurnya Hana merasa sangat tidak nyaman.

Untungnya Tobi tidak menunjukkan reaksi apapun dan pura-pura tidak mendengarnya.

Tiba waktu ujian di mulai, para murid memasuki ruangan dan duduk di tempatnya masing-masing. Begitu pula dengan Hana, ia memasuki ruangan dengan sangat kikuk. Ia terpaksa duduk di samping orang yang sangat ingin ia hindari, saking malunya, Hana sangat ingin menangis.

Hana menjadi sangat tidak fokus, ia harus berusaha ekstra dalam mengerjakan soal ujiannya, ia harus membaca soal itu berulang-ulang kali, serta beberapa kali Hana menjadi ragu dalam mengisi jawaban. Semua yang ia pelajari sewaktu istirahat terbang entah kemana.

Tobi yang duduk tepat di sampingnya pun tidak bergeming, ini kesempatan Hana untuk bersikap senetral mungkin.

Waktu seakan berjalan sangat lambat bagi Hana, ia tidak tahan ingin segera pergi dari tempat itu sekarang juga.

'Ya Tuhan, kapan ini selesai? Pengen pingsan aja rasanya, Tuhan.' Batin Hana, 'untung ini mata pelajaran terakhir, jadi nggak harus ketemu Kak Tobi lagi besok, bisa-bisa aku mati berdiri, malu banget Ya Tuhan.'

Bel pun berbunyi, waktu ujian telah usai. Hati Hana berpacu, seolah ia sedang menghentikan kendaraannya di lampu merah yang beberapa detik kemudian berganti menjadi lampu hijau, ia ingin sekali melesat jauh mendahului kendaraan lain di barisannya.

Namun sekali lagi, Hana harus bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Saat semua orang berebut ingin pulang, Hana menyelinap mengikuti arus secara diam-diam sambil menghindari Inung. Begitulah cara ia sampai di asrama dengan tenang.

***

"Kok udah balik, Han? Sendirian lagi." Sapa Aji.

"Iya, ngantuk." Tanpa perintah, Hana langsung duduk di kursinya, melipat tangannya di meja, dan meletakkan kepalanya disana.

Ruri yang menyaksikan pemandangan tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia tersenyum simpul penuh arti. Diam-diam ia telah menaruh perasaan terhadap Hana.

Diantara mereka berempat, Hana lah yang paling jarang ikut pembicaraan. Selain karena ia memang tipe orang yang tertutup, ia juga lebih sering memilih tidur.

"Heh, jangan tidur! Bentar lagi disuruh bersih-bersih kelas." Aji berusaha mengganggu ketenangan Hana.

"Diem coba, Ji! Kamu tuh berisik banget."

"Dasar tukang tidur."

"Bodoamat, dah."

"Han, coba deh tahan mata kamu, bentar lagi disuruh bersih-bersih, daripada tidur kamu nggak nyenyak terus kebangun, mending melek dulu."

Hana mendiamkan Aji yang terus saja mengoceh, ia paham jika terus diladeni, Aji tidak akan pernah berhenti bicara.

"Han!"

Hana diam.

"Hana!"

Hana masih diam.

"Hanaa!"

"Apa sih, Ya Tuhann. Emosi banget aku lama-lama!" Hana hampir saja kehilangan kendali, mukanya merah padam.

"Udah lah, Ji. Biarin Hana tidur dulu kenapa? Toh masih nanti." Ruri mencoba mendinginkan suasana, ia takut jika Hana benar-benar marah, juga merasa kasihan pada Hana yang seringkali menjadi sasaran kejahilan Aji.

"Ruri, buang aja itu temen kamu ke laut!" Hana kesal.

Ruri membungkam mulut Aji dengan kedua tangannya sebelum Aji sempat berbicara lagi, dan membawanya keluar kelas, menjauh dari Hana.

Hana menjulurkan lidahnya, meledek Aji yang gagal mengusiknya. Ia pun melanjutkan tidurnya yang sempat tertunda dua kali.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!