Keesokan harinya Hana tidak berangkat sekolah karena kejadian sore itu. Ia sempat dibawa ke klinik terdekat dan dilakukan pertolongan pertama.
Lengannya memang hanya cedera ringan, namun Hana dirujuk ke rumah sakit oleh dokter klinik untuk mengantisipasi gejala yang lebih parah.
Lalu perihal waktu itu Hana kesulitan membuka mulut, lebih tepatnya kesulitan bicara, itu semata karena Hana syok, namun perlahan kondisi Hana membaik setelah ditenangkan.
Malam itu juga Hana menghubungi orang tuanya agar menjemputnya di asrama.
[ Telepon berlangsung... ]
Hana: "Halo?"
Ibu: "Halo, Nak. Lagi apa kamu, Han?"
Hana: "Hana lagi nggak ngapa-ngapain, Bu. Ibu lagi apa?"
Ibu: "Ibu lagi nonton TV ini, Han. Tumben telepon, ada apa?"
Hana: "Ayah ada, Bu?"
Ibu: "Ada, mau ngomong sama Ayah? Sebentar ibu panggilin."
Hana: "Iya, Bu."
Ayah: "Halo?"
Hana: "Halo, Ayah."
Ayah: "Kenapa, Han?"
*Hana: "Ayah, Hana minta jemput boleh?"
Ayah: "Kapan?"
Hana: "Besok pagi, Yah."
Ayah: "Emangnya kenapa minta jemput? Emangnya besok libur? Besok kan masih hari Jumat?"
Hana: "Tadi Hana jatuh pas ekstrakurikuler. Terus tangan kiri Hana keseleo. Hana besok ijin nggak masuk sekolah, boleh nggak, Yah?"
Ayah: "..."
Hana: "Ayah?"
Ayah: "Iya, besok pagi Ayah jemput*."
[ Telepon berakhir. ]
Surya Hadi, Ayah Hana, adalah seorang sopir bus antar kota yang sehari-harinya bekerja dikejar setoran. Seingat Hana dulu ketika ia masih kecil, ayahnya merupakan seorang sopir bus lintas provinsi, namun semenjak Hana menginjak Sekolah Dasar, ayahnya beralih ke pekerjaan yang lebih kecil, Hana sendiri pun tidak tahu alasan pastinya sampai sekarang.
Pak Surya merupakan suami dari Rini Pertiwi, Ibu Hana, seorang guru honorer yang gajinya tidak seberapa, dan tidak pula menetap setiap bulannya. Bu Tiwi adalah perempuan favorit dalam hidup Hana.
Setelah telepon ditutup, Hana kembali membuka buku bacaannya. Bukan buku pelajaran, namun novel setebal kamus bahasa Inggris yang belakangan ini sedang sangat digandrunginya.
"Han, perasaan kamu jarang banget belajar, tapi kenapa dari dulu kamu selalu jadi juara kelas? Kalau nggak peringkat satu, ya peringkat dua. Gitu-gitu aja terus."
Hana mengangkat bahu. "Aku juga nggak tahu, Zi."
"Aku masih aja heran dari dulu. Kamu nggak nyontek kan tiap kali ulangan atau ujian?"
"Ya enggak lah. Emangnya kamu?" Hana tertawa kecil, tidak lupa dibumbui dengan sedikit ejekan untuk Zia.
"Idih, iya deh yang nggak pernah nyontek."
"Sebenernya aku tuh pengen nyontek, Zi. Tapi boro-boro nyontek, baru nengok dikit aja udah gemeteran tangan aku."
"Belagu nih ye..."
Hana menutup buku tebal di tangannya, dan beralih membaca komik. Entah sejak kapan Hana begitu menyukai buku fiksi, buku yang tebalnya antara 250 sampai 400 halaman itu bisa Hana habiskan dalam tiga atau empat hari saja. Semenjak ia masuk asrama, waktunya kebanyakan hanya dihabiskan untuk tidur dan membaca buku.
"Lagian tiap kali aku bikin contekan, itu kertas malah diminta sama temen lain. Aku nggak kebagian, lah. Padahal udah niat banget aku nulisnya, udah aku ringkas sesimpel mungkin, terus tulisannya aku buat kecil-kecil banget. Pas banget kan tuh, kalau dijadiin bahan contekan?" Hana nyerocos. "Tapi apalah daya, Tuhan masih melindungi hambanya yang tulus suci ini."
Zia memonyongkan bibirnya mendengarkan penjelasan Hana yang sangat klise namun nyata.
"Tapi kok kamu nggak pernah jadi murid kesayangan guru-guru?" Tanya Zia.
"Nggak perlu deh kayaknya. Buat apa juga?"
"Caper, lah. Apa lagi?"
"Sowwy, nggak dulu kalo caper sama guru. Biarpun kelihatan keren, tapi sowwy sowwy to say, aku nggak minat." Jawab Hana centil.
"Dulu waktu SD aku pernah jadi murid favorit guru, tapi banyak nggak enaknya. Kamu tahu sendiri, kan? Mending nggak jadi apa-apa." Lanjut Hana.
"Mending caper ke cowok satu kelas nggak, sih? Siapa tahu bisa dipacarin. Nah cocok tuh, nanti nyebutnya, cintaku bersemi di putih abu-abu, kayak yang di TV itu..." Dengan semangat Zia menjelaskan.
"Oke!" Hana menjentikkan jari seolah-olah baru saja mendapat ide berlian, "ide bagus!"
Zia menghela nafas, melemaskan badannya yang semula tegak, berakting seolah kehilangan harapan. "Kalo kamu, nggak mungkin sih, Han."
"Kalo caper, mungkin aja iya. Tapi kalo tebar pesona, baru deh nggak mungkin."
"Kenapa, tuh?"
"Apanya yang mau ditebar?" Hana mengarahkan pandangan matanya kearah Zia, memancing Zia untuk melanjutkan kalimatnya barusan.
Mereka berdua menaikkan alisnya bersamaan, dan serentak mereka menyerukan, "pesona aja nggak punya!!"
Dan gurauan mereka pun diiringi gelak tawa bersama.
***
"Hana! Bangun!"
Pagi-pagi sekali Zia sudah ribut membangunkan Hana. Sangat pagi, bahkan matahari pun belum menampakkan diri walaupun langit sudah terang.
Rasanya Hana sangat enggan untuk bangun, menurutnya ini masih terlalu pagi untuk ia membuka mata.
"Bangun, Hana! Ayah kamu udah di depan!"
Seketika nyawa Hana langsung kembali ke raga Hana dengan formasi utuh. Dihempaskannya selimut yang menutupi tubuhnya, dan bangun dengan posisi duduk bersila.
"Serius?!"
"Serius. Coba aja kebawah kalau kamu nggak percaya. Buruan samperin, kasihan kalau sampe nunggu lama."
Dari lantai dua Hana berjalan setengah berlari sambil mengucek matanya yang masih setengah mengantuk, menuju halaman asrama menemui Ayahnya yang sedang menungguinya dari dalam mobil. Terlihat mobil itu bersih terawat meskipun merupakan mobil keluaran lama.
Dari kejauhan Pak Surya melihat Hana berjalan menghampirinya, Ayah Hana kemudian keluar dari mobil jadulnya, menyambut putri sulungnya dengan pelukan hangat.
"Ayah udah lama? Kenapa nggak telepon Hana?"
"Ayah baru saja sampe, ini baru aja mau telepon, tapi Hana udah nyamperin duluan. Hana pasti baru bangun, ya? Masih belekan tuh."
"Masih pagi banget, Yah."
"Ayah kan mau kerja juga."
"Oh iya Hana lupa."
"Mana yang katanya sakit?"
Hana menunjuk lengan kirinya yang dibalut dengan kain perban elastis. "Masih agak susak buat gerak, Yah. Kemarin ke klinik cuma dikasih obat doang sama dibalut kain, abis itu nggak di apa-apain. Katanya suruh ke rumah sakit buat x-ray siapa tahu ada luka di dalem yang nggak kelihatan mata. Soalnya di klinik tempat Hana periksa kemarin kurang lengkap alatnya."
"Ya udah, ayo berangkat. Langsung ke rumah sakit dulu habis itu pulang. Apa mau di asrama aja?"
"Bentar, Yah. Hana belum cuci muka belum sikat gigi."
"Udah, nggak usah cuci muka, kelamaan."
"Enak aja. Bentar doang kok. Handphone Hana juga masih di atas belum Hana bawa." Hana membalikkan badannya yang hendak pergi dari tempat parkir. "Sama ijin Ibu asrama juga, takutnya nyariin."
Pak Surya hanya bisa mengangguk, mengiyakan permintaan Hana tersebut.
Sadar bahwa dirinya sedang ditunggu, Hana pun menyegerakan keperluannya, lalu kembali lagi menemui Ayahnya.
Di dalam mobil yang tengah melaju, mereka berbincang-bincang tentang penyebab Hana terluka.
"Kok bisa tangan Hana dibungkus gitu itu gimana ceritanya?"
"Hmm, Hana jatuh pas ekstrakurikuler, Yah."
"Masa jatuh doang bisa sampe cedera? Emang jatuh gara-gara badminton bisa separah itu?"
Hana tersenyum ragu mendengar pertanyaan Ayahnya.
"Apa jangan-jangan kamu bohongin Ayah?" Pak Surya melanjutkan pertanyaannya yang belum sempat Hana jawab.
"Eng..enggak, Hana nggak bohong kok, Yah. Hana emang ikut badminton."
"Iya Hana ikut badminton, tapi... Hana jatuh pas ikut pencak silat, kan? Bukan gara-gara badminton?"
Hana terkejut.
"Kok Ayah bisa tahu?"
"Tahu lah, apa sih yang Ayah nggak tahu? Kan udah dibilangin berkali-kali, nggak usah ikut silat-silatan lagi, tapi Hana masih tetep aja ngeyel."
"Kan biar keren, Yah."
"Kalau ikut silat cuma buat keren-kerenan doang Ayah makin nggak setuju Hana ikutan."
Hana menunduk lesu.
"Tapi kan kalau apesnya Hana nanti ada apa-apa, kan Hana bisa bela diri. Sama biar badan Hana sehat, kuat. Gitu, Yah."
Pak Surya menggelengkan kepalanya mantap. Sepertinya beliau memang tidak menyetujui adanya tawar-menawar dalam hal ini.
"Hana belum cerita kenapa bisa cedera gitu. Coba jelasin ke Ayah." Pinta Pak Surya pada putrinya.
"Jadi, waktu itu kan... Bla bla bla." Hana menjelaskan panjang lebar persis berdasarkan apa yang ia rasakan, ia menceritakan setiap detailnya secara rinci.
"Kenapa habis dari klinik nggak langsung ke rumah sakit aja? Kenapa harus nunggu Ayah? Kalau sampe parah gara-gara nggak langsung diobatin gimana?"
"Hana mana kepikiran lah, Yah. Lagian pas itu Hana udah ngerasa agak mendingan, jadi Hana pulang ke asrama." Hana menoleh kearah Pak Surya, "sama pengen di sopirin Ayah. Hehe."
Sampai di Rumah Sakit, Hana diberi pengobatan seperti orang cedera pada umumnya. Pergelangan tangannya diberi penyangga tangan, sementara area siku hingga lengan atasnya dibalut kain perban elastis seperti sebelumnya. Kemudian Hana disarankan menggendong tangannya memakai arm sling agar Hana tidak terlalu banyak beraktivitas menggunakan tangan kirinya terlebih dahulu.
Hana selalu menjawab 'nggak apa-apa, cuma sakit sedikit' pada setiap orang yang menanyainya. Padahal kondisinya lebih parah dari yang terlihat, bahkan Hana nyaris tidak bisa menggerakkan tangan kirinya.
Bukannya ingin sok kuat, tapi sejujurnya Hana malu hanya karena jatuh tak seberapa kencang, namun menghasilkan cedera yang begitu parah. Ia lebih takut jika orang-orang mengiranya berbohong, atau melebih-lebihkan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments