Hana baru saja selesai dari kamar mandi, dengan tergesa ia menerobos masuk ke kamarnya. Malam itu Hana sedang sangat bersemangat.
"Zia, denger-denger pas kenaikan kelas nanti bakal banyak anak baru yang masuk asrama. Terus satu kamar yang biasanya diisi dua orang, nanti bakal diisi empat orang."
"Masa sebanyak itu sampe-sampe dipadetin?"
"Beneran, Zi. Barusan pas aku ke kamar mandi aku denger kakak kelas ngomong gitu."
"Tapi kan kakak kelas banyak yang mau lulus juga. Otomatis penghuni lama juga berkurang. Ngapain musti dipadetin?"
"Katanya banyak yang minat di asrama, nggak cuma murid baru aja. Apalagi asrama cuma nerima murid pas kenaikan kelas, jadinya sekali masuk banyak, deh."
"Masa, sih, Han?"
"Iya, Zi. Kamu beneran nggak tahu? Biasanya kamu yang paling tahu berita terbaru."
"Akhir-akhir ini aku lagi sering ngantuk, Han." Zia nyengir.
Hana mengambil sebagian pakaiannya yang tergantung di sisi tembok kamar, menaruhnya di kasur busa tipis berukuran 200×75 sentimeter. Tidak ada dipan di ruangan itu, mereka tidur hanya beralaskan karpet dan kasur mungil yang telah disediakan.
Hana duduk bersila sembari melipat baju-bajunya yang tidak seberapa banyak.
Sunyi memenuhi seluruh isi ruangan, hanya terdengar suara nafas Hana. Sepertinya Zia sudah tidur.
Hana yang merasa dirinya masih penuh energi pun lanjut merapikan pakaian dan buku yang akan digunakan besok.
Setelah lama berselang, lirih isak tangis mulai terdengar, Hana sempat merinding mengira itu suara makhluk halus. Namun saat diperhatikan lagi, suara itu berasal dari seberang tempat tidurnya.
"Kamu nangis?"
Zia bangkit, mengambil sekotak tissu di almari miliknya.
"Kamu kenapa, Zi?"
"Kak Nathan, Han." Tangis Zia meledak. "Kak Nathan kecelakaan. Aku harus gimana? Kasihan dia. Aku nggak bisa bantu dia apa-apa."
"Kak Nathan kecelakaan lagi? Kapan?"
"Ngawur, kamu! Kamu doain Kak Nathan kecelakaan dua kali?" Zia melempari Hana segumpal tissu.
"Lah? Terus?"
"Kecelakaan lusa, sejak dia kecelakaan aku nggak bisa kasih apa-apa ke dia, nggak bisa rawat dia, nggak bisa nemenin dia, Han." Zia terus saja menangis hingga menghabiskan banyak tissu.
"Ya ampun, alay banget, najis! Itu tuh, dia cuma jatuh biasa, motornya nggak kenapa-napa, orangnya juga masih hidup, malahan tadi dia main bola sama anak-anak lain. Dramatis banget hidup kamu, heran." Hana melirik kesal.
"Aku khawatir kalo sampe Kak Nathan kenapa-napa soalnya dari tadi dia nggak bales pesan aku."
"Emangnya kamu mengharap apa? Toh kalian udah jadi mantan, kali aja dia udah punya pacar baru."
"Nggak mungkin, Han. Aku sama Kak Nathan emang udah putus, tapi hubungan kita masih baik-baik aja, kok. Kita putus juga secara baik-baik. Aku sampe bela-belain nyusulin dia ke sekolah ini biar bisa ketemu dia lagi."
"Susah emang ngomong sama bucin akut. Sadar, hei! Tuhan kalian beda! Kalian mungkin bisa deket, tapi kalian nggak mungkin bisa bersatu."
"Mungkin aja!" Zia tetap teguh dengan keinginannya.
Hana memandang Zia dengan muka penuh kepasrahan, ia telah mengulangi kalimat yang sama setiap harinya.
"Iya, deh, iya. Aku bakal nyerah..." Ucap Zia penuh keterpaksaan, "tapi ijinin aku buat menikmati momen-momen aku sama Kak Nathan, seenggaknya sampe dia lulus. Aku janji, deh, nggak bakal ngintilin dia lagi."
"Itu terserah kamu, aku cuma mau ngingetin, kalian berdua sama-sama taat sama Tuhan kalian masing-masing. Tahu, kan, endingnya bakal kaya apa?"
Zia mengangguk.
"Udah, jangan nangisin Kak Nathan terus, dia baik-baik aja, kok. Lihat aja besok, palingan dia udah main bola lagi."
Malam semakin larut. Hana dan Zia tak kunjung menemukan kantuknya.
Hana semakin gencar mengomel seraya memukul-mukul bantal yang dipangkunya ketika Zia tengah asyik menyerocos tentang hubungannya dengan Nathan. Adu mulut tidak hanya sekali dua kali terjadi.
Zia tertawa. "Aku nggak peduli sama itu, sekarang tujuanku bukan itu lagi. Kayak yang aku bilang tadi, setahunan lagi Kak Nathan lulus, aku nggak boleh bertingkah biar waktuku habis secara maksimal. Aku nggak pengen salah satu dari kita ada yang ngejauh sebelum Kak Nathan lulus."
"Nah, itu bener." Hana lega mendengarnya.
"Tapi susah, Han!" Belum sampai kelegaan Hana berakhir, Zia kembali merengek seperti anak kecil.
"Kita masing-masing punya cara untuk menyayangi orang lain," kata Hana. "Mungkin caramu sayang sama Kak Nathan emang kaya gini, ya udah nggak apa-apa. Yang penting kamu tahu dan sadar apa yang jadi pembatas hubungan kamu sama Kak Nathan. Inget ya, Zi. Nggak ada satu pihak pun yang rela kalo kalian sampe ngelewatin batas itu."
Zia menghela nafas. Sesaat mereka terdiam hingga keheningan mulai menguasai kembali.
"Menurut kamu gimana, Han? Tentang orang-orang yang berhasil sama hubungan mereka walaupun beda keyakinan?"
Hana mengerutkan kening mendengar pertanyaan Zia.
"Kalo menurut aku, mereka egois, sih."
"Egois?" Tanya Zia.
"Iya. Mereka egois, udah ngambil hamba dari Tuhannya, rela menjual iman dengan cintanya, dan egois karena rela menyiksa diri waktu ngambil keputusan tersebut." Hana menggeleng, "itu menurut aku doang. Aku nggak tahu gimana persisnya. Mungkin pas aku bilang kayak gini, bisa aja aku yang egois karena berani ngomong hal-hal yang belum pernah aku rasain."
Rongga dada Zia benar-benar terasa sesak. Zia sadar betul yang sedang dihadapinya. Zia memang tidak ingin memaksakan siapapun, termasuk dirinya sendiri supaya terus mencintai Nathan. Namun sebagian hati Zia masih belum rela untuk melepas semua kenyataan.
Zia menatap Hana dan merasakan kembali kehangatan serta kebaikan dari sahabat yang ada di hadapannya. Jika bukan Hana, mungkin Zia tidak akan mengindahkan nasihat-nasihat itu.
"Kamu berkali-kali nasehatin aku tentang hal ini, tapi aku masih terus-terusan ngeyel. Apa kamu nggak bosen?"
"Bosen lah. Kesel malahan. Coba deh bayangin jadi aku. Hampir tiap hari kamu ngomongin hal ini, minta saran sama aku, terus besoknya kamu masih bingung sama perasaan kamu, habis itu curhat lagi ke aku dengan masalah yang sama, tapi kamunya masih nggak mau berubah. Ya jelas aku marah." Hana berhenti sejenak, "tapi aku nggak boleh ninggalin kamu, secapek apapun aku."
Zia terdiam, menatap Hana dalam-dalam. Ia tahu bahwa Hana mempunyai perasaan sayang yang amat sangat kepada Zia. Bukan hanya sebagai sahabat, namun seperti perasaan saudara kandung yang sangat disayangi. Bagaimanapun mereka membutuhkan satu sama lain untuk saling mendengarkan.
Hana menghirup nafas panjang, mereka sadar bahwa mereka adalah dua orang yang berusaha saling mengingatkan meskipun sama bodohnya.
Hana dan Zia tertawa geli mengingat kelakuan mereka yang nampak konyol jika saja dilihat dalam kondisi normal.
"Awas, Zi. Bentar lagi kami tumbuh ekor. Habis nangis terus ketawa."
"Coba tebak, kalo aku tumbuh ekor, aku bakal jadi hewan apa?"
"Mana ada hewan yang mau disamain sama kamu? Pasti mereka ogah."
"Kamu! Kamu hewannya! Aku bakal jadi hewan Hana kalo besok beneran tumbuh ekor!" Cetus Zia.
"Enak aja. Nggak mau aku disamain sama hewan jadi-jadian kayak kamu. Mana cengeng lagi!"
"Aku nggak cengeng, perasaan aku aja yang terlalu tulus, plus hati selembut sutera."
"Selembut sutera, selembut sutera. Eh, marsupilami! Daripada tiap malem kamu uget-uget nangisin Nathan, tapi tetep aja nggak bakal jodoh. Jadi ulat sutera aja sana, biar uget-uget juga ada faedahnya!"
"Jadi biduan aja deh aku. Uget-uget ngehasilin duit."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments