Jam Kosong

Matahari mulai mengibarkan cahayanya, di halaman sekolah, angin terasa seperti selimut es yang memeluk tubuh Hana. Hana menyedekapkan kedua lengan dan mempercepat langkahnya menuju kelas. Ia tidak tahan dengan hawa pagi itu hingga membuatnya bergidik kedinginan. Dan puncaknya, ia tidak mengenakan jaket atau sesuatu yang dapat menghangatkan tubuhnya.

Hana duduk menyandar pada tembok kelas, mejanya kini berpindah tepat didepan meja guru. Semenjak kenaikan kelas beberapa bulan lalu, para siswa berganti tempat duduk dan juga berganti teman sebangku. Karena sudah saling akrab, mereka menjadi relatif santai perihal memilih tempat duduk.

Waktu pertama kali memasuki kelas baru, Hana berangkat paling akhir sehingga hanya tersisa satu meja yang kini ditempati Hana. Namun tidak ia dapati Inung disebelahnya, baik Hana maupun murid lain kini telah berganti pasangan meja.

Tepat di belakang meja Hana ada Inung, belakangnya lagi meja Ruri, sementara Aji berada di meja paling ujung jarak satu meja dengan meja Ruri.

Bel masuk berbunyi.

Seorang guru memasuki ruang kelas dengan terburu-buru, menuliskan beberapa soal dan file video sebagai acuan untuk mengerjakan. Guru itu bernama Pak Bagus, seorang pria muda berusia dua puluhan dengan kehidupan yang nyaris sempurna. Tampan, cerdas, ramah, berwibawa, serta disiplin. Beliau mempunyai public speaking yang bagus, namun sayang hampir tidak ada humor disana.

Biasanya Pak Bagus akan menerangkan materi dengan menggunakan video dari suatu halaman web yang diunduhnya berdasarkan buku yang telah disesuaikan dengan kurikulum. Setelah itu akan dilanjutkan dengan kuis acak, lalu latihan soal. Terlalu ambisius bagi Hana yang sangat mengagungkan zona nyaman.

Namun sepertinya hari itu berbeda, Hana melihatnya sebagai tanda-tanda jam kosong. Kali pertama dalam beberapa bulan terakhir Hana tidak menyaksikan guru mendongeng di depan kelas.

Setelah selesai memberi beberapa pesan, Pak Bagus melesat seolah menghilang begitu saja.

"Han, kerjain ya, nanti aku nyontek punyamu." Inung menggoyang-goyangkan kursi Hana.

"Males banget, Nung. Aku tuh bego soal matematika."

"Halah, masih mendingan kamu biarpun kamu bilang bego, aku nggak bisa ngerjainnya."

"Kalo kamu bisa, berarti kamu mau ngerjain?"

Inung meringis, "enggak juga, sih. Aliasnya aku males."

"Sama-sama males juga. Ya udah, nunggu anak lain ngerjain aja."

"Nungguin anak lain gimana? Anak-anak aja pada ngandelin kamu, Han."

"Percuma banget ngandelin aku. Padahal mereka tahu nilai matematikaku jeblok semua. Nanti kalo nilai kalian jelek baru tahu rasa."

"Nilai mah kita nggak peduli, mau bagus kek, mau jelek. Yang penting selesai. Males banget ngerjain angka ginian kalo nggak terpaksa."

"Kamu pikir kalo aku ngerjain, aku nggak terpaksa?"

Inung tertawa.

"Ya udah. Aku nggak ngerti kalo langsung ngerjain kayak gini. Nungguin Bella selesai, ntar aku minta tolong cara ngerjainnya."

Bella, seorang siswi yang telah menjadi saingan Hana sejak kelas 10, mereka saling berebut mendapatkan posisi pertama di dalam kelas, lebih tepatnya Bella lah yang sangat menginginkan posisi itu. Sejak awal kenaikan kelas 11, Bella resmi menjadi penghuni kamar nomor 27 bersama dengan Hana, Zia, dan juga Novi.

"Bella, udah selesai ngerjain belum?" Tanya Hana.

"Belum, Han. Masih kurang satu soal."

"Ajarin dong, Bel. Aku udah ngerjain beberapa, tapi aku nggak tahu ini sesuai sama contoh apa enggak. Minta tolong ajarin yang belum aku kerjain aja."

"Aku nggak bisa ngejelasinnya, nih kamu lihat aja punyaku."

Hana tampak bimbang, ia menunggu Bella menyelesaikan tulisannya.

Selesai Hana menyalin beberapa jawaban Bella, Hana menyerahkan buku tulisnya kepada Inung, dan kembali membuka lembaran novel tebal yang sejak beberapa hari lalu ia baca.

Suasana kelas menjadi ramai, menurut beberapa guru, kelas Hana adalah murid IPA paling berisik sepanjang sejarah. Umumnya murid IPA memiliki sifat yang sangat kalem dan penurut, namun kali ini hampir tidak ada bedanya dengan murid jurusan lain, bahkan beberapa ada yang di cap sangat bandel. Hana menjadi salah satunya. Ia merasa tidak pernah melakukan kenakalan remaja apapun, bahkan melawan guru pun tidak pernah. Namun karena kebiasaan tidurnya, ia di cap sebagai anak bandel karena dinilai kurang disiplin.

Dari belakang, Ruri berjalan mendekat ke arah Hana. Ia berhenti tepat di meja Inung, tidak sekalipun Ruri duduk di meja Hana.

"Lagi baca apa?" Tanya Ruri.

"Masih yang kemarin."

"Tumben belum selesai? Biasanya udah ganti judul."

"Ini tuh susah aku bacanya, nggak nyampe-nyampe di otak aku. Tapi kalo nggak dilanjut aku penasaran sama jalan ceritanya. Jadi aku lanjut baca biarpun harus aku ulang-ulang biar paham."

"Ooh, gitu." Ruri mengangguk, "coba siniin tangan kamu."

Ruri meraih tangan Hana, lalu menggenggamnya dengan penuh kelembutan.

"Kalo tangan aku kamu pinjem, aku nggak bisa lanjut baca dong?"

"Ya udah, dilanjut nanti aja bacanya."

Gemuruh kepanikan mulai terasa. Hana tidak terlalu nyaman tangannya digenggam berlama-lama, meski oleh seorang Ruri sekalipun. Entah karena sedang berada di ruang publik, atau Hana yang memang tidak terlalu suka.

Hana segera melepaskan tangannya dari genggaman Ruri dengan berpura-pura ingin melanjutkan bacaannya.

"Nanti aku penasaran, tanggung banget baru nyampe setengah bab."

Ruri tersenyum simpul.

"Ri, pinjem handphone." Pinta Inung tiba-tiba.

"Buat apa?"

"Biasa..."

Ruri memberikan handphonenya pada Inung tanpa syarat.

Disini Hana merasa sedikit tersinggung, pasalnya ia tidak pernah sekalipun mencoba meminjam handphone Ruri, atau bahkan sampai berani membuka ruang privasi Ruri seperti yang Inung lakukan. Seperti biasa, Hana merasa kesal, namun tidak tahu harus marah kepada siapa. Apakah pada Ruri yang dengan entengnya memberikan handphone pada Inung? Atau kepada Inung yang tanpa beban meminjam handphone Ruri? Atau Hana harus marah kepada dirinya sendiri karena tidak mampu mengungkapkan ketidak-nyamanannya secara langsung?

Hana merendahkan bukunya di atas pangkuan, ia sibuk menundukkan kepala, membenamkan matanya ke dalam tulisan yang tidak sepenuhnya ia pahami maknanya.

"Hei, kalo posisi kamu kayak gitu, nanti sakit loh lehernya." Ruri memecah keheningan sesaat yang menyelimuti mereka berdua.

"Enggak kok."

"Suka ngeyel kalo dibilangin."

"Orang beneran nggak sakit, soalnya posisi aku berubah-ubah. Lagian aku tiap pegel dikit langsung pindah posisi, nggak yang nunduk terus, miring terus, atau tegap terus." Jawab Hana ketus.

"Iya, deh, iya."

"Tugas yang barusan nggak kamu kumpulin ke ruang guru?"

"Nanti dulu, ada yang belum selesai. Kalo nggak, nanti pas istirahat aku kumpulin."

"Kamu nyontek punya siapa tadi?"

"Enak aja, aku ngerjain sendiri tahu!"

"Padahal tadi aku lihat kamu nyalin jawaban."

Ruri tertawa. "Ngeledek ya. Beneran tadi beberapa aku ngerjain sendiri, tapi sisanya nyalin punya kamu."

Tidak ada jawaban dari mulut Hana. Ia hanya terpaku dengan barisan huruf yang tersusun membentuk sebuah kisah indah.

Ruri memandangi mimik samping Hana yang nampak serius. Seorang gadis yang sulit ditebak. Sebentar ceria, sebentar murung, sebentar kemudian menjadi gadis yang suka mengomel. Namun diamnya adalah hal yang paling Ruri takutkan.

***

Bel istirahat berbunyi.

Seperti biasa Hana menyiapkan diri untuk tidur, mengabaikan ajakan teman-temannya untuk ke kantin atau sekedar duduk santai di luar kelas.

"Ayo, Han, ke kantin." Ajak Ruri.

Hana menggeleng.

"Aku tinggal, ya?"

Ruri meninggalkan Hana tertidur seorang diri, sebenarnya ia tidak tega, namun ia tidak mungkin memaksa Hana bangun, ataupun memaksakan dirinya untuk menemani Hana di ruangan itu.

Sampai saat bel masuk berbunyi, Hana masih diam pada tempatnya.

Ada satu pengumuman kelas kosong lagi.

"Heran, kalo masuk, masuk terus. Sekalinya kosong, mata pelajaran lain ikutan kosong juga." Keluh Inung saat mengetahui guru mata pelajaran tidak hadir.

"Biarin aja kali. Kita juga kan butuh istirahat biar otak fresh." Jawab Aji.

"Kita udah bayar mahal-mahal, sampe sekolah nggak ada gurunya. Gini-gini juga, aku masih mikirin duit orang tua." Lanjut Inung lagi.

"Kalo gitu, harusnya kamu juga rajin belajar, nggak cuma nyalin jawaban kayak tadi. Dasar kocak!" Aji terbahak mendengar jawaban Inung.

"Maksud aku, mending jangan barengan gini jam kosongnya. Misal seminggu sekali, dua minggu sekali, atau nggak sebulan sekali deh kosongnya. Aku tahu jam kosong itu enak, tapi kalo kebanyakan, jadinya bosen juga. Pengen tidur kayak Hana, tapi nggak bisa."

"Kali ini aku setuju sama Inung. Jam kosong kalo terus-terusan jadi ngeselin. Soalnya tugas jadi numpuk, mana banyak pula." Ruri menyambut perkataan Inung dengan semangat.

"Udah, lah. Mau kosong, mau enggak, sekarang kedengerannya sama aja." Timpal Aji.

Melihat Aji yang tengah mengambil jaket di tasnya dan memakainya di hadapan Ruri, seketika Ruri mengamati kearah Hana. Di cuaca sedingin ini, Ruri takut Hana terserang flu jika tidurnya terus dibiarkan tanpa berselimut.

Ruri tidak membawa jaket, sejak pagi ia hanya mengenakan seragam OSIS berbalut jas almamater.

Sejurus kemudian Ruri melepaskan jas almamater dan memberikannya kepada Inung. "Nung, tolong dong. Selimutin Hana."

"Kenapa nggak kamu selimutin sendiri?" Meski sempat protes, Inung tetap melakukan perintah Ruri.

"Ri, sekali-kali kamu ajak si Hana gabung sama kita. Ngobrol apa kek, kayak dulu. Kalo nggak, diem aja udah, yang penting ikutan nimbrung." Keluh Aji tiba-tiba.

"Heh, kamu kalo ngomong hati-hati! Nanti orang yang nggak tahu bisa-bisa salah paham sama ucapan kamu. Nanti dikira Hana yang bermasalah, atau nggak kita yang dikira jahat." Sergah Inung sembari mencubit lengan Aji keras-keras.

"Aku pernah ngomongin hal kayak gini secara baik-baik sama Hana, emang kita nggak bisa maksa dia harus gini harus gitu. Lagian dia cuma tidur, bukannya ngejauh dari kita atau temen-temen lain. Pas dia lagi nggak tidur juga obrolan kita lancar-lancar aja, kan?" Ruri menghela nafas. "Jadi ini cuma perkara Hana yang suka tidur aja."

"Tahu, nih, si Aji. Bilang aja mau cari jalan buat PDKT sama Zia, anak IPS itu."

Ruri tersenyum mendengar jawaban Inung. Dua orang di depannya memang suka bicara sembarangan, tapi mereka tidak benar-benar ingin membuat orang lain terluka.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!