Putih Abu-abu

Ini merupakan hari terakhir Hana menjalani serangkaian repotnya kegiatan MOS. Hana sudah tidak sabar ingin merasakan bagaimana rasanya belajar di bangku SMA. Ia penasaran apakah akan memiliki sistem yang sama seperti saat dia di SMP? Ah, atau mungkin berbeda? Orang bilang masa terindah itu adalah sewaktu SMA, dan Hana sedang berusaha mencari hal itu.

Sebagian orang mempercayai bahwa hari Jumat adalah hari yang pendek, kali ini Hana setuju, pasalnya MOS hari ini berakhir lebih awal dari dua hari sebelumnya yang ia rasa berjalan sangat lama.

"Han, kalo Sabtu Minggu libur, enaknya ngapain ya? Pulang aja yuk?" Celetuk Zia memecah keheningan di kamar yang sejak pulang MOS hanya berisi mereka berdua.

"Males ah, nggak ada yang jemput. Harus ijin pengawas asrama pula."

"Ya tinggal minta jemput apa susahnya? Terus kalo masalah ijin, ya tinggal ijin lah."

"Nggak dulu deh."

"Emangnya kamu nggak kangen rumah? Satu minggu disini berasa satu tahun, aku pengen banget pulang. Aku udah terlalu lama hidup disini. Oh, Tuhan!" Zia berpura-pura sedih, seolah menjadi manusia paling malang di dunia, Zia berdrama, ia terkadang memang suka hiperbola.

"Kangen, sih. Tapi baru satu minggu, peraturan asrama kalau pulang minimal sebulan sekali."

"Oh iya, aku lupa."

Hana menatap Zia yang sibuk mempercantik kukunya dengan manicure set, tipe gadis pecicilan namun masih memperhatikan penampilan. Lain sekali dengan Hana, ia sangat cuek dengan penampilannya.

"Ini serius kita bakalan nggak ngapa-ngapain sampai Minggu?"

"Kan udah aku bilangin, Han. Hmm, kalo aja bisa pulang."

"Ya udah deh, mari kita bermalas-malasan."

Zia sama sekali tidak menyahuti perkataan Hana, ia masih sibuk dengan cat kuku dengan warna hampir senada dengar kuku aslinya. Sesekali ia menggembungkan pipinya, meniup perlahan jemari lentiknya.

***

Hari berlalu, berubah menjadi hari Senin, hari pertama sekolah pun tiba. Ini pertama kalinya Hana mengenakan seragam OSIS namun dengan warna rok dan logo yang berbeda, bukan putih biru lagi melainkan putih abu-abu.

'Wah, aku sudah SMA.' Batinnya.

Setelah upacara selesai, para murid menyebar menuju kelas masing-masing, pun sama halnya dengan Hana.

Suasana kelas 10 IPA menjadi sangat riuh ketika 40 orang murid mengoceh dengan topiknya masing-masing. Selayaknya pertemuan pertama, mereka mencoba akrab satu sama lain, tidak jarang ada juga murid yang hanya sedikit bicara, Hana salah satunya. Dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru, Hana membutuhkan waktu sedikit lebih lama dari kebanyakan orang pada umumnya.

Dari sekian banyak orang, Hana baru mengenal dua nama, Aji dan Inung. Aji yang ia kenal lewat kegabutannya ketika MOS, sementara Hana mengenal Inung karena satu kelompok saat MOS, kebetulan Inung lah yang menjadi ketuanya.

"Hana, kamu udah dapet temen satu bangku?" Tanya Inung.

"Belum."

"Sama aku ya?"

Hana menganggukkan kepala.

"Disana." Inung menunjuk meja di barisan paling depan, dua deret dari kiri.

"Kenapa di depan banget?" Hana sedikit keberatan.

"Mataku kayaknya agak minus. Kalau di belakang nanti nggak kelihatan tulisannya. Apa mau dibelakangnya satu? Itu masih kosong."

"Oh, ya udah di depan aja nggak apa-apa, kok."

"Kamu yakin?"

Hana memindahkan tasnya kearah meja yang dimaksud, "iya, serius."

Tak lama kemudian dari arah pintu masuklah seorang pria dewasa berumur sekitar tigapuluhan yang menenteng sebuah buku bersampul mika, dan sebuah spidol board marker dengan dua warna yang berbeda.

Seketika seisi kelas menjadi sunyi.

"Selamat pagi anak-anak!" Sapa laki-laki tersebut.

"Pagi, Pak!" Jawab para murid serentak.

"Perkenalkan nama saya Agung Permana, saya yang akan jadi wali kelas kalian di 10 IPA ini, juga mengajar mata pelajaran Biologi. Bisa kalian perkenalkan diri satu persatu?"

Sebanyak 40 murid memperkenalkan dirinya masing-masing dari barisan depan sampai belakang tanpa terkecuali. Adatnya di SMA Garuda Bangsa, setiap murid baru diminta berkenalan dengan cara yang sama oleh setiap guru mata pelajaran yang baru pertama kali masuk. Hal ini dimaksudkan agar mereka cepat mengenal satu sama lain.

"Berhubung baru awal sekali masuk, bagaimana kalau kita menetukan ketua kelasnya terlebih dahulu?"

"Setuju, Pak!" Sahut seorang siswa laki-laki yang berada di barisan paling ujung.

"Oke, siapa nama kamu?"

"Aji, Pak. Yunanda Setiaji."

Pak Agung membuka tutup spidol board marker berwarna hitam yang sejak tadi berada ditangannya, menuliskan kata 'CALON KETUA KELAS' di papan tulis putih berukuran 120×240.

Di bawah tulisan tadi, Pak Agung menulis angka satu dan dibubuhi titik di belakangnya, kemudian lanjut menulis nama Aji setelah angka tersebut.

"Loh kok saya, Pak? Saya nggak mau."

"Kan masih calon, berarti masih ada calon yang lain." Pak Agung tersenyum hangat, "ada usulan lagi siapa yang mau dijadikan calon ketua kelas?"

Seluruh murid terdiam dan saling melempar pandang.

"Kalau tidak ada lagi, nanti Aji yang akan jadi satu-satunya calon ketua kelas disini."

"Ruri, Pak!" Sergap Aji secara tiba-tiba, ia tidak rela dirinya menjadi ketua kelas secara terpaksa.

"Ruri mana orangnya? Coba angkat tangan."

Dengan semangat, Aji menunjuk Ruri yang sedang duduk dengan tenang di meja seberangnya. Aji seolah tidak bisa membiarkan orang lain hidup dengan tenang.

"Oke. Dua orang lagi, kali ini yang perempuan."

"Hana, Pak!" Seru Inung yang berada di barisan paling depan, dan duduk tepat di samping Hana.

"Hah?" Hana terkejut saat namanya tiba-tiba saja disebutkan.

"Iya Pak, Hana!" Sambung Aji.

"Wah, Hana ini belum apa-apa sudah banyak yang dukung ya?" Goda Pak Agung.

"Saya minta satu nama lagi!"

Tidak ada jawaban.

"Ya sudah, kalau tidak ada yang menjawab, saya pilih acak dari absensi." Pak Agung memilih-milih nama yang akan dijadikan kandidat dengan nomor urut empat. "Ainun Nawa."

Inung mengangkat tangan. "Panggil saja Inung, Pak."

"Baiklah, Inung." Pak Agung mengambil beberapa potong kertas kecil di mejanya, "saya akan membagikan kertas, nanti kalian tulis nama calonnya disitu ya. Aji, bantu bapak membagikan kertas ini, Nak!"

"Baik, Pak." Dari mejanya di ujung belakang, Aji berjalan mengambil kertas yang Pak Agung maksud, lalu membaginya keseluruh isi kelas.

Para murid menuliskan nama jagoan mereka masing-masing. Pak Agung memperhatikan mereka secara seksama, dilihatnya satu-satu para murid yang masih terlihat lugu itu.

"Sudah selesai, anak-anak?" Tanya Pak Agung.

"Sudah, Pak!"

"Sekarang Ruri coba kumpulkan kertasnya. Lalu Aji, Hana, dan Inung, silahkan berbaris di depan."

Murid dengan nama yang disebutkan Pak Agung segera maju ke depan, berjejer menghadap kearah tempat duduk murid lain. Pak Agung mengajak para murid menghitung perolehan suara dari keempat kandidat.

"Ruri, Aji, Hana, Inung." Pak Agung menyebutkan nama dari perolehan suara tertinggi ke perolehan suara terendah.

Karena Ruri memperoleh suara tertinggi, otomatis ia menjadi ketua kelas 10 IPA, dan Aji yang menduduki posisi kedua menjadi wakilnya. Lalu Hana dipilih menjadi sekretaris, sementara Inung menjadi bendahara kelas. Disinilah awal mula kedekatan mereka berempat.

"Kamu pilih siapa tadi?" Tanya Inung berbisik saat sudah kembali duduk di kursinya.

"Ruri." Jawab Hana.

"Kenapa?"

"Kelihatan kalem aja anaknya."

"Bukannya kalau ketua kelas itu harus pecicilan kaya Aji itu ya?"

"Pecicilan? Maksud kamu aktif?"

"Kalo Aji mah, dibilang aktif aja nggak cukup deh, kayaknya."

"Emang tadi kamu pilih siapa?"

"Pilih kamu lah." Inung terkekeh.

"Ih, kamu mah jahil! Padahal aku nggak pengen jadi apa-apa, eh malah disuruh jadi sekretaris."

"Udah, nggak apa-apa, Han. Coba aja dulu."

"Masalahnya aku tuh dulu pernah jadi sekretaris selama tiga tahun waktu SMP, makanya aku bosen dan nggak pengen jadi apa-apa."

"Oh, gitu ya. Bagus dong malahan, kamu udah nggak bingung lagi sama tugas kamu."

Jam pelajaran yang masih tersisa banyak itu langsung dimanfaatkan Pak Agung untuk diisi materi Biologi, Pak Agung tipe guru yang teliti dan tidak suka membuang waktu, perangainya begitu lembut dan tegas dalam waktu bersamaan. Karena sifatnya yang humble, Pak Agung menjadi cepat akrab dengan anak didiknya di kelas. Tidak hanya murid perempuan, Pak Agung juga pandai mengambil hati para murid laki-laki.

Selang empat puluh menit berlalu, jam pelajaran Pak Agung pun habis.

"Ada yang ingin ditanyakan?" Pak Agung mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas.

"Tidak, Pak."

Merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Pak Agung menutup pertemuan mereka hari itu. "Kalau tidak ada, materi hari ini saya cukupkan. Oh iya, setelah ini ketua kelas ikut saya ke kantor, guru yang mengampu mata pelajaran selanjutnya akan terlambat hadir."

Ruri membuntut di belakang Pak Agung, dan saat Ruri kembali ke dalam kelas, ia sudah membawa buku yang akan dipelajari setelahnya, buku itu hampir sama tebal seperti halnya buku yang dibawa Pak Agung beberapa saat lalu.

Ruri berjalan kearah meja Hana, meletakkan buku dengan tulisan Matematika terpanjang di sampulnya.

"Kamu sekretaris, kan? Disuruh nulis ini dulu di papan tulis, biar nanti pas gurunya udah dateng, beliau cuma tinggal ngejelasin aja."

Secara bergantian, Hana memandang sekilas kearah Ruri, lalu berpindah kearah buku yang bertengger di mejanya, kemudian ia menangguk mengiyakan komando dari sang ketua kelas.

Tanpa berlama-lama, Hana beranjak dadi duduknya menuju papan tulis. Karena sudah terbiasa menjadi sekretaris kelas, ia pun langsung mengerti apa yang akan di tulisnya. Beberapa materi di buku itu sudah ditandai, itulah yang akan Hana tulis.

Hana perlahan mulai menulis materi, kata demi kata, rumus demi rumus tidak terlewat satu pun. Tulisan tangan Hana begitu rapi bak cetakan komputer, bahkan lebih rapi lagi ketika ia menulis di buku tulisnya sendiri.

Alasan dari mengapa tulisannya sebegitu rapi ialah salah satu guru SMP-nya dahulu, guru itu pernah mengatakan kepada muridnya sewaktu di kelas, "jadi orang itu harus cantik, harus ganteng. Kalau nggak bisa, minimal tulisan kalian harus dibuat rapi dan secakep mungkin. Jadi ada hal yang bisa dibanggakan."

Hana tidak begitu yakin itu merupakan kalimat motivasi atau hanyalah olokan belaka, menurut Hana semuanya terdengar sama saja. Entah mengapa hatinya begitu sakit mendengar hal tersebut, walaupun ia tahu kalimat itu ditujukan bukan hanya untuk dirinya. Kala itu Hana sedang berada di masa puber-pubernya, wajahnya yang semula mulus perlahan muncul jerawat, kulitnya menjadi lebih kusam dan gelap dari sebelumnya. Rasa insecure memenuhi dirinya kala itu.

Sudah berbagai cara Hana lakukan untuk memperbaiki penampilan, namun hasilnya tetap tidak jauh berubah. Ia merasa putus asa, dan sejak itulah ia mulai memperbaiki tulisan tangannya agar 'cakep' seperti kata guru SMP-nya.

Beberapa saat kemudian, papan tulis sudah dipenuhi oleh tulisan Hana. Ia menutup spidol kemudian meletakkannya di ujung papan tulis, lalu Hana menaruh buku yang berisi materi di atas meja guru. Ia kembali ke tempat duduknya.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!