Pagi-pagi Hana sudah di pusingkan oleh Zia yang baru saja selesai mandi. Padahal hanya bersiap untuk kegiatan organisasi, tapi Zia memilih baju seperti hendak mengadakan pertemuan khusus dengan pejabat tinggi, semua baju dikeluarkan dan dicoba satu persatu.
"Kegiatan OSIS lagi?" Tanya Hana pada Zia yang tengah sibuk memilih baju.
"Iya, daripada nggak ada kerjaan di asrama, harusnya dulu kamu ikut OSIS, Han. Biar Sabtu Minggu nggak gabut kayak gini, terus bonus bisa dapet waktu berduaan sama Ruri." Ucap Zia sambil mengerling jenaka.
"Dulu mana kepikiran aku bakal pacaran sama Ruri."
"Pas kenaikan kelas dua nggak kepikiran?"
"Mager."
"Dasar tukang mager."
Hana menarik kembali selimutnya, ia ingin bermalas-malasan seharian. Hari itu ia berencana untuk mengisi kekosongannya dengan membaca novel, menyetel musik, atau bermain game. Atau mungkin menonton film bukan ide yang buruk.
"Han, kayaknya kamu harus tahu sesuatu, deh." Ucap Zia.
"Curiga kalo kamu udah ngomong serius. Apa?"
"Selama ini aku udah coba ngawasin Ruri kayak yang kamu bilang, dan nggak pernah ada yang aneh. Pertemanannya juga biasa aja kayak temen satu organisasi pada umumnya. Tapi, ada satu anak baru yang bikin aku agak risih. Namanya Farah."
"Kenapa? Dia godain Ruri?"
Zia mengangguk sangat yakin. "Masa dia berani ngedeketin semua orang? Maksudnya, emang bener dia friendly banget sama siapa aja, pinter ambil hati semua orang mau cewek ataupun cowok. Tapi yang aku lihat, bukannya friendly tapi malah kayak caper gitu anaknya."
"Terus bagian dia ngegodain Rurinya dimana?"
"Nah, ini. Dia gatel banget kalo sama cowok. Tadinya mau ngedeketin anak lain, tapi si cowok itu langsung pasang tameng. Akhirnya nempel terus sama Ruri, soalnya Ruri siapa aja dia temenin."
Hana mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Zia, ia hampir kesal dengan kalimat terakhir. Ruri memang pribadi yang baik, tapi untuk beberapa hal, Hana merasa Ruri terlalu berlebihan dalam melakukan kebaikannya.
"Aku udah coba tegur beberapa kali, tapi masih tetep aja itu anak. Ngakunya sih, adeknya Ruri."
"Adeknya? Tapi kayaknya Ruri nggak pernah cerita punya adek yang kayak gitu. Apa mungkin sepupu? Kalo nggak sodara jauh." Hana menerka-nerka, "kalo emang iya, aku nggak bisa ngelarang ini-itu sama Ruri."
"Aku cuma tahu sebatas dia ngaku adeknya Ruri aja, si Ruri juga nggak nunjukin reaksi apa-apa. Nggak ngiyain, tapi nggak nyanggah juga."
"Ya udah, kamu awasin aja dulu. Lihat gimana nanti, aku bingung."
Zia melakukan gestur hormat pada Hana, lalu pergi meninggalkan Hana yang masih berantakan tampilannya.
Selimut yang menempel pada tubuhnya, muka bantal, dan rambutnya yang belum menyentuh sisir rambut sama sekali. Sepertinya Hana memang berniat untuk tidak melakukan apapun hari ini.
Novi pergi, Zia pun sama. Kamar yang dihuni tiga orang tersebut akan dikuasai oleh Hana selama beberapa jam kedepan.
***
"Emang masih harus ikut OSIS ya? Ini kan tahun terakhir kita di SMA, banyak persiapan yang harus kita kerjain sebelum ujian." Hana melayangkan protes pada Ruri yang hendak pergi ke luar kelas. "Kamu juga ketua kelas, tapi jarang ada di kelas. Satu kelas yang ikutan OSIS juga cuma kamu."
"Kasihan anak baru kalo suruh nanganin semua. Nanti ada masanya aku berhenti juga, kok. Tapi untuk sekarang aku masih harus ikut."
"Lagian apa sih yang dilakuin sampe harus ngambil jam pelajaran? Emang nggak cukup tiap pulang sekolah kumpul, terus Sabtu Minggu juga dua hari penuh, masa masih kurang? Siapa sih, yang suruh? Sini biar aku yang protes sama dia!" Omelan Hana sudah hampir menyaingi Inung.
"Posesif amat jadi cewek. Cowok juga punya dunianya sendiri tahu." Ucap Aji membela Ruri.
"Kamu pikir yang punya dunia sendiri cuma cowok doang? Cewek juga punya, tapi cewek bisa ngatur waktu, kapan harus begini, kapan nggak boleh begitu. Gitu aja masa nggak ngerti?" Inung menimpali ucapan Aji.
"Maaf ya, Han. Aku harus cabut dulu." Tanpa menunggu persetujuan, Ruri buru-buru keluar dari kelas.
"Nung, emang Ruri punya saudara yang sekolah disini?" Tanya Hana penasaran.
"Saudara? Kayaknya enggak deh. Apa aku yang nggak tahu? Ruri nggak pernah cerita selain kakak atau adik kandungnya. Aku cuma tahu yang biasa kita denger dari Ruri aja. Emangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa."
Pikiran Hana kemana-mana, ia sudah terlanjur ragu bahwa seorang gadis bernama Farah itu bukan adik sesungguhnya. Meskipun begitu, Hana masih belum bisa langsung menyimpulkan karena tidak ada bukti maupun orang yang bisa ia tanyai mengenai hal ini. Ia takut akan mempermalukan dirinya sendiri andai semua kecurigaannya salah.
Hana belum tahu informasi lebih lanjut dari orang tersebut, bahkan Zia pun belum sempat memberitahu wajahnya.
"Han, kalo Bella berapa bersaudara?" Tanya Aji setelah mendengar percakapan singkat antara Hana dan inung.
"Kayaknya dia punya dua adek masih kecil, yang satu masih SD, satunya lagi belum sekolah. Waktu itu pernah ke asrama waktu Bella ulang tahun."
Aji tertarik dengan jawaban Hana.
"Namanya siapa? Kamu tahu nggak?"
"Mana aku tahu. Aku kasih tahu jawaban yang barusan aja harusnya kamu berterimakasih sama aku."
"Biasanya kalo ada adek temen, cewek tuh suka basa-basi tanya namanya siapa, sekolah kelas berapa, yang kayak gitu-gitu deh."
"Mana sempet, Ji. Ketemu juga sekilas, di asrama juga jarang ngobrol soalnya beda kamar. Kamar dia jauh, ujung sama ujung." Hana tidak menjelaskan konflik yang sebenarnya sedang terjadi.
"Yah, Hana. Besok-besok tanyain dong."
"Iya, kapan-kapan. Tapi nggak janji, soalnya aku pelupa." Hana mencari alasan yang logis untuk menghindar dari desakan Aji.
"Kamu sendiri aja yang tanya, sekalian PDKT." Kata Inung.
"Canggung lah, masa tiba-tiba tanya itu."
"Bukannya kamu pinter basa-basi ya? Masa seorang Aji bisa mati gaya?" Sindir Hana.
"Semua bisa aku ajak ngomong, kecuali cewek yang aku suka."
"Pinter banget kalo ngebohong. Padahal sering ngehampirin meja Bella cuma buat ngomongin hal nggak penting."
Ucapan Hana tersebut memancing tawa Aji. Bersamaan dengan itu, tangan Aji sibuk mencari kunci gitar dari beberapa lagu yang ingin ia mainkan.
Di tengah-tengah Aji memainkan gitarnya, tiba-tiba Hana menguap.
"Kalo kamu ngantuk tidur aja, Han. Nggak usah dipaksain melek cuma buat denger betapa kerennya genjrengan gitar dari Aji sang maestro ini."
"Aku kalo tidur ya tinggal tidur aja, ngapain harus dengerin kamu main gitar dulu. Dikira aku nggak punya kesibukan lain, apa? ... Tapi emang nggak punya, sih."
"Habis SMA, kamu mau lanjutin dimana, Han?"
"Nggak tahu, Nung. Tapi kalo ada kesempatan, aku pengen lanjut kuliah bahasa."
"Kamu jungkir balik jadi anak jurusan IPA, pas lulus pengen kuliah jurusan bahasa? Apa nggak salah?"
"Itu opsi ke dua seandainya aku nggak lolos di jurusan kesehatan."
"Emangnya di kesehatan kamu mau ambil apa nanti?"
"Aku nggak paham soal perkuliahan, tapi di kesehatan biasanya ada bidan, perawat, farmasi, kedokteran. Aku pengen masuk salah satu dari itu. Tapi aku sadar diri, aku bego di matematika. Jadi aku berbesar hati dulu buat mikirin rencana cadangan, soalnya aku lumayan oke di bahasa. Kamu sendiri, Nung?"
"Nggak tahu, aku kayaknya nggak pengen lanjut."
"Hah, kenapa?"
Inung menjelaskan rinci mengenai rencana studinya yang tertunda. Hana mengangguk, memahami kalimat demi kalimat yang Inung lontarkan, sesekali Aji yang juga ikut melayangkan isi kepalanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments