Sepulangnya Hana dari Rumah Sakit, Pak Surya langsung memarkirkan mobil tuanya, dan segera melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sementara Hana langsung menuju kamarnya untuk segera beristirahat.
Hana merebahkan tubuhnya di tempat tidur kesayangannya, dengan tubuh terlentang, ia menikmati rasa nyeri yang menguasai tangan kiri Hana, sebisa mungkin ia menahan rasa sakit itu walaupun sebenarnya ia sangat ingin berteriak.
Hingga akhirnya Hana tertidur dengan air mata yang mengering di pelipisnya.
Pukul 11.00 Hana terbangun dari tidur, menyapu pandangan ke sekeliling kamarnya yang tidak begitu luas. Hanya berisi tempat tidur yang sekarang sedang ia duduki, almari tua peninggalan kakeknya, dan sebuah meja kecil yang digunakan untuk menaruh barang-barang kecil milik Hana. Tidak ada yang istimewa.
Suasana di rumah sangat sunyi, hanya ada dirinya kala itu, Ayah dan Ibunya pergi bekerja, sementara adik laki-laki Hana yang bernama Indra pun sedang bersekolah. Indra merupakan adik Hana satu-satunya yang kini tengah duduk di bangku SMP kelas dua, hanya terpaut dua tahun dengan Hana.
Hana turun dari tempat tidurnya, berjalan menuju jendela kamarnya yang menghadap kearah samping rumah. Ia tidak tahu harus melakukan apa, lama sekali ia melamun sembari melihat kearah luar.
"Han, kok lo dirumah lagi?"
Suara Indra dari seberang pintu menyadarkan Hana dari lamunannya. Indra menanyakan hal itu karena baru lima hari yang lalu Hana pulang ke rumah saat liburan.
Hana menoleh, "lihat nih tangan gue."
"Kenapa tangan lo? Habis dihajar masa?"
"Sembarangan!"
"Sakit nggak?"
"Sakit, lah." Seru Hana, "ambilin makan dong, Ndra. Laper banget gue."
"Ambil aja sendiri. Punya kaki, kan? Gue sibuk, habis ini gue mau langsung cabut." Indra lari menuju kamarnya yang berada tepat di samping kamar Hana.
"Ya elah, bocah kelas dua SMP sibuk ngapain coba?" Hana kesal, lalu berjalan sendiri menuju meja makan.
Sampai di meja makan, Hana membuka tudung saji dan menemukan sop ceker ayam di sebuah mangkok besar. Ia tersenyum, rupanya Bu Tiwi tidak pernah lupa makanan kesukaannya meskipun beliau sangat jarang memasak sop ceker ayam.
Hana menyiapkan makanannya, dan mulai menyuapkan ke mulut sampai habis satu piring penuh.
***
Malam itu Hana, Indra, dan Bu Tiwi sedang asyik menonton televisi, mereka mengambil alih remote untuk mengubah acara yang ingin mereka tonton secara bergantian, ketika iklan lewat, Hana dan Indra berlomba mengganti channel dengan acara kesukaan masing-masing.
"Kali ini giliran gue!" Hana mengubah channelnya dengan serial remaja yang sedang booming kala itu. Namun sayang ketika Hana menggantinya, ia selalu saja mendapat iklan, hingga mau tidak mau Hana harus mengalah beberapa kali.
"Lihat tuh, iklan! Udah paling bener nonton anime aja." Indra merebut remote dari tangan Hana.
"Nggak adil banget! Tontonan lo nggak ada iklannya!"
Disisi lain, Pak Surya yang baru saja pulang kerja biasanya langsung membersihkan diri, lanjut menyantap makan malam dan bersantai menikmati rokoknya, baru kemudian bergabung di ruang televisi ketika beliau ingin.
Tidak ada agenda makan malam bersama di keluarga Hana, kecuali pada saat-saat tertentu saja, atau jika memang mereka benar-benar menyempatkan.
"Bu, Ibu!" Panggil Pak Surya pada Bu Tiwi, Ibu Hana.
Ibu Hana beranjak dari duduknya menuju meja makan tempat Ayah Hana memanggil.
"Kenapa sih, Yah, harus teriak-teriak? Malu kalo sampe kedengeran tetangga!"
"Teriak-teriak gimana? Ayah biasa aja, Ibu aja yang sukanya berlebihan! Lagian siapa juga yang mau repot-repot ikut campur urusan dapur orang?"
"Berlebihan apanya? Kan bisa panggil Ibu pake suara pelan, nggak perlu keras-keras, Ibu nggak tuli!"
"Yang bilang Ibu tuli itu siapa? Nggak ada! Lagian orang baru pulang kerja capek-capek, bukannya dilayanin, malah ngajak ribut. Apa nggak malu sama anak-anak?"
Ibu Hana terdiam.
"Kalo nggak mau layanin Ayah juga nggak apa-apa, bilang aja, Ayah bisa sendiri kalau cuma urusan makan. Yang penting ngerti situasi kalo ada orang capek habis pulang kerja, bisa nggak sih?" Lanjut Ayah Hana dengan nada yang semakin tinggi.
"Masalah kaya gitu aja diperbesar! Semua orang juga capek!"
Brakk!
Ayah Hana menghentakkan mangkok besar berisi sayur sop di atas meja yang hanya tersisa kuah dan beberapa potong wortel saja. Sepertinya penyebab Ayah Hana tersinggung bermula dari hal itu.
Mendengar pertengkaran orang tuanya, Indra beralih dari ruang televisi menuju ke kamarnya dengan muka lesu tanpa sepatah kata pun. Seolah ia telah terbiasa dengan hal itu.
Namun berbeda dengan Hana, ia merasa sangat asing dengan situasi ini, ia takut, bingung, dan cemas bercampur menjadi satu. Perlahan ia mengikuti kemana adiknya pergi.
Hana memegang gagang pintu kamar Indra, ia bimbang, haruskah ia menghampiri dan menenangkan perasaan adiknya? Atau membiarkan Indra tenang dengan sendirinya, mungkin saja Indra sedang tidak ingin diganggu.
Lama Hana berdiri mematung dengan tangan yang masih menempel di gagang pintu.
'tapi kan Indra nggak punya teman cerita.' Pikiran itu tiba-tiba terbesit di benak Hana.
Baiklah, Hana tidak ingin membiarkan adiknya merasa sendirian. Seketika tangan Hana secara otomatis membuka pintu, rupanya tidak dikunci.
Nampak Indra sedang duduk di tepi tempat tidur dengan posisi badan membungkuk sambil membiarkan air matanya jatuh tanpa perlawanan.
Hana menutup pintu kamar sepelan mungkin agar tidak mengusik Indra. Selangkah demi selangkah mendekati Indra, lalu duduk tepat di samping Indra. Dengan ragu, Hana mengusap punggung Indra.
Hana merasa sangat canggung, ia tidak pernah bersikap sehangat ini pada Indra, karena sejak kecil hampir setiap waktu hanya mereka habiskan untuk bertengkar, ditambah lagi Hana tidak pandai menunjukkan perasaannya.
Lama mereka berada dalam situasi itu tanpa sepatah kata pun.
Setelah tangisnya mereda, Indra mengangkat wajah sembabnya, mengusap pipi basahnya. Berusaha melupakan hal yang membuatnya bersedih.
Hana mengusap air mata yang tersisa di pipi Indra. Sedetik kemudian Indra berpaling kearah Hana dengan bibir yang kembali bergetar. Jiwa anak kecil dalam diri Indra tiba-tiba muncul, dipeluknya Hana erat-erat dan menangis sejadi-jadinya.
Hana yang merasa dijadikan tumpuan adiknya berusaha sekuat mungkin untuk tegar, meski bulir bening dari matanya ikut menetes.
"Nggak apa-apa, Ndra. Lo nggak sendirian, masih ada gue."
"Tiap hari mereka begitu, Han. Gue nggak tahan."
"Jangan benci mereka ya, Ndra. Mungkin sebenernya mereka juga nggak mau kayak gitu."
"Gue bingung, Han. Gue takut, gue sakit hati, gue pengen marah, tapi gue nggak tahu harus marah sama siapa."
"Nggak apa-apa. Nggak apa-apa." Kalimat tersebut Hana ucapkan berulang hingga terdengar seperti mantra penenang bagi Indra.
Tanpa lelah Hana terus mengusap punggung Indra, menenangkannya dalam peluk. Ternyata Indra masih sangat cengeng, sama seperti Indra sebelum masuk SMP.
Indra melepas pelukannya pada Hana, tidak ada lagi air mata yang bersarang di mata Indra. Ia memandangi tangan Hana yang dibalut perban dan digendong menggunakan arm sling dengan penuh penghayatan.
Hana menyadari hal tersebut, agak dijauhkannya tangan kiri Hana dari pandangan Indra.
"Jangan sok kasihan, gue nggak kenapa-kenapa."
"Gue cuma ngelamun bentar." Indra menyangkal.
Indra yang lelah dengan tangisnya segera naik ke tempat tidur, dan bersembunyi dibalik hangatnya selimut.
Hana lega, bebannya seperti berkurang satu. Kini ia harus menghadapi emosinya sendiri yang sejak tadi ia pendam. Dirasa Indra sudah tidak lagi memerlukannya, Hana beranjak dari kamar Indra menuju ke kamarnya sendiri.
Hana menangis dengan suara yang tertahan hingga meninggalkan jejak nafas yang tidak beraturan. Ia tidak tahu harus berbuat apa, ia tidak pernah membayangkan hal seperti ini akan terjadi padanya.
Lama sekali Hana menangis hingga lelah dan tertidur dengan sendirinya.
***
Keesokan paginya, Hari Sabtu. Hanya Hana yang libur dari kesibukannya. Ibu dan Indra pergi ke sekolah, sementara Ayah sudah berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar setoran.
"Han, gue berangkat dulu." Darinluar pintu, Indra pamit pada Hana yang masih tertidur, yang sebelumnya hal itu tidak pernah Indra lakukan.
"Kakakmu mana? Ayo bangungin dulu buat sarapan, dia harus minum obat juga, kan?" Terdengar suara Bu Tiwi menyusul Indra di kamarnya.
"Jangan Bu, kasihan tangannya masih sakit. Tadi Indra juga udah bawain sarapan kok. Nanti biar bangun sendiri. Ayo berangkat, takut nanti telat."
Bu Tiwi mengiyakan permintaan anak laki-lakinya, tidak salah jika Indra bilang takut terlambat, karena waktu memang menunjukkan kalau mereka harus bergegas pergi.
Bu Tiwi menyempatkan masuk ke kamar Hana hanya untuk sekedar mengecek keadaan Hana, lalu mencium kepala anak perempuannya yang tengah tertidur, sebelum akhirnya Bu Tiwi dan indra pergi.
Hana mendengar percakapan tadi, namun ia pura-pura tertidur setelah mendengar ucapan Indra. Ia tidak menyangka bila diam-diam adiknya sangat memperhatikannya.
Pada awalnya ia khawatir jika harus keluar menemui orang rumah dengan mata yang sangat bengkak, Hana tidak tahu ingin beralasan apa, ia hanya tidak ingin membuat suasana menjadi bertambah canggung.
Setelah rumah sepi, barulah Hana bangun.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments