Ujian Akhir Semester satu telah usai, liburan semester pun telah terlewati. Hana kembali ke asrama dengan perasaan berat. Dirinya belum rela liburan singkat ini berakhir.
"Gimana liburan kamu di rumah?" Tanya Zia, memecah keheningan malam itu.
"Ya, gitu-gitu aja sih. Nggak ada yang spesial."
"Masa nggak ada kegiatan apa-apa? Jalan-jalan kek, kemana gitu."
"Nggak ada. Beneran."
"Terus di rumah ngapain?"
"Ya, biasa lah. Nyapu, ngepel, cuci piring. Beneran nggak ada kegiatan apapun selain itu. Kan yang suka bikin acara kamu, kamu nggak ikut pulang ya aku harus ngapain."
Zia tergelak. "Ya Tuhan gabut banget hidup kamu, Han."
"Makanya."
Hana dan Zia sudah bersahabat sejak lama, lebih tepatnya sejak mereka masih balita, rumah mereka hanya berjarak beberapa rumah saja. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh mereka berdua, namun jika salah satu tidak hadir, tidak akan ada aktivitas terjadi.
Dahulu ketika mereka masih anak-anak, saat hendak bermain namun salah satu dari mereka tidur siang, maka yang satunya mengurungkan diri untuk bermain, dan kembali ke rumahnya.
Saat SMP pun ketika memilih ekstrakurikuler, mereka akan mengikuti kegiatan yang sama. Mereka saling bergantung satu sama lain.
"Han, tahu nggak?"
"Apa?"
"Selama pelatihan OSIS kemarin si Ruri nanyain kamu terus. Dikit-dikit Hana, apa-apa Hana."
"Masa sih, Zi? Emangnya Ruri bilang apa?"
"Ya gitu deh pokoknya. Sebenernya Ruri nyuruh aku buat nggak bilang-bilang ke kamu," Zia tertawa kecil, "tapi aku keceplosan."
"Kayak ada gila-gilanya kamu, Zi."
"Beneran, Han. Kayaknya Ruri suka deh sama kamu."
"Nggak usah ngarang deh. Mereka kayak gitu udah biasa kali, Zi. Kita berempat emang suka saling nanyain."
"Yee, kamu mah kelamaan bergaul sama Inung, sih. Jadi susah percaya lagi sama aku."
"Hmm gimana ya, Zi. Ada untungnya juga, aku jadi lebih hati-hati aja sama ucapan orang-orang, sama ucapan aku sendiri juga."
"Hati-hati apaan, yang ada kamu malah jadi parnoan, nggak percaya diri lagi."
"Bukannya dari dulu udah nggak pedean ya?" Hana pasrah jika itu menyangkut rasa percaya diri.
Jika keribadian mereka diibaratkan sebagai sebelas duabelas, Hana adalah sebelas, Zia duabelas, lebih unggul satu tingkat diatasnya. Sifat mereka berdua memang hampir mirip, hanya tingkat kepercayaan dirinya saja yang berbeda jauh.
Bahkan sampai tipe laki-laki yang ingin mereka jadikan pasangan pun hampir mirip. Pernah suatu kali mereka menyukai satu orang yang sama, namun pada akhirnya tidak satupun dari mereka berdua yang berakhir dalam suatu hubungan dengan laki-laki tersebut, baik Hana maupun Zia lebih memilih melepas dan tidak berhubungan lagi dengan laki-laki itu.
Banyak sekali kemiripan diantara mereka berdua yang terjadi secara tidak sengaja. Atau sengaja, namun mereka tidak menyadarinya karena sudah lama bersama?
***
Sejak pagi hujan turun sangat deras, atmosfer kelas menjadi sangat dingin. Seharusnya ada mata pelajaran olahraga pada jam pertama, namun karena cuaca hari itu tidak memungkinkan, guru hanya memberi tugas tertulis dan menghimbau para murid agar tertib di dalam kelas. Jam kosong, begitulah para murid menamainya.
Beruntungnya hari itu hari kamis, meskipun tidak dilaksanakan olahraga fisik di luar ruangan, baju olahraga Hana masih tetap berguna untuk digunakan nanti sewaktu ekstrakurikuler bela diri.
Semakin hari semakin jarang Hana ikut nimbrung percakapan dengan Inung, Aji, Ruri, dan beberapa teman lain. Hana merasa tidak tertarik dengan topik pembicaraan yang itu-itu saja.
Ada kalanya Hana tidak memahami apa yang mereka katakan, meskipun berulang kali Hana meminta penjelasan, mereka terkadang tidak memberi tahu Hana apa maksud dari pembicaraan tersebut dengan alasan Hana tidak mengenal orangnya, tidak tahu tempatnya, atau hanya sekedar berbeda logat dan cara bicara saja.
Sebenarnya keadaan aslinya tidak seburuk itu, bahkan itu semua hanya candaan. Hana bisa saja mengakalinya sehingga candaan basi itu tidak terdengar menyebalkan maupun menyakitkan, tapi ya dasar Hana, ia lebih memilih tidur.
Perasaan Hana yang sedikit sensitif terkadang membuatnya menyerah saja daripada moodnya terganggu. Ia takut membuat temannya tidak nyaman karena sifat buruknya yang satu ini. Jika sudah seperti itu, ia selalu mengalihkan perhatiannya dengan cara tidur di kelas.
Selama dua jam pelajaran yang Hana lakukan hanyalah tidur di mejanya, sesekali ia bangun hanya untuk pindah posisi, lalu kemudian tidur lagi. Entah beberapa kali juga Hana terbangun karena merasa kebas dan kesemutan pada tangan. Selama belum ada sesuatu yang bisa dikerjakannya, Hana akan terus melanjutkan tidur.
Untungnya tidak ngiler.
Jam pelajaran olahraga telah usai, suasana kelas mendadak berubah ketika seorang guru memasuki ruangan.
Entah bagaimana caranya Hana terbangun secara otomatis, seolah ia memiliki alarm sendiri di dalam tubuhnya.
"Selamat pagi, anak-anak." Sapa Pak Agung.
"Pagi, Pak!"
"Selamat pagi, Hana." Goda Pak Agung melihat Hana yang masih berjuang keras mengumpulkan nyawa. "Mimpinya sampai mana?"
Seluruh kelas tertawa.
"Tapi Hana ini keren lho, bapak salut, tapi sekaligus heran. Padahal di kelas dia kelihatannya cuma tidur, tapi tahu-tahu peringkat satu."
Hana saat itu bingung harus bereaksi bagaimana, ia sangat malu ketika menjadi pusat perhatian.
"Mungkin Hana belajarnya lewat mimpi, Pak." Aji memberikan penjelasan tanpa diminta.
"Betul, Han?" Pak Agung masih berusaha menggoda Hana--menggoda dalam artian bercanda.
"Iya, Pak Agung. Bentar lagi namanya mau ganti jadi Hana Astuti." Inung ikut bergabung dalam candaan itu.
"Hana Astuti?" Pak Agung bertanya-tanya, kerutan di dahinya terlihat begitu menjelaskan bahwa beliau sangat ingin tahu.
"Hana Astuti, asli tukang tidur!"
Tawa satu kelas meledak karena istilah yang diberikan Inung.
Hana masih tidak tahu ingin bereaksi seperti apa. Apakah ia harus kesal? Ia rasa itu bukan hal yang pantas untuk membuatnya marah. Atau ikut tertawa saja? Namun Hana tidak bisa melihat letak kelucuannya dimana.
***
Langit sudah terang, namun lapangan masih basah oleh air hujan sejak pagi, tidak jarang terdapat beberapa genangan air pada tanah yang tidak ditumbuhi rumput. Hujan baru berhenti saat istirahat kedua usai.
Hana bersiap mengikuti ekstrakurikuler pencak silat sore itu.
Saat masih duduk di bangku SMP, Hana dan Zia juga mengikuti kegiatan bela diri yang sama sehingga tidak begitu asing ketika mereka mengikutinya saat ini.
Setelah mengganti pakaiannya menjadi baju olahraga, Hana menyusul Zia yang sudah mulai melakukan pemanasan di lapangan berumput bersama beberapa orang disana.
Mereka dibimbing oleh dua orang pelatih dan satu orang asisten yang tak lain adalah Ruri. Satu pelatih utama, seorang pria berusia sekitar empat puluhan yang biasa dipanggil Kak Yogi, dan satu pelatih lagi seorang perempuan muda berusia dua puluhan bernama Kak Sasa.
Sembari menunggu Kak Yogi datang, mereka biasanya terlebih dahulu berlari keliling lapangan, melakukan pemanasan, dan melakukan latihan ringan.
Hana berlari mengitari lapangan yang basah dengan bertelanjang kaki, ia berlari dengan penuh kehati-hatian agar dirinya tidak terpeleset. Setiap kakinya berpijak menciptakan suara khas, serta membuat cipratan air bercampur lumpur sehingga mengotori pakaiannya.
Bukannya risih, anehnya Hana malah menyukai hal itu, sesekali ia ingin merasakan pulang latihan dalam kondisi badan penuh dengan lumpur. Sudah lama sekali ia tidak merasakannya, seingat Hana terakhir kali ia berkotor ria adalah ketika Hana masih mengikuti ekstrakurikuler pencak silat pada saat SMP, tepatnya sewaktu pertemuan terakhir.
Tidak lama kemudian Kak Yogi datang, dan latihan yang lebih serius pun dimulai. Pada pertengahan awal latihan akan diisi materi teknik lama yang diulang-ulang kemudian ditambah dengan teknik baru, dilanjut pertengahan akhir latihan akan digunakan untuk sabung sebagai uji coba atas materi yang sudah diberikan.
Dalam pencak silat, sabung adalah pertarungan antara dua orang pesilat dengan tujuan mengasah ilmu bela diri yang telah dipelajari. Bisa saja murid dengan murid, murid dengan pelatih, atau pelatih dengan pelatih.
Semua orang duduk membentuk lingkaran, sementara Kak Yogi berada di tengah lingkaran.
"Ruri, coba beri contoh."
Ruri menunjuk seseorang untuk melakukan sabung dengannya. Satu persatu teknik dikeluarkannya dengan cara yang luwes, begitu pun dengan lawannya. Mereka melakukannya seolah sedang bertarung sungguhan.
Berlanjut hingga giliran Hana tiba. Saat Hana hendak memilih lawan untuk bertarung, Kak Yogi berinisiatif menunjuk Kak Sasa untuk bertarung melawan Hana. Meskipun agak ragu, Hana harus tetap mengiyakan perintah tersebut.
Keduanya mulai memasang kuda-kuda terkuatnya, dan mulailah bertarung.
"Hyatt!"
Pukulan dan tendangan mereka keluarkan. Dalam kondisi ini Hana lebih banyak menghindar daripada menyerang, Kak Sasa terlalu kuat untuk Hana taklukkan.
Hingga insiden kecil terjadi.
Saat Hana akan menyerang Kak Sasa dengan tendangan, Kak Sasa berhasil menahan kaki Hana dengan kedua tangannya, kemudian melakukan teknik 'bantingan atas' pada Hana.
Sejatinya teknik yang dilakukan Kak Sasa sudah sesuai prosedur, namun tanah yang mereka pijak sangat licin, sehingga ketika Kak Sasa berusaha menjatuhkan tubuh Hana, kaki Kak Sasa terpeleset dan tubuhnya menimpa Hana.
Hana meraba serangan Kak Sasa hanya sampai bantingan saja, sialnya ia tidak memperkirakan kemungkinan terpeleset sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
Pergelangan tangan kiri, siku, hingga lengan atas Hana terkilir, sepertinya cedera. Sementara Kak Sasa jatuh terjerembab dengan posisi dagu berbenturan dengan tanah yang membuat dagu Kak Sasa terluka.
Semua orang disana terkejut dan panik. Selama beberapa saat, baik Hana maupun Kak Sasa tidak ada yang bersuara. Kak Yogi segera mengangkat tubuh Kak Sasa dari atas tubuh Hana. Ruri dan Zia pun bergegas membantu Hana duduk.
"Sebelah mana yang sakit?" Ruri panik setengah mati melihat Hana yang masih saja diam tanpa mengeluarkan suara.
Hana menjawab pertanyaan Ruri hanya dengan menunjukkan tangan bagian kirinya yang memang dirasa nyeri.
"Coba lemes-lemesin dulu, sini aku bantu."
"Hana, coba ngomong sesuatu." Pinta Zia, ia sangat khawatir karena Hana masih belum membuka mulutnya.
"Mungkin dia syok." Kata Kak Yogi, mencoba membetulkan posisi punggung Hana mana tahu ada yang tidak beres. "Tolong satu orang ambilin air minum."
Dibandingkan dengan Hana, kondisi Kak Sasa perlahan membaik meskipun tangannya masih memegangi dagunya yang tadi sempat terbentur tanah, ia mencoba menghampiri Hana dan memeriksa bagian mana saja yang cedera.
"Hana, coba ngomong deh." Kak Sasa berusaha membuat Hana berbicara.
Sekuat tenaga Hana membuka mulutnya untuk bicara, namun ia tak mampu. Ia tidak sesak nafas, namun nafasnya tidak bisa panjang.
Seseorang yang beberapa saat lalu mengambilkan air minum segera memberikannya pada Kak Yogi, kemudian Kak Yogi membantu meminumkannya pada Hana.
"Ayo bawa ke klinik." Perintah Kak Yogi sambil membantu Hana berdiri.
Hana dapat menggerakkan kaki dan tangannya, bahkan perlahan ia bisa berjalan, tapi anehnya ia tidak bisa membuka mulutnya.
"Pakai motor saya aja Kak Yogi." Ruri menawarkan diri, tanpa pikir panjang Ruri langsung berlari mengambil motor di parkiran, lalu sejurus kemudian Ruri kembali dengan motor yang telah siap untuk mengantar Hana.
Kak Sasa dan Zia membantu Hana naik keatas motor.
"Zia, kamu jagain Hana di belakang, kita bonceng tiga."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments