"Hana, aku minta maaf soal kemarin."
"Aku yang minta maaf, kemarin aku tiba-tiba marah nggak jelas."
"Wajar kalo kamu marah, aku yang nggak bisa jaga perasaan kamu." Ucapnya kepada Hana. Ia menjeda kalimatnya sejenak, seolah mencari kalimat yang tepat. "Bener yang kamu bilang kemarin, Bella cerita panjang lebar soal kamu. Katanya belakangan ini kamu jadi sering ngediemin dia, nggak mau diajak belajar bareng, intinya Bella penasaran kenapa kamu bersikap kayak gitu ke dia."
Hana ingin protes. Bagaimana bisa Bella membumbui cerita asli menjadi sedemikian rupa sehingga berubah rasa menjadi begitu penuh drama? Hana rasa, kemarin Bella menjelma menjadi pengarang handal ketika berbicara dengan Ruri dengan durasi waktu yang sebegitu lama.
"Terus kamu jawab apa?"
"Aku jelasin kalo kamu nggak ada niatan kaya gitu ke Bella, soalnya sikap kamu juga agak berubah sama anak-anak lain. Aku bilang mungkin kamu nggak ada maksud kesitu, cuma Bella nanggepinnya lain. Jadinya Bella salah paham."
"Terus?"
"Terus aku bilang ke Bella, kalo kamu emang lagi agak pendiem soalnya lagi ada masalah pribadi di rumah tapi kebawa-bawa sampe sini."
"Terus?"
"Terus, terus! Udah, ah."
"Kirain masih panjang, soalnya kemarin kamu ngobrolnya lama banget udah kayak rapat guru." Hana mengungkapkan perasaannya dengan santai, namun terdapat beberapa penekanan pada kalimatnya seolah terdengar seperti omelan yang ditahan.
Ungkapan Hana seperti gong besar yang menggelegar tepat di jantung Ruri. Padahal hanya kalimat singkat.
"Udahlah. Nggak perlu diperpanjang. Kamu harus belajar tegas, Ruri. Kamu itu terlalu royal ke semua orang, aku jengkel banget soal itu."
Ruri menunduk, makin merasa bersalah pada Hana.
"Kemarin habis berjam-jam ngobrol sama Bella, kenapa kamu nggak nyamperin aku langsung? Malah diem aja kayak patung. Harusnya kamu langsung cerita sama aku kayak barusan, kenapa harus nunggu aku marah dulu?"
"Loh? Katanya nggak usah diperpanjang? Kok malah marah lagi?"
Hana mendesah pelan, tangannya bersedekap. Inginnya begitu, tapi kepalang tanggung. Ia juga sudah malas memendam hal yang selama ini menjadi beban untuk dirinya. Diceritakannya dengan detail penyebab tidak akurnya Hana dan Bella.
"Aku nggak pernah cerita sama kamu, sama orang luar asrama juga, soalnya nggak enak aja kalo orang taunya kita nggak akur. Coba deh bayangin, udah satu asrama, satu kelas, satu kamar pula. Kalo sampe orang luar tahu, apa pantes? Enggak, kan?"
Pangkal dari semua kerumitan itu, Hana tahu, adalah karena ketidaksukaan Bella yang selalu mendapat nilai di bawah Hana padahal usaha Bella jauh lebih keras daripada Hana, namun semua itu Bella sampaikan dengan cara yang tidak sportif sehingga membuat Hana kesal.
"Kamu tahu nggak? Semalem aku berantem sama Bella."
"Berantem?"
"Saking nggak tahannya, semalem aku ngelawan Bella pas dia nyindir-nyindir aku di depan banyak orang. Aku keluarin tuh, jeleknya kelakuan dia." Hana menjeda dan sedikit melunakkan kalimatnya. "Tapi nggak semuanya sih."
"Kenapa nggak sekalian aja?"
"Kamu pikir aku sekeren itu? Aslinya aku ngomong sambil gemeter, cuma nggak kelihatan aja." Hana melipat bibirnya, menahan tawa dari kata-kata yang ia ucapkan sendiri.
Ruri tertawa. Hana jika sedang dalam mode dering memang banyak sekali berbicara, bahkan tanpa diminta. Sangat berbeda dengan Hana mode senyap, diamnya akan membuat Ruri kelabakan dan berusaha keras untuk membaca satu-satu semua pikiran Hana.
"Aku kira selama ini aku yang pengecut karena nggak pernah ngebales perlakuan Bella. Taunya dia yang cupu, padahal dia ramean."
Ruri mendengar keseluruhan cerita dari bibir Hana, begitu rapat Hana menyimpannya sampai-sampai menutup separuh keceriaan di wajah gadis itu.
Ternyata memang bukan ide buruk bila Hana menceritakan keluh kesahnya pada Ruri. Sejauh ini, hanya Ruri yang bisa membuat Hana membuka mulut meskipun pada awalnya ia bungkam. Selain Zia tentunya.
***
Sejak kejadian malam itu, perang dingin antara Hana dan Bella hampir selalu terjadi. Mulai dari Bella yang selalu menginap di kamar sebelah, hingga tidak pernah saling bertegur sapa satu sama lain.
Terakhir kali Bella mengemasi seluruh barang di kamar nomor 27 dan memindahkannya ke kamar yang baru, alias kamar yang berisi teman satu geng Bella. Hana tidak tahu tentang kepindahan itu karena sedang berada di luar asrama, ditambah Bella juga tidak berpamitan kepadanya. Ketika Hana kembali, ia hanya mendapati kamarnya telah bersih dari barang-barang pribadi milik Bella.
Hubungan Hana dan Bella yang semakin berjarak itu tentu tidak terlihat mencolok di mata teman-teman lain, baik di asrama maupun di sekolah, karena keduanya memang tidak pernah terlihat bersama.
Brakkk!!
Seseorang datang dengan raut wajah penuh amarah bercampur kekecewaan, dengan penuh emosi Zia membanting tas yang digendongnya. Membuat Hana terbangun dari lamunannya.
"Dasar berengs*k sialan! Anak anj*ng! B*bi!"
"Astaga, Zi. Kaget aku."
"Ta*k, ta*ik! Bajing*n emang itu orang!"
"Kamu banting tas aja udah kaget aku, apalagi sampe ngeluarin kata-kata mutiara kayak gini." Hana menunjukkan empatinya dengan berapi-api. "Bilang sama aku, siapa yang jahatin kamu?! Biar aku rujak itu orang!"
"Si anj*ng tol*l!" Zia mengumpat sekali lagi. "Kamu tahu nggak, Han? Kak Nathan jadian sama cewek lain!"
Hana mengerjapkan matanya, bahunya mengendur setelah sebelumnya sempat menegang seperti Zia. "Katanya kamu ikhlas nemenin sampe dia lulus? Bahkan kamu nggak permasalahin kalo semisal Kak Nathan punya pacar."
"Masalahnya ceweknya itu si Bella anj*ng!"
"Wah, kampret! Kurang ajar itu nenek lampir!" Emosi Hana ikut berkobar lagi. "Bisa-bisanya dia bertingkah. Padahal kan dia tahu kalo kamu deket sama Kak Nathan, orang kamu ngomongin Kak Nathan mulu di kamar. Wah, wah. Sengaja nih, pasti."
"Makanya! Kayak nggak ada otaknya sama sekali! Mana norak banget, jijik aku lihatnya."
"Kamu lihat langsung?"
"Tuh! Di depan asrama masih rame belum pada bubar!"
Pantas saja beberapa saat lalu Hana mendengar seperti ada keributan di luar. Ia mengira hanya keributan biasa karena saat itu masih termasuk jam pulang sekolah, hanya terdengar sedikit lebih ramai dari biasanya.
Nyatanya memang lebih ramai, namun beda pemicu.
Kemarahan Zia mereda dengan sendirinya. Nada bicara Zia turun secara perlahan. Suaranya makin kecil, kecil, kemudian diam. Lama-kelamaan berubah menjadi isakan.
Hana duduk bersila di depan Zia. Tangannya meraih bantal lalu diletakkan di atas pangkuannya. Ia memposisikan diri senyaman mungkin dan bersiap mendengarkan seluruh isi pidato Zia.
"Gimana ceritanya Kak Nathan nembak itu orang di depan asrama? Emangnya nggak ada tempat lain?"
Zia menangis sejadi-jadinya, meski terbata, Zia tetap melanjutkan bicaranya. "Tadi pas aku mau pulang, Kak Nathan manggil aku terus jalan di samping aku. Aku bego banget, Han! Aku kira Kak Nathan bawa buket bunga itu buat aku, tahunya buat si Bella kampr*t itu. Mana aku udah terlanjur salting."
"Kak Nathan panggil kamu sambil bawa bunga? Jelas aja kamu salah paham. Siapa coba yang nggak bakal salah paham kalo digituin?"
Zia sampai menghabiskan banyak sekali tissu. Sebagian untuk menyeka air matanya, sebagian ia gulung dan ia lemparkan ke sembarang arah, baru sebagian lagi ia gunakan untuk mengelap ingusnya yang meler. Ruangan itu kini penuh dengan tissu berserakan.
"Makanya. Sepanjang jalan aku senyum-senyum sendiri kayak orang tol*l. Ternyata Kak Nathan bukan jalan ngiringin aku tapi ngikutin Bella dari belakang, aku baru sadar pas udah mau deket asrama, Kak Nathan lari sambil manggil nama Bella. Dan bisa kamu tebak deh selanjutnya apa."
"Lah, kamu kenapa senyum-senyum? Harusnya kamu pura-pura nggak tahu dan sok jaga image. Ini mah, kelihatan banget kamu yang masih berharap sama dia."
"Ngomong mah gampang, pas praktek di lapangan langsung ambyar semua."
Zia benar, rencana memang selalu kalah dengan spontanitas alami dari tubuh.
"Terus Kak Nathan nembak Bella pake bunga itu?"
Zia menangguk, tangisannya berubah lebih kencang.
"Han, Kira-kira Kak Nathan sadar nggak ya, kalo tadi aku senyum-senyum kayak gitu? Aku malu banget kalo seandainya Kak Nathan tahu." Zia menggeram bak aungan singa. "Rasanya aku pengen menghilang dari muka bumi!"
Hana memegangi janggutnya, memutar bola matanya menatap udara kosong, berlagak seperti sedang berfikir keras. "Bisa jadi dia sadar, sih. Soalnya kamu kentara banget... Tapi bisa juga enggak, soalnya dia kan lagi fokus mau nembak Bella."
"Selama ini aku udah coba nahan diri, Han. Aku coba senormal mungkin biar Kak Nathan nggak risih sama aku, biar dia nggak kabur duluan. Apa Kak Nathan ngiranya aku beneran udah nggak ada rasa sama dia, terus dia nembak cewek lain?"
"Nggak gitu Zia, konsepnya. Emang dianya aja yang udah nggak suka sama kamu. Nggak usah denial deh."
"Tapi kenapa harus Bella? Aku nggak suka, aku nggak rela kalo Kak Nathan sama dia."
Bella? Hana seperti teringat sesuatu.
"Ada yang aneh. Katanya kalian putus baik-baik soalnya beda keyakinan, tapi kok, Kak Nathan malah macarin Bella? Kan beda keyakinan juga sama Kak Nathan?"
Mata Zia membelalak, Zia baru menyadarinya.
Tangan kanan Hana mengepal erat, lalu dipukul-pukulkannya ke telapak tangan kirinya. Ekspresi Hana hampir sama dengan petinju yang sedang bersiap menyerang lawannya.
"Nathan bangs*t! Ini sih, cuma akal-akalan dia aja buat begoin kamu, Zi! Luarnya doang kelihatan kalem, aslinya busuk. Nyari alesannya sok religius banget, padahal aslinya bosen. Ternyata Kak Nathan sama aja kayak cowok murahan lain."
"Jadi, selama ini aku sebego itu dimata Kak Nathan? Ya ampun, rapi banget mainnya. Sampe aku ngiranya dia beneran orang baik." Ucap Zia memelas, wajahnya sudah sangat kusut, sebentar lagi ia berubah menjadi zombie.
"Lagian kalo dia beneran orang yang sebaik itu, mana mungkin dia tega nembak orang lain depan kamu? Kepikiran aja enggak."
Zia sudah sangat pasrah. Perasaan sedih itu kini telah berubah menjadi benci. Semua yang Hana katakan adalah benar, namun Zia tidak pernah mempercayainya karena selama ini ia telah tertipu oleh topeng tebal Nathan.
Berarti udah jelas, Zi. Kamu udah nggak perlu nerusin ketololan kamu lagi. Nyerah aja udah."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments