Beberapa hari ini langit tampak mendung, seolah memahami kegelisahan Hana, lalu membersamainya.
"Kamu kenapa, Han? Dari semalem lesu mulu bawaannya?" Tanya Zia saat sedang membantu Hana memakai sepatu. Tangan kirinya masih harus dipakaikan arm sling hingga beberapa hari kedepan.
Hana menggeleng, "ngantuk."
Zia ragu dengan alasan Hana, tentu Zia tahu persis bahwa mengantuk adalah alasan wajib Hana ketika sedang tidak ingin bicara, entah apa yang hendak Hana sembunyikan.
Zia pura-pura mengiyakan pernyataan Hana, ia takut memperburuk suasana hati sahabatnya itu. Lagi pula Hana akan bercerita sendiri tanpa diminta ketika kondisinya moodnya sudah stabil.
Hana berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju sekolahnya.
Hari ini adalah hari Senin. Meskipun mendung, selama itu tidak hujan, maka upacara akan tetap dilaksanakan. Hana merasa begitu enggan, ia berniat ijin ke UKS ketika upacara tengah berlangsung nanti.
"Hana! Zia!" Sapa Aji di antara kerumunan, berlari menyusul mereka berdua.
Aji terkejut melihat tangan Hana meskipun ia telah mendengar cerita Hana dari mulut Ruri pada hari dimana Hana ijin tidak masuk sekolah.
"Tangan kamu kenapa, Han? Sakit banget ya? Kata Ruri kamu jatuh pas lagi silat?" Aji tidak menyangka akan separah itu hingga Hana harus mengenakan arm sling.
"Nggak apa-apa, ini digendong cuma biar nggak sakit-sakit banget. Nggak separah kelihatannya, kok."
"Kalo tangan kamu sampe digendong, pasti kamu ngerepotin Zia, ya?" Niat hati Aji ingin mengajak Hana bercanda.
"Enak aja."
Respon Hana masih seperti biasanya, namun terasa ada yang sedikit berbeda di mata Aji yang sudah terbiasa menggoda Hana. Mengetahui hal itu, Aji tidak berniat melanjutkan candaannya lagi.
Zia pamit karena berbeda arah sehingga harus berbelok, "Aku duluan ya, Han. Aji, titip Hana ya?"
"Siap!" Jawab Aji.
Hana dan Aji berjalan berdampingan sampai ke dalam kelas, meletakkan tas di tempat duduknya, lalu bergegas pergi ke lapangan upacara.
"Kamu di kelas aja, Han. Daripada kamu pingsan nanti." Aji menasehati Hana dengan sedikit candaan.
Setelah dipikir-pikir, Hana merasa ada benarnya juga perkataan Aji, lagi pula kesempatan juga bagi Hana untuk bersantai tanpa ada satu orang pun di dalam kelas kecuali dirinya.
"Emangnya nggak apa-apa?"
"Udah, nggak apa-apa. Bilang aja kamu sakit. Nggak ada yang bakal marahin juga."
"Berani nggak? Kalo nggak berani aku panggilin Inung buat nemenin kamu."
"Berani kok, Ji. Ya udah, aku di kelas aja deh."
Aji mengangguk.
Inung sudah berada di lapangan upacara, ia tidak melihat Hana karena Inung sedang berada di toilet ketika Hana lewat di depan kelas.
Sementara Ruri, karena ia merupakan anggota OSIS, ia harus langsung ke ruangan OSIS terlebih dahulu sebelum upacara dimulai. Ruri baru akan kembali ke dalam kelas setelah upacara selesai.
Biasanya bagi anggota OSIS seperti Ruri, mereka dibagi tugas dalam beberapa kelompok, setiap kelompok beranggotakan dua orang, dan akan di rolling setiap hari upacara tiba. Ada yang berjaga di ujung lapangan, di depan gerbang masuk sekolah, berkeliling ke setiap kelas, dan sisanya akan masuk barisan kelasnya masing-masing jika tidak mendapatkan giliran tugas.
Hari itu Ruri bertugas berkeliling ke tiap-tiap kelas bersama satu orang rekannya, dan mengecek apakah ada murid di dalam kelas, jika ada, mereka akan menanyai murid tersebut.
Tiba saat memasuki ruangan kelasnya, Ruri mendapati Hana sedang duduk termenung sendirian. Dihampirinya dengan perasaan khawatir.
"Kenapa masih di kelas? Kenapa nggak ikut upacara?" Ruri melayangkan pertanyaan template untuk formalitas tugasnya. Ruri yang sudah mengetahui kondisi Hana justru merasa lega ketika Hana mau berdiam di dalam kelas, dan tidak memaksakan diri untuk ikut upacara.
Hana menunjukkan tangan kirinya.
Ruri mengangguk, "perlu ke UKS nggak?"
"Nggak usah, aku mau di kelas aja."
Banyak sekali kekhawatiran yang ingin Ruri sampaikan, namun karena merasa tidak enak hati dengan rekannya jika ia berlama-lama, ia pun mengurungkan niatnya dan segera melanjutkan tugas.
"Aku tinggal ya, Han." Ruri bergegas pergi meninggalkan Hana dan hanya menyisakan suara langkah kaki yang semakin menghilang.
Sekarang Hana kembali sendirian di kelas, pikiran Hana berkecamuk. Ia tidak mengkhawatirkan tangannya yang cedera, ia hanya menganggapnya sebagai sakit fisik yang dalam beberapa hari bisa sembuh. Yang ia khawatirkan saat ini adalah kondisi rumah Hana, tentang orang tua Hana yang akhir-akhir ini sering bertengkar, dan tentang adiknya yang kebingungan menghadapi hal itu.
Anak manapun tidak akan rela dan tidak akan siap menghadapi situasi tersebut. Hana bisa saja menyelamatkan mentalnya karena ia berada di asrama, sehingga tidak perlu merasakan sakit hatinya ketika orang tuanya mulai adu mulut.
Tapi bagaimana dengan Indra, adiknya yang setiap hari harus menyaksikan pemandangan mengerikan itu? Hana tidak bisa membayangkan betapa sakitnya Indra, ia merasa egois karena telah meninggalkan Indra terkurung disana tanpa tahu harus berbuat apa.
Hana memang bisa menyembunyikan masalah tersebut, tetapi tidak dengan ekspresi wajahnya. Semua orang pasti langsung mengetahui perasaan Hana walaupun hanya dengan melihat sekilas, dan itu adalah hal yang Hana kesalkan dari dirinya karena tidak bisa mengontrol hal itu.
Bulir bening jatuh perlahan membelah pipinya. Ia tidak percaya, kapal yang tengah ia naiki, yang ia yakin akan mengantarkannya pada tujuan dengan selamat ternyata sewaktu-waktu bisa terombang-ambing oleh badai juga. Untuk sekarang Hana hanya mampu berdoa sekuat mungkin agar kapal tidak karam di tengah laut.
***
"Aku pulang duluan, ya." Pamit Hana pada Ruri, Aji, dan Inung saat kelas sudah berakhir sore itu.
"Ayo aku anterin, Han." Inung menawarkan kebaikan hatinya.
"Nggak usah, Nung. Aku pulang bareng Zia, udah nunggu tuh di depan."
Berjalanlah Hana keluar kelas, didapatinya Zia sedang berdiri di ujung koridor dan berbincang dengan salah satu Guru. Hana berjalan mendekat, namun belum sempat Hana menghampiri mereka berdua, sang Guru telah masuk ke ruang guru.
"Ngomongin apaan, Zi? Asyik bener?"
"Nggak ada, cuma basa-basi doang. Habis ngajar di kelas aku, terus jalan bareng dari kelas sampe sini. Dia emang suka cerita-cerita random gitu. Kayaknya barusan dia masih lanjut cerita deh, kalo aja nggak dapet telepon."
"Ooh, gitu."
"Gimana tangan kamu? Tadi kerasa sakit nggak?"
"Nggak sakit kalo digendong begini. Sakit pas ganti perban aja, soalnya dibawa gerak-gerak. Besok Jumat aku ke Rumah Sakit lagi buat kontrol, kalo udah mendingan katanya udah boleh lepas gendongan."
"Kalo belum mendingan?"
"Yee... Kamu doain aku biar lama sembuhnya?"
"Eh, nggak gitu ya! Cepetan sembuh deh, biar nggak kasihan-kasihan amat aku lihatnya."
Hana menahan tawanya, "kalo belum mendingan, ya lanjut Jumat depannya lagi. Tapi semoga aja nggak sampe lama deh. Kata dokternya, paling cepet sekitar dua mingguan soalnya nggak terlalu parah."
"Syukur, deh."
Hana baru saja membuka mulut tentang keadaannya setelah sebelumnya ia hanya diam ketika Zia mencoba bertanya apa yang sedang dirasakan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments