Ketika seorang remaja sedang disibukkan oleh urusan cinta, siapa yang pertama kali mengetahuinya? Ya, sahabatnya.
Malam itu Hana hendak tidur, di tariknya selimut untuk menutupi badannya.
"Zi, tadi Ruri nembak aku."
"Hah, serius?!"
Zia yang hampir tertidur pun kembali segar, ia melepas kacamata tidur dan selimutnya. Selama ini Zia hanya memantau dan menebak-nebak akhir dari perjuangan Ruri yang setiap kegiatan OSIS selalu mengulik informasi tentang Hana melalui Zia.
"Terus gimana? Cerita, cerita, cerita!"
"Terus, ya gitu, deh."
"Gimana? Kamu terima?"
Hana nyengir, "belum."
"Jadi kamu masih gantungin dia? Kamu masih belum kasih jawaban?"
"Iya. Habisnya aku bingung, aku tuh nggak ada perasaan sama Ruri. Tapi dia tadi bilangnya udah suka aku dari MOS."
"Emang Ruri naksir banget sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka tiap kali aku bilang kalo Ruri selalu nanyain kamu lewat aku."
"Mana aku tahu. Aku juga ngelihatnya biasa aja di kelas. Dia kaya nggak gimana-gimana."
"Ya jelas lah, kalo ngejar-ngejar banget pasti dia takut kamu risih, atau nggak takut kamu nganggepnya cuma main-main."
"Seumuran kita mana ada yang pacaran serius? Pasti main-main, lah."
"Tuh, kan." Zia melirik kesal kearah Hana yang keras kepala, "Ya udah, sih. Terima aja. Kalaupun main-main juga apa salahnya? Kamu juga belum ada rasa, kan, sama Ruri?"
Hana mengerutkan bibir dan dagunya, pemikiran naif Hana muncul, memang tidak ada salahnya untuk mencoba menerima Ruri, Hana hanya perlu melihat situasi untuk ia jalani kedepannya.
"Iya, deh, besok. Aku tadi janji mau kasih jawaban ke Ruri besok pas pulang sekolah."
"Buruan, jangan lama-lama. Nanti dia ilang."
"Ilang gimana, Zi?"
"Siapa tahu gara-gara kamu nggak kasih dia jawaban, terus dia ngehindar dari kamu, ngejauhin kamu, nggak mau temenan lagi sama kamu. Kamu mau, temen kamu ilang satu?"
"Nggak segitunya juga, kali, Zi."
"Kan, aku bilang, siapa tahu. Bisa aja dia malu papasan sama kamu lagi gara-gara pernah kamu tolak." Zia mencoba menggoda Hana, dalam hatinya ia bermaksud untuk mendorong Hana agar mau menerima cinta Ruri, karena menurutnya, Hana adalah tipe orang yang sangat pasif dan cuek, jika tidak di pancing, pasti tidak akan ada sesuatu yang spesial terjadi dalam hidup Hana.
"Kata kamu, Ruri suka nanyain aku? Dia tanya apa aja?" Hana mulai tergerak hatinya untuk mencari alasan lebih dalam.
"Cieee. Penasaran, ya? Apa jangan-jangan kamu udah mulai suka sama Ruri?"
"Enggak!"
"Enggak apanya, nih? Nggak penasaran? Ya udah kalo gitu, aku nggak akan kasih tahu soalnya kamu nggak mau."
"Zia..."
"Atau kamu nggak suka sama Ruri? Kenapa nggak langsung kamu tolak saat itu juga kalo kamu nggak suka?" Zia tiada hentinya menggoda Hana.
"Nggak gitu, Zi. Aku cuma butuh waktu buat mikir."
"Berarti kamu suka, dong? Soalnya harus mikir dulu."
"Ih, Zia!!" Hana mengambil bantal miliknya lalu memukulkannya berulang kali pada Zia, "jangan gitu, dong. Padahal aku belum ngomong apa-apa. Aku, kan, jadi malu!"
Zia tertawa geli.
"Ampun, deh, ampun!" Tawa Zia masih belum mereda, "Iya, iya! Bercanda!"
Hana menghentikan serangannya, "Jadi Ruri suka nanyain apa ke kamu?"
Zia menceritakan semua yang ia tahu. Dari pertanyaan receh seperti makanan kesukaannya, warna favoritnya, dan kebiasaan-kebiasaan kecil Hana. Hingga pertanyaan serius seperti seseorang yang dekat dengan Hana, kedekatan Hana dengan Zia, dan semacamnya. Termasuk juga pertanyaan yang berkaitan dengan keluarga Hana, namun Ruri hanya bertanya sebatas pertanyaan ringan tanpa melanggar privasi Hana.
Pertanyaan seperti itu bisa saja Ruri tanyakan secara santai saat di kelas, namun alih-alih bertanya pada Hana secara langsung, Ruri lebih memilih mengulik informasi tersebut dari Zia.
***
Keesokan harinya, kelas berjalan seperti biasa. Riuh-ramai para siswa tetap saja tidak dapat mencegah Hana dari kantuknya.
"Hana, maju ke depan!" Perintah seorang guru matematika bernama Bu Yuni. "Kerjakan soal nomor tiga, ayo maju!"
"Tapi, Bu, saya tidak bisa." Hana tersentak ketika tiba-tiba saja namanya dipanggil.
"Nggak apa-apa, nanti saya bantu dari sini." Ucap Bu Yuni.
Sudah sering ia di panggil ke depan kelas hanya karena Hana mengantuk, namun tetap saja Hana merasa kesal. Dengan terpaksa ia menuruti perintah Bu Yuni, mengambil spidol board marker dan bersiap mengerjakan soal di papan tulis.
"Contohnya seperti di sebelah kanan papan tulis. Bilangan x dan y-nya disamakan dulu."
Hana mengerjakan sesuai arahan Bu Yuni, sebenarnya Hana tidak begitu mengerti apa yang sedang ia kerjakan, namun ia dapat mengerjakan dengan lancar hanya dengan memahami rumus dan contoh soal hingga selesai.
"Sudah, Bu?"
"Ya. Silahkan duduk kembali." Bu Yuni berdiri dari mejanya, "Jangan ngantuk lagi ya, Han. Kalau ngantuk lagi nilai kamu saya kurangi."
"Baik, Bu."
"Cuci muka dulu sana, biar nggak ngantuk."
Lagi-lagi Hana kesal dengan omongan beberapa guru yang menyuruhnya untuk mencuci muka, menurutnya percuma saja, karena tidak lama setelah itu Hana akan kembali mengantuk.
Pernah suatu kali Hana diajar oleh seorang guru yang selalu menyuruhnya cuci muka setiap kali matanya mulai berat. Jika guru pada umumnya hanya memerintahkan cuci muka satu kali dalam satu mata pelajaran, guru tersebut justru menyuruh Hana bolak-balik ke toilet sebanyak lima kali. Oleh karena hal itu, Hana pernah sampai terserang flu.
Tanpa kembali ke mejanya, Hana langsung pergi keluar kelas menuju toilet.
Sesaat setelah selesai, Hana membuka pintu toilet, dan tanpa sengaja seseorang dari bilik sebelahnya ikut keluar bersamaan dengan Hana.
Beberapa lama mereka mematung dan saling berpandangan.
Tawa tiba-tiba saja pecah ketika mereka mulai menyadari keadaan.
"Hana!"
"Zia! Ngapain kamu disini?"
"Biasa, disuruh cuci muka sama guru."
"Lah, sama. Kesel tahu, disuruh cuci muka terus!"
"Iya, sebel banget. Biarin aku tidur kenapa?"
"Tidur boleh, tapi nggak pas jam pelajaran juga kalee!" Seorang guru berjalan melewati Hana dan Zia, beliau adalah guru kelas Zia, perangainya memang suka bercanda dengan para murid.
"Lah, Bu, kok Ibu ikutan keluar?"
"Jam saya sudah selesai. Kamu kelamaan, sih. Saya suruh cuci muka doang malah lama banget nggak balik-balik. Yakali saya keluar kelas musti nungguin kamu dulu." Ucap guru tersebut dengan mimik wajah pura-pura kesal.
Zia menyunggingkan senyum jahil.
Baik Hana maupun Zia segera kembali ke kelasnya masing-masing.
"Loh, kalian nggak istirahat?" Tanya Hana saat mendaratkan pantat di tempat duduknya.
"Lihat, tuh, jam berapa? Masih kurang lima belas menit lagi istirahatnya." Jawab Inung dengan jari telunjuk mengarah ke jam dinding.
"Kok Bu Yuni udah nggak ada? Guru kelas lain juga udah pada keluar kelas."
"Ada rapat mendadak katanya."
Hana mengangguk.
"Tumben, Han, nggak tidur?" Tanya Aji asal.
"Ini baru mau."
"Nyanyiin Avenged Sevenfold lagi aja yuk, Han."
Aji mengambil gitar kesayangannya yang hampir setiap hari ia bawa lalu ia taruh di belakang kelas.
"Silahkan."
"Kamu mah tidur terus. Coba sekali-kali kamu cerita apa kek, biar Ruri nggak kosong-kosong amat soal jalan hidup kamu."
Ruri menahan senyum dengan mengulum bibir bagian bawahnya mendengar kalimat yang Aji lontarkan.
"Jiah elah, salting dia." Inung mengguncangkan bahu Ruri.
Ruri tidak berniat membantah sedikitpun, sesekali pandangannya ia arahkan pada Hana yang sedang menelungkupkan wajah.
Saat tengah asyik bercanda, handphone Ruri bergetar, sebuah notifikasi chat masuk.
"Pengumuman!" Ruri berdiri dari tempat ia duduk, melambaikan lengan kanannya pada seluruh isi kelas sehingga ia menjadi pusat perhatian. "Barusan dapet informasi dari ketua OSIS, bahwasannya hari ini kita pulang lebih awal karena guru-guru sedang ada agenda mendadak. Tinggal nunggu bel aja, baru kita pulang."
Hana yang mendengar hal itu pun seketika terbangun dari tidurnya. Hana melihat sebagian dari mereka merasa senang, sebagian lagi merasa acuh dan terus melanjutkan gurauannya. Hana berada di kategori yang kedua, baik pulang lebih awal ataupun tidak, bagi Hana sama saja.
Kepala Hana kosong seolah sedang tidak memikirkan apapun, ia mengemasi alat tulisnya kemudian berpindah posisi duduk menghadap ke samping sambil memainkan handphone miliknya.
Tidak lama setelah itu, bel pun berbunyi, warga 10 IPA berhamburan berebut keluar kelas, hanya beberapa yang masih tinggal di dalam.
Hana menoleh kearah Ruri yang tengah sibuk dengan handphonenya, karena Hana merasa Ruri tidak memperhatikannya, ia pun memutuskan untuk pulang.
Baru beberapa langkah dari luar pintu, Ruri menyusul Hana dengan memanggil namanya dari belakang, persis seperti kemarin sore.
"Jangan pulang dulu!"
Hana menoleh dan menunggu Ruri berjalan kearahnya.
"Jadi, jawaban kamu apa, Han?"
"Kirain kamu lupa."
"Apa kamu mau jadi pacar aku?" Tanya Ruri lirih.
"Apaan? Nggak denger." Hana coba menggoda Ruri.
"Hana Sastika, Hana cantik, manis, imut, lucu, gemes sedunia, kamu mau kan, jadi pacar aku?"
Hana tidak bisa menahan tawanya, ia tidak pernah menyangka akan mendengar kalimat langka tersebut dari mulut Ruri.
Ruri salah tingkah, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bagaimana pun ia telah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk dua hari belakangan.
Hana mengangguk, "iya, aku mau."
"Apaan? Aku nggak denger." Ruri mengulang perkataan Hana beberapa saat lalu.
"Nggak akan aku kasih denger."
Hana membalikkan badan dan berniat untuk kabur, namun dengan sigap Ruri menahan tangan Hana.
"Apa? Aku pengen denger."
"Iya..."
"Iya apa?"
"Iya, aku mau jadi pacar kamu."
"Serius?" Tanya Ruri antusias.
"Serius!"
Ruri mencubit pelan pipi Hana. "Makasih."
"Makasih buat apa?" Hana kembali menggoda Ruri hingga telinga laki-laki didepannya memerah.
Melihat Ruri yang semakin salah tingkah, Hana pun menghentikan candaannya. "Iya, iya... Sama-sama."
Hana bergegas pergi dari tempatnya berdiri. Tanpa diminta, Ruri mengekor di belakang Hana.
"Eh, ngapain?" Tanya Hana.
"Mau nganterin kamu pulang." Jawab Ruri dengan sedikit bergumam.
Tawa kecil Hana membuat suasana semakin hangat, "nggak perlu. Udah, kamu balik ke kelas aja sana! Aku mau pulang sendiri."
Sepanjang jalan Hana terus melayangkan senyumnya, ia tidak mengira bahwa seorang Ruri akan bertingkah semanis itu padanya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments