Batu mulia berwarna merah di cincin jari manis tangan kiri Jaka Umbaran bersinar. Lalu sesosok makhluk halus yang hanya bisa di lihat oleh orang yang memiliki daya batin linuwih muncul di hadapan Jaka Umbaran. Makhluk tak kasat mata yang berwujud manusia tinggi besar dengan kulit kemerahan dengan sepasang tanduk pendek itu segera berlutut dihadapan sang pendekar muda.
"Ada apa Ndoro memanggil hamba?", ucap makhluk halus berwujud menyeramkan yang tak lain adalah Pancer, suami Suketi penghuni Sendang Inten ini segera.
"Bereskan setan hijau itu. Lekas laksanakan", perintah Jaka Umbaran sembari memberi isyarat pada Pancer untuk bergerak.
"Baik Ndoro, segala perintah hamba laksanakan", Pancer menghormat pada Jaka Umbaran sebelum bergerak cepat menerjang maju ke arah genderuwo itu.
Semua ini tak lepas dari pengamatan Ki Setrowahono, dukun perewangan yang di panggil Ki Gondo untuk membantu menyembuhkan Rara Melati. Lelaki tua itu terkejut bukan main melihat makhluk halus ini menghormat pada Jaka Umbaran sebelum bergerak. Meskipun di kepalanya terlintas berbagai pertanyaan, namun dukun perewangan itu lebih memilih untuk menahan diri sembari menyaksikan pertarungan antara Pancer dan genderuwo yang merasuki tubuh Rara Melati
Bhhhaammmmmmmm bhhuuuuummmmmmhh!
Sekeliling rumah Ki Gondo berderak keras layaknya terkena gempa bumi akibat pertarungan sengit Pancer dan genderuwo itu. Beberapa pajangan yang tergantung di dinding, jatuh saking kuatnya getaran yang ada.
Ki Gondo langsung menarik tangan istri dan anaknya yang lain untuk keluar dari dalam rumah karena takut ketiban barang yang jatuh. Para pelayan dan abdi setia nya juga ikut berhamburan keluar menyelamatkan diri.
Begitu juga dengan Nyi Manik Inten bersama dengan pelayan setia nya. Mereka buru-buru bergegas menuju halaman rumah bersama dengan Niluh Wuni. Hanya Jaka Umbaran dan Ki Setrowahono saja yang tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya semula. Kedua nya terus menatap ke arah pertarungan sengit antara dua makhluk halus ini.
Saling tindih, saling pukul dan saling tendang berpadu dengan gerakan cepat layaknya angin terus terjadi di kediaman Ki Gondo. Pendopo rumah yang semula tertata rapi dan indah ini dalam waktu singkat langsung porak poranda. Beberapa bagian dinding kayu jebol tanpa ada yang menabraknya.
Pada suatu kesempatan, Pancer berhasil memiting leher genderuwo yang berkulit hijau kehitaman ini. Genderuwo itu nampak tidak bisa bergerak sama sekali di bawah pitingan lengan Pancer yang segede bambu betung.
Melihat itu, Jaka Umbaran segera melesat cepat kearah mereka sambil menghantamkan tapak tangan kanan nya yang berwarna biru kemerahan ke arah kepala si genderuwo.
"Ajian Pamungkas Lebur Saketi..
Hiiyyyyyyyaaaaaaaaaaaaaat!!!"
Blllaaammmmmmmm....!!!!
Kepala genderuwo itu langsung meledak dan hancur lebur menjadi abu. Tubuhnya langsung terkulai dan jatuh ke lantai pendopo rumah Ki Gondo. Perlahan tubuhnya menghitam dan berubah menjadi abu hitam yang kemudian hilang tersapu angin.
"Sekarang kau boleh kembali ke tempat mu", ucap Jaka Umbaran segera. Pancer langsung menyembah pada Jaka Umbaran sebelum berubah menjadi cahaya merah yang masuk kembali ke dalam cincin pusaka di jari manis sang pendekar.
Ketika suasana sudah kembali tenang dan getaran gempa yang terasa telah menghilang, Ki Gondo langsung berlari masuk ke dalam pendopo rumahnya. Disana ia melihat Jaka Umbaran sedang melepaskan tali yang mengikat tangan dan kaki Rara Melati bersama dengan Ki Setrowahono.
"Su-sudah berakhir, Ki Setro? Setan nya sudah musnah?", tanya Ki Gondo sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling pendopo rumah yang berantakan. Dia takut kalau kalau hal yang menakutkan itu terjadi lagi.
"Sudah beres Juragan Gondo..
Pendekar muda ini yang me.. Wadaaawwwhhh", Ki Setrowahono tak melanjutkan jawabannya karena jempol kaki kanan nya keburu diinjak oleh Jaka Umbaran. Saat mau protes, ia melihat Jaka Umbaran menaruh telunjuk tangan kanannya ke depan bibir sebagai isyarat untuk tidak membocorkan rahasia musnahnya genderuwo tadi. Ki Setrowahono mengangguk mengerti meski sambil meringis menahan rasa sakit pada jempol kaki kanan nya.
"Ngomong yang jelas Ki Setro..
Pendekar muda ini kenapa?", tanya Ki Gondo sembari mengernyit heran.
"Eh itu maksudnya pendekar muda ini yang membantu ku. Untung ada dia, kalau tidak aku pasti kerepotan mengurus genderuwo busuk itu", ujar Ki Setrowahono sambil sedikit melirik ke arah Jaka Umbaran yang mengacungkan jempol tangan nya diam-diam tanpa ketahuan juragan kaya raya itu.
Satu persatu orang mulai masuk ke dalam pendopo rumah Ki Gondo. Rara Melati yang baru saja lepas dari ikatan tali, seketika langsung berlari dan menghambur ke arah Ki Gondo dan istrinya. Tangis tersedu-sedu penuh kebahagiaan terdengar dari mulut mereka.
Setelah selesai drama keluarga ini, Ki Gondo segera mendekati Ki Setrowahono dan mengulurkan sekantong kepeng emas sisa pembayaran pertolongan yang telah dia janjikan.
"Terimakasih atas pertolongan mu Ki Setrowahono. Lain kali jika aku punya masalah seperti ini lagi, kau pasti akan ku panggil", ujar Ki Gondo segera.
"Semuanya sudah rampung Juragan Gondo. Kalau begitu aku mohon pamit. Permisi", ujar Ki Setrowahono sambil membungkuk hormat kepada Ki Gondo sebelum melangkah meninggalkan tempat itu. Tak lupa ia juga menganggukkan kepalanya ke Jaka Umbaran yang telah membantu nya. Sang Pendekar Gunung Lawu hanya tersenyum tipis saja.
Nyi Rondo Dadapan pun segera menyampaikan maksud kedatangan nya pada Ki Gondo. Juragan beras kaya raya itu sama sekali tidak keberatan dengan permintaan sang kawan dagang nya karena salah satu anak buah nya setidaknya telah membantu mengatasi masalah keluarganya.
Malam itu juga, setelah para pelayan rumah Ki Gondo bekerja keras untuk membersihkan puing puing bangunan yang berserakan di lantai pendopo rumah itu, rombongan Nyi Rondo Dadapan bermalam di rumah Ki Gondo, juragan beras kaya raya di wilayah Pakuwon Gemolong.
Begitu pagi hari tiba, para anak buah Nyi Rondo Dadapan langsung bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan mereka ke barat. Setelah mengucapkan terima kasih atas kebaikan Ki Gondo yang mengijinkan mereka untuk bermalam cuma-cuma di tempatnya, Nyi Manik Inten berpamitan pada sang empunya rumah.
"Aku sudah menukar barang yang kau minta Ki Gondo. Dua puluh lembar kain kualitas menengah ku setara dengan 10 kati beras milik mu.
Aku juga ingin mohon diri untuk pulang ke Dadapan. Gusti Akuwu Pakuwon Dadapan sudah menunggu kedatangan pesanan nya. Aku tidak ingin membuatnya kecewa karena aku terlambat mengantarkan barang yang dia pesan", ujar Nyi Manik Inten alias Nyi Rondo Dadapan sembari tersenyum tipis.
"Aku tidak akan menahan mu, Nyi Rondo Dadapan. Tapi aku juga ingin berterimakasih kepada salah satu anak buah mu yang telah membantu Ki Setrowahono.
Berhati-hatilah di jalan Nyi Manik Inten. Semoga selamat sampai di rumah ", ujar Ki Gondo sambil tersenyum lebar.
Pagi itu juga, rombongan Nyi Manik Inten sang saudagar kain kaya raya ini bertolak meninggalkan Pakuwon Gemolong menuju ke arah barat. Setelah melewati jalan raya yang membelah hutan hutan di wilayah selatan Kadipaten Kembang Kuning dan melewati beberapa perkampungan kecil seperti Klego dan Sendang, rombongan ini sampai juga di tapal batas Kota Pakuwon Dadapan setelah matahari mulai bergeser dari atas kepala.
Jaka Umbaran yang berkuda paling depan bersama dengan Ki Suradipa langsung menarik tali kekang kudanya sambil memberikan isyarat kepada para anggota rombongan mereka untuk berhenti.
Seratus depa di depan mereka, sebuah masalah besar sedang terjadi. Puluhan orang berpakaian ala prajurit Kadipaten Kembang Kuning menghunuskan pedangnya bertarung sekuat tenaga melindungi sebuah kereta kuda sementara itu sekitar 20 orang lelaki berpakaian serba hitam tengah mengepung mereka dengan senjata teracung mengancam nyawa lawan.
"Ki Suradipa, minta semua orang untuk waspada..
Kita tidak boleh lengah", ucap Jaka Umbaran segera. Ki Suradipa segera menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Para centeng Nyi Manik Inten langsung mencabut golok yang terselip di pinggang masing-masing. Suasana seketika berubah menjadi tegang.
"Ada apa ini? Kenapa kalian mencabut senjata?", tanya Nyi Manik Inten alias Nyi Rondo Dadapan dari balik tirai jendela kereta kuda yang dia tumpangi.
"Lapor Nyi..
Sepertinya di depan sedang terjadi pertarungan. Pendekar Gunung Lawu meminta kita semua untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan", balas si benteng yang berada di dekat kereta kuda. Nyi Rondo Dadapan hanya menghela nafas berat mendengar jawaban itu.
Di pertarungan sengit antara para prajurit Kadipaten Kembang Kuning dan para pengepung nya, dua orang prajurit telah tersungkur bersimbah darah. Sementara pimpinan prajurit terlihat sibuk menghadapi 4 orang yang mengeroyoknya.
Dua orang berpakaian serba hitam yang berhasil mendekati pintu kereta kuda, langsung merangsek maju dan keduanya menarik pintu kereta kuda itu bersama-sama. Akibatnya pintu kereta kuda lepas dan dua orang gadis cantik berpakaian bangsawan langsung menjerit ketakutan.
Mendengar jeritan itu, si pimpinan prajurit berusaha untuk menolong mereka berdua namun empat orang yang mengeroyoknya tak memberikan kesempatan itu. Mereka berempat terus bergerak mengurung pergerakan si pimpinan prajurit pengawal.
Satu persatu prajurit Kadipaten Kembang Kuning mulai bertumbangan dengan luka yang parah. Pimpinan kelompok pengepung yang berhasil memaksa dua gadis bangsawan muda ini langsung tertawa terbahak-bahak.
"Dengan ini, Gusti Patih Kandaga pasti akan memberikan hadiah besar kepada ku hahahaha..."
Sebuah kerikil sebesar biji salak melesat cepat kearah dahi si pimpinan pengepung.
Cllaakkkkk..
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Si pimpinan pengepung itu langsung terjungkal sambil mengaduh kesakitan. Gadis bangsawan yang dia panggul ikut terjatuh. Saat gadis itu hendak lari seorang berpakaian serba hitam lainnya segera mencekal lengan nya. Si pimpinan para pria berbaju hitam itu alangsung bangkit sembari memegangi dahinya yang benjol sebesar telur ayam kampung. Dia langsung menoleh ke arah datangnya serangan. Dari sana empat orang melesat cepat kearah mereka.
Nyi Rondo Dadapan yang melihat salah satu sosok perempuan muda yang sedang di panggul oleh para pengepung itu langsung mengenali nya sebagai Ajeng Ratih, putri Tumenggung Kadipaten Kembang Kuning, Mpu Prajanata. Tak menunggu lama, dia segera meminta kepada Jaka Umbaran dan kawan-kawan untuk menyelamatkan mereka. Mendengar permintaan dari Nyi Rondo Dadapan, Jaka Umbaran dan kawan-kawan langsung melesat ke arah pertarungan sengit yang ada di depan rombongan mereka.
"Lepaskan gadis itu", ucap Jaka Umbaran setelah berhenti 2 tombak jauhnya dari tempat mereka berada. Ki Suradipa, Niluh Wuni dan Sekar Kantil pun menyusul di belakangnya.
"Huh melepaskan nya? Apa kau sudah gila?
Kami susah payah baru bisa mendapatkan nya jadi mana mungkin aku melepaskannya begitu saja? Mimpi kau!", ujar si pimpinan pria berbaju hitam itu sambil membersihkan bajunya yang kotor.
"Kroco seperti kalian memang harus di hajar lebih dulu agar menurut!", selepas berkata demikian, Jaka Umbaran segera melesat ke arah mereka. Para pria berbaju hitam itu segera menyambut kedatangan Jaka Umbaran dan kawan-kawan dengan ayunan senjata mereka masing-masing.
Shhrreeettthhh shreeeeettttthhh..
Dua tebasan pedang dengan cepat terayun ke arah Jaka Umbaran, mengincar leher sang pendekar muda. Mudah saja, Jaka Umbaran segera merubah gerakan tubuhnya dengan menekuk lutut hingga tubuhnya merendah. Dua tebasan pedang itu hanya menyambar angin sejengkal di atas kepala nya.
Lalu menggunakan kedua tangan nya sebagai tumpuan, Jaka Umbaran segera memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan keras kedua kakinya ke arah dua lelaki berpakaian serba hitam yang hendak menerjang maju.
Dhhaaaassshhh dhhaaaassshhh..
Aaauuuuggggghhhhh!!!
Dua orang lelaki bertubuh gempal itu seketika jatuh tersungkur setelah menerima tendangan keras Jaka Umbaran. Dalam waktu singkat seluruh lelaki berpakaian serba hitam itu sudah berhasil di taklukkan oleh Jaka Umbaran dan kawan-kawan, termasuk pemimpin nya. Mereka tergolek pasrah di tanah dengan beberapa luka dan memar yang menghiasi tubuh mereka.
Ajeng Ratih dan adik sepupu nya Nimas Citrawati yang lolos dari penyergapan orang-orang berpakaian serba hitam itu langsung mendekati Jaka Umbaran yang masih menatap ke arah para pria berbaju hitam itu.
"Terimakasih atas bantuannya, Pendekar", ucap Ajeng Ratih dengan lembut.
"Jangan berterimakasih pada ku tapi berterimakasih lah pada Nyi Manik Inten karena dia yang menyuruh kami untuk menolong mu", balas Jaka Umbaran segera. Nyi Manik Inten yang ikut mendekat ke arah Jaka Umbaran dan kawan-kawan, segera menyahut.
"Tidak perlu berterimakasih pada ku Den Ayu. Aku adalah kawan baik ayah mu. Dia sudah sering membantu ku berdagang di Istana Kadipaten Kembang Kuning. Jadi sudah selayaknya aku membalas kebaikannya.
Siapa orang orang ini? Apa Den Ayu mengenalnya?", mendengar perkataan itu, Ajeng Ratih menghela nafas panjang.
"Mereka semua adalah suruhan Patih Kandaga dari Kadipaten Bhumi Sambara. Tumenggung Kandaga menginginkan ku untuk menjadi istrinya tapi aku menolak karena dia sudah beristri.
Berulang kali lamarannya aku tolak tapi dia tidak juga menyerah. Dan saat aku keluar dari Kota Kadipaten Kembang Kuning, orang-orang ini terus membuntuti kami hingga terjadi pertarungan ini", jelas Ajeng Ratih sembari menghela nafas berat.
"Sudah jelas dalam keadaan bahaya, tapi kenapa juga masih nekat keluar dari Kota Kadipaten Kembang Kuning?
Bosan hidup kau?", sahut Sekar Kantil yang sedari tadi hanya diam saja.
"Bukan begitu Nisanak. Kami hanya ingin belajar menjaga diri sendiri dengan berguru kepada pendekar yang ada di barat laut Gunung Pamarihan ini", ujar Ajeng Ratih sembari tersenyum tipis.
Ki Suradipa langsung ikut nimbrung dalam obrolan mereka dengan bertanya,
"Apa kau ingin ke Perguruan Bukit Katong?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 213 Episodes
Comments
Iron Mustapa
😉😉😉😉😉
2024-02-02
1
Roni Sakroni
rondo Dadapan gemoy ya mestinya. sikat dong Umbaran
2024-01-01
2
ahmat saepuloh
mant
2023-11-10
3