Sementara Banupati dan kawan nya bergegas pulang ke markas Perguruan Kelelawar Merah di wilayah Kadipaten Bojonegoro sebelah selatan, rombongan Jaka Umbaran bergerak menuju ke arah Perguruan Bukit Katong di lereng Gunung Pamarihan.
Meskipun baru pertama kali Jaka Umbaran berkuda, namun dia cepat menguasainya. Dia langsung bisa mengendalikan kuda tunggangan nya. Pemuda tampan bertubuh tegap ini memang cerdas.
Setelah melewati jalan setapak yang membelah hutan lebat di kaki Gunung Lawu, mereka berempat terus bergerak ke arah barat. Pemandangan alam yang indah terhampar di depan mata. Ribuan depa persawahan menghijau dengan tanaman padi dan palawija. Terlihat sungai kecil berair jernih membelah persawahan. Beberapa petani dan peladang yang sibuk merawat tanaman, sejenak menghentikan kesibukan mereka kala Jaka Umbaran dan kawan-kawan nya melintas di depan mereka. Lalu mereka melanjutkan kembali kegiatan mereka mengolah tanah dan merawat tanaman.
Mereka tiba di tapal batas Wanua Mantingan yang masuk wilayah Pakuwon Tambak Boyo yang merupakan Kadipaten Lasem sebelah selatan. Kedatangan mereka di perkampungan kecil itu segera menarik perhatian para penduduk, terutama para penjaga keamanan wanua yang merupakan anak buah Jagabaya ( kepala keamanan desa ).
Curiga dengan mereka berempat, dua orang penjaga keamanan wanua ini bergegas mendatangi kediaman Jagabaya. Seorang lelaki paruh baya bertubuh gempal dengan kumis tebal dan jenggot lebat yang sedang duduk di serambi kediamannya langsung berdiri ketika melihat kedatangan dua orang anak buah nya itu.
"Ada apa kalian kemari, Wiryo? Sepertinya ada sesuatu yang penting", tanya si lelaki paruh bertubuh gempal itu segera. Dia adalah Ki Gandung, Jagabaya Wanua Mantingan yang sudah menjadi pimpinan penjaga keamanan wanua kecil itu selama hampir 2 dasawarsa.
"Lapor Ki Jagabaya..
Ada 4 orang 2 lelaki dan 2 perempuan masuk ke wanua kita. Kelihatan nya mereka adalah pendekar. Kami khawatir mereka adalah mata-mata Perampok Topeng Tengkorak yang sedang menjadi momok di wilayah selatan Kadipaten Lasem ini. Soalnya beberapa waktu yang lalu, Wanua Krambilan yang merupakan tetangga kita, juga seperti itu. Mereka kedatangan orang tak dikenal pada siang harinya dan menjadi korban perampokan pada malam harinya", lapor si Wiryo, anak buah kepercayaan Jagabaya Ki Gandung.
Hemmmmmmm..
"Kecurigaan mu memang beralasan, Wiryo. Ayo kita datangi mereka", ujar Ki Gandung Jagabaya Wanua Mantingan sambil mengambil kerisnya yang diletakan di atas meja. Setelah menyelipkan keris di pinggangnya, Ki Gandung bergegas menuju ke arah Jaka Umbaran dan kawan-kawan sesuai dengan petunjuk Wiryo.
Di tengah jalan desa yang cukup ramai, Ki Jagabaya Gandung bersama 8 orang anak buah nya menghadang perjalanan Jaka Umbaran dan kawan-kawan barunya.
"Berhenti kalian semua!!", teriak Ki Jagabaya Gandung sambil berkacak pinggang. Jaka Umbaran dan kawan-kawan nya yang menjalankan kuda mereka dengan perlahan, seketika menarik tali kekang kuda mereka masing-masing hingga tunggangan mereka langsung berhenti bergerak.
Para anak buah Ki Jagabaya Gandung langsung mengepung mereka dengan senjata terhunus.
"Tunggu dulu Kisanak?!!
Kenapa tiba-tiba kalian mengepung kami? Apa salah kami sebenarnya?", tanya Ki Suradipa sembari menatap heran ke arah Ki Jagabaya Gandung dan anak buahnya.
"Kalian semua dicurigai sebagai mata-mata kelompok Rampok Topeng Tengkorak. Lekas turun dari kuda kalian dan ikut kami ke Kelurahan", ujar Ki Jagabaya Gandung dengan garang. Jaka Umbaran segera melompat turun dari kudanya, begitu juga dengan Ki Suradipa, Sekar Kantil dan Niluh Wuni.
"Jangan asal menuduh, Kisanak!!
Kami bukan perampok, hanya sedang lewat tempat ini saja. Jangan sembarangan mencap orang tanpa bukti", Sekar Kantil langsung angkat bicara.
"Tidak peduli!
Sebaiknya kalian di periksa dulu di kediaman Lurah kami dulu. Kalau menolak, terpaksa kami ambil tindakan tegas ", ucap Ki Jagabaya keukeuh dengan omongannya.
"Kalian..."
"Sudahlah, Kantil. Kita ikuti saja apa mau mereka. Sebentar lagi senja. Kalau pun kita bisa mengalahkan mereka, paling-paling kita malah kemalaman di jalan. Nanti setelah di periksa dan terbukti tidak bersalah, maka kita denda mereka untuk mengijinkan kita bermalam di kampung ini", ucap Ki Suradipa sang Pendekar Pedang Kuning segera. Luka dalam nya yang belum sembuh benar, pasti akan terpengaruh jika memaksakan diri untuk bertarung.
Ki Jagabaya Gandung langsung menggiring mereka ke kediaman Lurah Wanua Mantingan, Mpu Lunggah, yang terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk ini.
Di depan sebuah pendopo wanua yang beratapkan daun alang-alang kering dan nampak mencolok dibandingkan dengan rumah warga lainnya, seorang lelaki sepuh dengan janggut pendek yang telah memutih berdiri di depan Jaka Umbaran dan kawan-kawan. Mata tua lelaki itu segera menelisik ujung rambut hingga ujung kaki mereka berempat.
"Katakan pada ku, siapa kalian dan mau apa di kampung kami ini?", tanya Mpu Lunggah sembari menatap ke arah mereka satu persatu.
"Maaf jika kedatangan kami mengganggu kenyamanan para penduduk kampung ini, Ki Lurah.
Saya Ki Suradipa. Dunia persilatan Tanah Jawadwipa mengenal saya sebagai Pendekar Pedang Kuning dari Perguruan Gunung Kapur. Ini Niluh Wuni dan Sekar Kantil, murid saya. Kami semua dalam perjalanan menuju ke arah Perguruan Bukit Katong di lereng Gunung Pamarihan. Kebetulan saja kami melewati wanua ini, jadi kami tidak punya tujuan apa-apa", ujar Ki Suradipa segera.
"Kalau si pemuda bau kencur itu siapa?", Lurah Mpu Lunggah kembali bertanya sambil menunjuk ke arah Jaka Umbaran.
"Nama saya Umbaran. Jaka Umbaran. Saya murid Pertapaan Watu Bolong di Gunung Lawu. Saya bersama Ki Suradipa dan kedua muridnya itu memang dalam perjalanan ke Perguruan Bukit Katong", jawab Jaka Umbaran dengan santun.
Mendengar nama besar Pertapaan Watu Bolong, Ki Lurah Mpu Lunggah sedikit kaget. Dia sudah lama mendengar nama besar pemilik Pertapaan Watu Bolong yang terkenal sakti mandraguna. Jika pemuda itu benar berasal dari sana, tentu ilmu kanuragan nya sangat tinggi.
"Wah ternyata orang Pertapaan Watu Bolong ya? Hehehehe, ini semua hanya salah paham saja kalau begitu. Silahkan diteruskan perjalanannya, semoga selamat sampai tujuan", ujar Lurah Mpu Lunggah sembari tersenyum canggung.
"Ki Lurah, kenapa kau semudah itu melepaskan mereka? Kalau mereka benar-benar mata-mata Rampok Topeng Besi bagaimana?", ucap Ki Jagabaya Gandung yang berdiri di samping kirinya. Meskipun tidak terlalu keras dia bicara, namun masih bisa terdengar oleh telinga semua orang.
Mpu Lunggah langsung menginjak kaki Ki Jagabaya Gandung dengan keras.
Auuuggghhhhh!!
"Ki Lurah, kenapa kau injak jempol kaki ku?", protes Ki Jagabaya Gandung segera. Ki Lurah Mpu Lunggah melotot kereng pada bawahannya itu segera.
"Apa kau berani meragukan keputusan ku heh? Dengar Ki Gandung, pendekar muda ini adalah murid Pertapaan Watu Bolong. Itu berarti dia adalah murid Maharesi Siwamurti, Si Dewa Pertapa Tanpa Tanding, yang pastinya juga memiliki ilmu kanuragan tingkat tinggi.
Andai saja dia kesal dengan ulah mu ini, lantas menghajar mu dengan kemampuan beladiri nya, apa kau sanggup melawannya dengan ilmu mu yang selebar kuku hitam itu ha?", mendengar omelan Ki Lurah Mpu Lunggah, seketika itu juga Ki Jagabaya Gandung langsung terdiam tanpa bicara. Dia segera sadar dengan kesalahannya.
"Mohon maafkan kelakuan bodoh bawahan ku pendekar..
Mohon jangan dimasukkan ke dalam hati", imbuh Ki Lurah Mpu Lunggah segera.
"Tidak apa-apa, Ki Lurah..
Aku jadi penasaran dengan kelompok rampok ini? Apa mereka begitu digjaya hingga sangat di takuti oleh semua orang?", ujar Jaka Umbaran sembari mengelus dagunya.
"Eh anu sebaiknya kita bicara di dalam saja. Hari sudah mulai gelap. Saya takut ada mata dan telinga mereka yang menguping pembicaraan kita ini. Mari masuk pendekar", ucap Mpu Lunggah mempersilahkan kepada Jaka Umbaran dan para pengikutnya untuk masuk ke dalam kediamannya.
Senja hari datang begitu cepat dan langsung berganti dengan malam. Meskipun semburat merah masih tampak di ufuk barat, namun perlahan gelap sang malam mulai menelan semuanya dengan pelukannya yang dingin.
Sesampainya di dalam rumah, mereka segera duduk bersila di atas tikar pandan yang di gelar pada lantai rumah Lurah Wanua Mantingan yang terbuat dari ubin batu kali. Ki Lurah Mpu Lunggah menepuk tangannya dua kali dan dua orang gadis muda berambut hitam panjang masuk ke dalam sambil membawa kendi berisi air minum dan beberapa penganan khas tempat itu.
Salah satu dari dua gadis cantik itu adalah Wandansari, putri Lurah Wanua Mantingan yang juga merupakan kembang desa yang banyak di puja oleh para lelaki. Konon kabarnya, putra Akuwu Tambak Boyo yang bernama Raden Rukmo begitu tergila-gila pada Wandansari namun entah mengapa hingga saat ini Wandansari masih juga belum mau naik ke pelaminan bersama nya.
Sembari menghidangkan makanan, mata Wandansari langsung tertuju pada wajah tampan Jaka Umbaran yang memang jauh jika dibandingkan dengan Raden Rukmo putra Akuwu Tambak Boyo apalagi para pemuda desa di Wanua Mantingan.
Jantung perempuan cantik itu langsung berdegup kencang seolah mau lepas. Di tengah kebengongan itu, pelayan satunya segera menyenggolnya tangan Wandansari hingga perawan cantik itu segera tersadar dari lamunannya. Dengan wajah memerah seperti kepiting rebus, Wandansari segera bergegas meninggalkan ruang tamu bersama dengan kawannya.
Kejadian ini juga menarik perhatian Niluh Wuni. Gadis cantik berbaju hitam dengan selendang kuning melintang di depan dada itu mendengus dingin sembari menatap tajam ke arah Jaka Umbaran.
"Belum belum sudah ada yang tebar pesona nih", sindir Niluh Wuni yang panas hatinya melihat Wandansari menyukai Jaka Umbaran. Dia tidak suka jika ada perempuan lain yang menaruh hati pada pemuda tampan itu.
"Apa maksud mu Kangmbok Wuni? Siapa yang tebar pesona? Aku tidak kok", sahut Sekar Kantil segera.
"Tentu saja bukan kau, tapi ada orang sok ganteng yang selalu membuat kesempatan untuk mendekati para perempuan yang dijumpainya", kembali Niluh Wuni bicara dengan nada pedas.
Jaka Umbaran yang duduk bersila tak jauh dari tempat duduk Niluh Wuni hanya diam saja tak menanggapi omongan perempuan cantik itu. Dia selalu mengingat pesan gurunya bahwa perempuan itu tak pernah menggunakan akal sehat jika sedang marah. Jadi abaikan saja, begitu kata Maharesi Siwamurti.
"Kalian berdua jangan ribut sendiri. Tutup mulut dan dengarkan saja", bentak lirih Ki Suradipa yang membuat Niluh Wuni dan Sekar Kantil terdiam seketika.
"Menyambung pembicaraan kita tadi, aku ingin sedikit berbagi cerita tentang situasi di seputar Pakuwon Tambak Boyo hari ini pendekar.
Beberapa pekan terakhir, muncul sekelompok orang yang menamakan dirinya sebagai Rampok Topeng Tengkorak karena selalu mengenakan topeng berbentuk tengkorak saat beraksi. Pimpinan mereka adalah sebuah pendekar yang memiliki ilmu kedigdayaan tinggi, Setan Topeng Tengkorak Besi. Mereka sanggup membuat para prajurit Pakuwon Tambak Boyo kocar-kacir menghadapi mereka. Dalam beraksi, mereka bergerak cepat, memporak-porandakan incaran mereka lalu menghilang seperti di telan bumi.
Ada desas desus yang menjadi rahasia umum bahwa markas besar mereka ada di kawasan Hutan Gomati yang merupakan hutan angker karena banyak dihuni oleh bangsa siluman. Karena itu, tak satupun punggawa Istana Pakuwon Tambak Boyo dan para prajurit nya berani untuk masuk kesana.
Kami sudah berencana untuk meminta bantuan pada pihak Kadipaten Lasem, tapi selalu saja ada hal yang mengganggu hingga terpaksa harus ditunda, pendekar", ujar Lurah Mpu Lunggah mengakhiri omongan nya.
Hemmmmmmm...
"Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut begitu saja, harus ada yang bisa mengatasi para perampok itu agar ketentraman masyarakat Wanua Mantingan dan sekitarnya kembali pulih seperti sedia kala", ujar Jaka Umbaran menanggapi omongan Lurah Mpu Lunggah.
"Kau benar Pendekar..
Tapi siapa orang nya? Sudah berpuluh pendekar kami sewa untuk membasmi mereka namun nyatanya malah pulang tanpa nyawa.
Jujur saja kami semua sudah putus asa menghadapi para perampok itu", balas Mpu Lunggah dengan nada memelas.
Belum sempat Jaka Umbaran menyahut omongan Lurah Mpu Lunggah, tiba-tiba...
Thhoonngggg thhongg thhoonggg!!!
"Rampok Topeng Tengkorak menyerang kampung!!!
Rampok Topeng Tengkorak menyerang kampung!!!!", teriak keras terdengar dari arah luar rumah sambil diikuti oleh titir kentongan bertalu-talu. Semua orang terkejut bukan main mendengar suara itu dan bergegas keluar dari dalam rumah. Dari arah Utara, mereka melihat kobaran api membumbung tinggi ke angkasa.
Tanpa menunggu lama lagi, Jaka Umbaran segera menjejak tanah dengan keras lalu tubuhnya melenting tinggi ke udara. Melihat itu, semua orang terpana beberapa saat lamanya sebelum kemudian mereka mencabut senjata mereka masing-masing lalu bergegas meninggalkan kediaman Mpu Lunggah menuju ke arah terjadinya kebakaran.
Dari udara, Jaka Umbaran melihat keadaan yang ada di bawahnya. Matanya melebar melihat apa yang sedang terjadi.
Puluhan orang berbadan besar dengan mengenakan topeng tengkorak yang menutupi separuh wajahnya membantai para penduduk yang mereka temui. Beberapa orang terlihat mengeluarkan beraneka harta benda para penduduk Wanua Mantingan yang mereka rampok. Sementara seorang lelaki bertubuh gempal dengan wajah tertunduk tengkorak besi dengan dua tanduk melengkung nampak duduk di atas kuda sambil mengawasi pekerjaan anak buah nya.
Jaka Umbaran segera meluncur turun ke arah lelaki bertopeng tengkorak besi itu sembari menghantamkan tapak tangan kanan nya yang di lambari tenaga dalam tingkat tinggi.
Whhhuuuggghhhh!!
Meskipun cahaya obor pelita dan rembulan separuh yang menggantung di langit tak cukup jelas menerangi, namun si lelaki bertopeng tengkorak besi itu melihat juga kedatangan serangan cepat Jaka Umbaran. Dia langsung mengangkat tangan kirinya yang memakai pelindung besi untuk bertahan.
Blllaaaaaaaaaarrrrrrrrrrr!!!
Si topeng tengkorak besi itu langsung terlempar dari atas kudanya. Menggunakan pedang besar nya, dengan cepat ia menusukkan nya ke tanah hingga gerakan tubuhnya berubah memutar lalu mendarat di tanah meski sempat tersurut mundur beberapa tombak ke belakang.
Melihat pimpinan nya di serang, para anggota Rampok Topeng Tengkorak langsung melupakan urusan mereka dan menerjang maju ke arah Jaka Umbaran dengan senjata terayun ke arah sang pendekar muda.
Shhrreeettthhh shreeeeettttthhh!!
Jaka Umbaran segera menjejak tanah dan bergerak mundur sembari menghantamkan tapak tangan kanan nya yang berwarna putih kebiruan kearah mereka.
"Ajian Guntur Saketi...
Hiiyyyyyyyaaaaaaaaaaaaaat...!!!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 213 Episodes
Comments
aim pacina
🙏👍👍🫰
2024-06-20
1
aim pacina
🤲👌🔥🔥
2024-06-20
0
Aifa 2 Jeddah
mantap
2024-03-20
2