Sendang Inten sebuah kolam kecil berpagar pepohonan besar yang terletak di kaki Gunung Lawu. Meskipun terlihat seperti telaga kecil biasa, namun ada sesuatu yang berbeda bagi para pendekar yang mengerti ilmu kebatinan tingkat tinggi. Di tempat itu, sejak jaman awal peradaban, di percaya oleh para warga masyarakat di sekitarnya sebagai tempat berkumpulnya kekuatan ghaib yang ada di Gunung Lawu.
Kedatangan Jaka Umbaran ke telaga kecil itu sontak membuat sepasang makhluk tak kasat mata yang telah ratusan tahun menghuni sebatang pohon beringin besar yang ada di dekat tempat itu terpancing emosi. Keduanya adalah Pancer dan Suketi, sepasang siluman yang memiliki wujud aneh. Pancer berwujud manusia tinggi besar dengan kulit merah yang menakutkan, sedangkan Suketi berwujud seorang perempuan kecil berkulit sawo matang yang tingginya hanya seketiak suaminya. Keduanya sering muncul di alam nyata sebagai sepasang kera yang terlihat bermain di pohon beringin besar ini.
"Apa mau manusia itu Kakang Pancer? Kenapa dia berendam di Sendang Inten?", ujar Suketi sembari menunjuk ke arah Jaka Umbaran yang sedang duduk bersila di tengah Sendang Inten. Tubuh pemuda tampan itu separuh tenggelam di dalam telaga kecil nan jernih ini.
"Sepertinya dia mau bertapa, Nini Suketi..
Sudah biarkan saja, paling-paling cuma kuat dua hari sudah menyerah. Manusia tidak akan sanggup bertahan begitu lama dalam air Sendang Inten apalagi dengan udara Gunung Lawu yang begini dingin", ucap Pancer sembari melompat ke arah cabang pohon besar yang ada di dekatnya. Suketi sekilas melihat Jaka Umbaran sebelum dia mengikuti langkah sang suami untuk kembali ke sarangnya.
Sore berlalu begitu saja. Udara panas di sekitar Gunung Lawu seketika berganti dengan dingin yang menggigit. Apalagi kala malam mulai menyelimuti seluruh tempat itu.
Jaka Umbaran yang sedang duduk bersila di dalam Sendang Inten, harus mati-matian menahan rasa dingin yang menyerang tubuhnya. Menjelang pagi hari, suhu udara di sekitar tempat itu menurun drastis hingga terasa semakin menyiksa tubuh pemuda tampan itu.
Akhirnya matahari pagi muncul juga di ufuk timur. Cahaya jingga kemerahan perlahan tapi pasti mulai membuat seisi jagat raya terlihat indah bersama terusir nya sang malam yang dingin mencengkeram bumi. Cericit burung berkicau di ranting pohon beringin besar di sisi timur Sendang Inten, semakin menambah suasana indah di pagi hari itu.
Suketi dalam wujud monyet kecil itu sekilas melihat ke arah Jaka Umbaran yang masih tetap duduk bertapa di dalam Sendang Inten.
'Ah paling besok dia sudah tidak kuat. Abaikan saja lah', batin siluman betina itu sambil melompat meninggalkan tempat tinggalnya, melompat dari satu dahan ke dahan pohon besar lainnya untuk mencari makanan di rimbunnya hutan kaki Gunung Lawu.
Hari berganti dengan cepat. Tak terasa sudah 2 pekan berlalu sejak Jaka Umbaran mulai bertapa di Sendang Inten. Tubuhnya telah terbiasa dengan panas yang menyengat pada siang hari dan dingin yang menusuk tulang di malam hari dalam keadaan berendam di telaga kecil ini. Suketi mulai tertarik untuk mencoba mendekati Jaka Umbaran. Sesekali ia berjalan mendekati Sendang Inten karena ingin mengganggu tapa brata Jaka Umbaran namun dia tidak berani untuk menyentuhnya langsung. Beberapa kali ia melempari batu kerikil kecil pada tubuh manusia itu untuk mengganggu nya namun sedikitpun Jaka Umbaran tidak bergeming sedikitpun dari tempatnya semula.
Menjelang satu purnama, gangguan yang diterima dari Suketi semakin bertambah. Dia semakin berani untuk langsung mengacau di Sendang Inten. Bukan Suketi saja yang melakukannya, bahkan suaminya Pancer semakin sering ikut-ikutan membuat ulah. Tapa brata Jaka Umbaran memang mengganggu kehidupan para siluman di sekitar Gunung Lawu.
Semakin lama Jaka Umbaran bertapa, semakin banyak siluman yang berdatangan ke Sendang Inten karena merasa gerah dengan aura panas yang keluar dari tubuh manusia yang bertapa di telaga kecil ini. Tak hanya Suketi dan Pancer, puluhan siluman seperti siluman ular, siluman kijang, siluman musang, siluman kelinci hingga siluman kelabang mendatangi Sendang Inten agar tapa brata Jaka Umbaran segera berakhir. Suara suara aneh seperti orang minta tolong, anak kecil yang sedang menangis hingga tawa terbahak-bahak terdengar di telinga Jaka Umbaran namun sang pemuda tampan itu tak juga terpengaruh oleh semua itu.
Pada hari ketiga puluh sembilan pertapaan Jaka Umbaran, beberapa siluman yang tidak dapat menahan diri lagi karena semakin panasnya udara di sekitar Sendang Inten akhirnya bersepakat untuk mengganggu tapa brata Jaka Umbaran secara langsung.
"Kita tidak boleh bersabar lagi dengan orang ini. Kita harus segera mengusirnya keluar dari tempat pertapaan nya agar tempat tinggal kita kembali seperti semula", ujar siluman kalajengking sembari menunjuk ke arah Jaka Umbaran di dalam Sendang Inten.
"Aku setuju dengan pendapat mu, Kala..
Biar aku dulu yang mencoba untuk membangunkan tapa brata nya", ucap siluman gagak sembari melesat cepat kearah Jaka Umbaran yang tetap tak bergeming sedikitpun dari tempatnya bertapa.
Siluman gagak ini segera mengayunkan cakarnya ke arah Jaka Umbaran.
Shhhrrrraaaaaakkkkkkh!!
Namun saat cakar tangan siluman gagak menyentuhnya, seketika itu juga dia terpental jauh ke belakang dan nyaris menimpa kawannya sendiri. Jemari cakarnya putus seperti terbakar dan putus sebuah.
Melihat itu, kawannya yang lain, siluman elang dan siluman kalajengking langsung melesat maju bersamaan ke arah Jaka Umbaran. Siluman kalajengking bersenjatakan capit besar dan siluman elang mengandalkan sepasang cakar tangan nya mengayunkan senjata andalannya ke arah sang murid Maharesi Siwamurti ini.
Chhrraaaaakkkkkkk....
Shhhrrrraaaaaakkkkkkh!!!!
Aaaarrrgggggghhhhh.... !!!!
Kedua siluman itu menjerit keras saat serangan mereka menyentuh kulit sang pemuda tampan yang sedang bertapa di dalam Sendang Inten ini. Keduanya mental dan mencelat jauh ke belakang. Dua siluman itu meraung kesakitan karena senjata mereka yang merupakan bagian dari tubuh mereka gosong seperti terbakar api. Daya linuwih yang tercipta dari pertapaan Jaka Umbaran membuat tubuhnya seperti memiliki pelindung gaib yang tak terlihat, yang tak mampu di tembus oleh para siluman.
Para siluman terus bergantian mengganggu tapa brata Jaka Umbaran termasuk Suketi dan Pancer suaminya. Namun semua usaha para siluman Gunung Lawu ini sia-sia belaka karena tak satupun dari mereka ada yang mampu mengacaukan tapa brata murid Maharesi Siwamurti ini.
Pagi menjelang tiba di kawasan Gunung Lawu dan sekitarnya. Cahaya mentari pagi indah bersinar di ufuk timur, perlahan mengusir embun yang ada di pucuk-pucuk daun. Semilir angin dingin yang berdesir dari arah selatan membuat suasana dingin semakin terasa di Pertapaan Watu Bolong.
Pagi itu, selepas melakukan puja bakti pada Sang Hyang Akarya Jagat, Maharesi Siwamurti beringsut dari sanggar pamujan nya setelah menaburkan bebungaan dan kemenyan pada anglo tanah liat sehingga asap putih berbau harum menyebar ke sekeliling Pertapaan Watu Bolong.
Sembari menapaki tangga turun dari batu berwarna hitam, Maharesi Siwamurti menggerakkan jemari tangannya. Dia terlihat seperti sedang menghitung sesuatu. Tiba-tiba hitungan nya berhenti dan dia tersenyum simpul.
"Sudah 40 hari rupanya..
Hehehehe, sudah waktunya bagi ku untuk membangunkan tapa brata Jaka Umbaran murid ku..", ucap Maharesi Siwamurti lirih. Setelah itu, sang pertapa tua itu segera melesat cepat bagaikan terbang di atas pucuk pohon yang tumbuh di lereng Gunung Lawu ini ke arah Utara.
Hanya dalam waktu singkat saja, Maharesi Siwamurti sampai di Sendang Inten. Kedatangan pertapa tua itu segera membuat para siluman yang mengerubungi Sendang Inten semburat kabur menyelamatkan diri. Tentu saja mereka semua tidak ada yang berani untuk menantang pertapa tua ini karena dia memiliki sebuah ajian yang bisa membuat siluman terbunuh dengan sekali serang.
Begitu sampai di tepi Sendang Inten, Maharesi Siwamurti terus berjalan tanpa mempedulikan para siluman yang mengintip dari kejauhan. Ajaibnya, Maharesi Siwamurti menapakkan permukaan air telaga kecil ini seperti berjalan di daratan saja. Bahkan kakinya pun tak basah sama sekali.
Maharesi Siwamurti segera berhenti tepat di depan tempat Jaka Umbaran bertapa.
"Ngger Cah Bagus Jaka Umbaran..
Bangunlah dari tapa brata mu Ngger, kewajiban mu sudah selesai..", ucap Maharesi Siwamurti dengan suara berat nan berwibawa.
Mendengar suara itu, Jaka Umbaran perlahan mulai membuka matanya. Begitu melihat kedatangan Maharesi Siwamurti, dia tersenyum tipis dari bibirnya yang pucat. Lalu dengan sigap, dia bangkit dan menghormat pada sang guru.
"Sembah bakti saya Guru", ucap Jaka Umbaran segera.
"Hehehehe benar-benar murid berbakti..
Sekarang kau ikut aku untuk menerima apa yang sudah ku janjikan kepada mu 40 hari yang lalu..", usai berkata demikian, Maharesi Siwamurti segera menarik tangan kiri Jaka Umbaran dan membawanya terbang ke arah puncak Gunung Lawu.
Suketi dan Pancer suaminya segera mengikuti langkah sang pertapa. Keduanya segera melesat cepat mengejar arah perginya Maharesi Siwamurti dan Jaka Umbaran.
Di salah satu puncak Gunung Lawu, tepatnya di salah satu wilayah yang disebut dengan nama Repat Kepanasan atau juga bisa disebut sebagai Cakrasurya, Maharesi Siwamurti menghentikan langkahnya. Tepatnya di salah satu ujung tebing batu dekat jurang yang dalam, Maharesi Siwamurti meminta Jaka Umbaran untuk duduk disana.
"Umbaran, hari ini aku akan menurunkan Ajian Lebur Saketi sebagai pelengkap Ajian Guntur Saketi. Jika Guntur Saketi kau gunakan untuk melindungi diri dari manusia, maka Lebur Saketi kau pakai untuk menghadapi bangsa siluman.
Bijaksana lah Ngger Cah Bagus dalam menggunakannya", ujar Maharesi Siwamurti sembari tersenyum tipis.
"Murid patuh kepada semua perintah guru", ujar Jaka Umbaran sembari menghormat pada sang guru.
Mendengar jawaban itu, Maharesi Siwamurti tersenyum lebar. Perlahan dia memindahkan tasbih biji genitri berwarna kecoklatan yang selalu berada di tangan kanannya ke tangan kiri. Sementara mulut pertapa sepuh berjenggot putih panjang itu komat-kamit membaca mantra. Di telapak tangan kanan nya memancarkan cahaya biru kekuningan yang cukup menyilaukan mata.
"Kosongkan seluruh pikiran mu, Ngger Cah Bagus. Buka 9 lubang tubuh mu dan biarkan hawa kehidupan alam semesta merasuk kedalam nya..", perintah Maharesi Siwamurti segera. Jaka Umbaran segera melakukan perintah dari gurunya.
Sembari terus menerus membaca mantra, tangan kanan Maharesi Siwamurti segera diletakkan pada ubun-ubun kepala Jaka Umbaran. Seketika cahaya biru kekuningan itu menyebar ke seluruh bagian tubuh pemuda tampan ini. Tubuh Jaka Umbaran bergetar hebat dan keringat dingin mulai mengucur deras dari setiap pori-pori kulit.
Setelah Ajian Lebur Saketi bersatu dengan tubuh Jaka Umbaran, Maharesi Siwamurti melepaskan tangannya dari ubun-ubun kepala pemuda ini. Jaka Umbaran langsung menghela nafas lega karena hawa panas yang dirasakan oleh setiap bagian tubuh nya berangsur menghilang. Namun pemuda itu segera memejamkan mata untuk menata jalan nafas dan aliran darah nya.
Di saat yang bersamaan, Suketi dan Pancer sepasang siluman kera yang mengikuti mereka sampai di tempat itu. Ini tak lepas dari pengamatan Maharesi Siwamurti. Pertapa tua itu segera tersenyum penuh arti.
"Umbaran, buka mata mu.. Dan lihat lah, di alam nyata ini ada beberapa makhluk tak kasat mata.
Coba kamu temukan mereka..", ucap Maharesi Siwamurti segera. Jaka Umbaran dengan patuh membuka mata. Pupil matanya seketika mengeluarkan cahaya kuning keemasan. Segera dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu dan menemukan Suketi dan Pancer sedang mengawasi mereka berdua dalam wujud monyet.
"Guru, dua ekor monyet itu...", Jaka Umbaran menoleh ke arah Maharesi Siwamurti dan pertapa tua itu segera tersenyum sembari menganggukkan kepalanya.
"Kau bisa menguji kemampuan Ajian Lebur Saketi pada mereka", mendengar jawaban itu, Jaka Umbaran segera menghormat pada gurunya sebelum melesat cepat kearah Suketi dan Pancer. Dua siluman kera ini terkejut bukan main melihat kedatangan Jaka Umbaran.
"Kenapa kalian berdua mengikuti ku kemari?", tanya Jaka Umbaran segera.
"Ka-kakang Pancer..
Di-dia bisa melihat wujud kita yang sebenarnya", Suketi gagap berbicara saking gugupnya.
"Huhhhhh, memangnya kenapa kalau dia bisa melihat wujud kita Suketi?
Aku sudah tidak tahan lagi untuk menghajar manusia busuk ini..", ujar Pancer sembari melesat cepat kearah Jaka Umbaran. Tubuhnya seketika berubah menjadi sesosok makhluk tinggi besar dengan kulit kemerahan dengan wajah menyeramkan. Sembari menggeram keras, Pancer menghantamkan tangan kanannya ke arah Jaka Umbaran.
Hoooaaarrrrrrggggghhhhh!!!
Whhhuuuggghhhh!!!
Jaka Umbaran segera berkelit menghindari hantaman Pancer. Pemuda tampan itu segera memutar tubuhnya dan melayangkan tendangan keras pinggang Pancer.
Bhhhuuuuuuggggh!!
Pancer hanya menyeringai lebar sembari menoleh ke arah Jaka Umbaran karena tendangan keras dari sang pemuda tampan itu sama sekali tidak terasa apa-apa baginya.
"Hanya itu saja kemampuan mu? Kau akan segera mati!!", teriak Pancer semakin beringas menerjang ke arah Jaka Umbaran. Pertarungan sengit antara mereka berlangsung seru di Repat Kepanasan.
Setelah beberapa jurus berlalu dan Jaka Umbaran masih belum bisa menjatuhkan Pancer, pemuda tampan itu segera melompat mundur ke belakang. Mulutnya komat-kamit merapal mantra Ajian Lebur Saketi. Dia ingin menjajal kemampuan ajian kanuragan yang baru saja diterimanya.
Dengan tapak tangan kanan yang memancarkan cahaya biru kekuningan, Jaka Umbaran menerjang maju ke arah Pancer. Awalnya Pancer begitu percaya diri menghadapi Jaka Umbaran namun teriakan keras Suketi langsung menyadarkan siluman kera ini.
"Awas Kakang, i-itu Ajian Lebur Saketi!!!"
Muka Pancer pucat seketika saat tapak tangan kanan Jaka Umbaran menghantam dada nya.
Blllaaammmmmmmm...
AAAARRRGGGGGGHHHHH!!!
Pancer meraung keras saat itu juga. Tubuhnya yang besar sekali terlempar jauh ke belakang dan menghantam batu besar di tebing Repat Kepanasan. Seketika wujudnya berubah menjadi seekor monyet kecil yang kemudian berubah lagi menjadi sebuah cincin dengan permata merah. Di dalam permata merah ini ada wujud seekor monyet kecil yang sedang tidur bergelung.
Jaka Umbaran segera melesat cepat mendekati cincin itu. Ia pun segera memungut nya sembari memperhatikan cincin bermata permata merah ini. Maharesi Siwamurti segera mendekati Jaka Umbaran yang sedang menimang cincin itu.
"Jagad Dewa Batara..
Ini adalah takdir, Ngger Cah Bagus", ucap Maharesi Siwamurti sembari tersenyum simpul. Jaka Umbaran yang tidak mengerti apa maksud omongan gurunya segera bertanya,
"Apa maksud omongan Guru??"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 213 Episodes
Comments
Wan Trado
suaminya butho ijo
2025-01-08
0
Iron Mustapa
😉😉😉😉
2024-02-01
2
rajes salam lubis
mantap
2024-01-11
1