Jaemin menatap anak baru yang saat ini duduk di belakangnya. Gadis aneh yang berpura-pura buta dari awal kedatangannya di sekolah ini. Gadis aneh yang dengan mudah mengetahui berbagai hal yang telah terjadi belakangan ini kelas mereka.
Gadis itu tertidur pulas di bangku yang berada tepat di belakang bangku miliknya. Laki-laki itu sengaja membalik posisi bangku yang didudukinya agar bisa berhadapan dengan bangku milik gadis itu.
“Lama-lama muka kepalaku bocor karena kamu lihat terus.”
Laki-laki itu tersentak. Gadis itu benar-benar tidur seperti orang mati sebelumnya, tapi ia bisa mengetahui dengan persis apa yang terjadi di sekitarnya saat ini.
“Tujuan kamu ke sini mau apa?”
“Eum... Nggak ngapa-ngapain,” gadis itu mengubah posisinya jadi duduk dan menatap tajam ke arah Haechan,
“Cuma iseng aja. Lagi pula aku juga tidak begitu tertarik untuk terlibat dengan lingkaran kutukan kematian di kelas ini. Aku hanya ingin mengamati, jarang-jarang ada kutukan dalam skala besar seperti ini,” ucap gadis itu tanpa rasa bersalah.
Jaemin melongo begitu mendengar tujuan gadis itu datang ke kelasnya. Dengan kesal ia membalikkan kembali bangkunya menghadap ke depan dan memunggungi gadis itu.
Gadis yang di punggungi hanya menaikkan kedua bahunya sebentar dan berekspresi tak acuh dengan kelakuan laki-laki yang saat ini sudah memunggunginya. Ia kembali meletakkan kedua tangannya di atas meja, disusul dengan kepalanya. Ia melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu oleh laki-laki yang tengah merajuk di depannya itu.
***
Jaemin kembali membuka buku usang dengan sampul berwarna hitam yang akhir-akhir ini selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Perasaan takut, gelisah dan khawatir selalu menyelimutinya ketika ia hendak membuka buku itu. Bahkan tangan laki-laki itu sampai gemetar.
Belum sampai buku itu terbuku, gadis yang ia bahkan tidak tahu namanya itu memegang tangannya yang sudah hampir membuka buku itu. Ia menghentikan pergerakan tangan laki-laki itu untuk membuka buku hitam yang ia letakkan di atas mejanya saat ini.
Tentu saja Jaemin terkejut dengan apa yang dilakukan gadis itu. Setelah Jaemin mengalihkan tatapannya pada pelaku yang menahan pergerakan tangannya untuk membuka buku itu, ia sedikit kesal. Ia memutar matanya malas, lalu menyingkirkan tangan gadis itu. Ia benar-benar ingin membuka buku itu.
“Kim Sihun.”
Jaemin terdiam. Niatnya untuk membuka buku itu kembali gagal setelah ia mendengar sebuah nama yang keluar dari bibir gadis itu.
“AAHHGG!”
Seluruh murid di kelas itu berlari ke luar dari ruang kelas begitu mendengar seseorang menjerit. Ketegangan dan ketakutan makin terasa di dalam kelas itu hari demi harinya. Satu teriakan saja mampu membuat seluruh murid-murid di dalam kelas itu merasa panik.
Jaemin tidak jadi membuka buku itu. Ia memasukkan kembali buku itu ke dalam tas miliknya dan ikut melangkah keluar kelas. Ia juga penasaran apa yang terjadi di luar sana.
***
Tepat di depan koridor kelasnya, Jaemin bisa melihat banyak sekali siswa-siswi yang berkerumun. Entah apa yang terjadi di sana, tapi melihat keributan yang ada di sana, tampaknya bukan hal baik.
Laki-laki itu berjalan mendekat ke arah kerumunan yang langsung menghindarinya begitu laki-laki itu tiba di sana. Orang-orang menghindari laki-laki itu dan anak-anak yang berasal dari kelasnya seolah mereka semua adalah kotoran. Mereka termakan rumor yang mengatakan akan terkena kutukan jika dekat-dekat dengan penghuni kelas itu.
Jaemin tampak tidak begitu peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh siswa/siswi dari kelas lain setelah beberapa siswa/siswi di kelasnya yang meregang nyawa dalam waktu yang berdekatan.
Tatapan laki-laki itu membulat begitu melihat Kim Sihun terkapar tidak berdaya di sana dengan kepala yang terus mengeluarkan darah. Tidak ada satu pun dari antara siswa /siswi di sekitarnya yang mau menolong laki-laki yang sudah dalam kondisi sekarat itu. Bahkan ia ragu jika ada di antara mereka yang sudah memanggil guru dan kepala sekolah terkait masalah ini.
Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya dan segera menelepon kepala sekolah. Ia menatap nyalang pada orang-orang yang ada di sekitarnya itu. Miris memang, mereka semua berlaku seolah-olah manusia paling suci yang takut terciprat oleh noda sampai dengan tega membiarkan sesama mereka nyaris meregang nyawa di depan kedua mata mereka.
Laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada teman-teman sekelasnya yang tidak jauh beda kelakuannya dengan siswa/siswi dari kelas lain. Mereka tidak ada satu pun yang berinisiatif menolong laki-laki yang terkapar tidak berdaya dengan kepala yang terus mengeluarkan darah sejak tadi. Mereka malah sibuk mengkhawatirkan nasib mereka sendiri.
Setelah selesai menghubungi kepala sekolah, laki-laki itu menatap Kim Sihun yang saat ini tidak sadarkan diri. Ia melangkah mendekati laki-laki itu. Ia ingin membantu laki-laki itu, tapi tidak tahu harus berbuat apa, tidak ada sesuatu yang bisa ia gunakan saat ini untuk membantu menghentikan perdarahan pada bagian kepala laki-laki itu.
Jaemin menatap nanar sebuah pot bunga dari keramik yang telah pecah dan berada tidak jauh dari posisi laki-laki itu saat ini. Ia mengalihkan pandangannya pada lantai dua gedung sekolahnya, sambil menduga-duga bagaimana laki-laki itu bisa sampai seperti ini.
Ia bernapas lega begitu pihak sekolah dan mobil ambulans telah datang untuk membantu proses evakuasi dan penyelamatan teman sekelasnya itu. Ia memang sedikit sakit hati dengan laki-laki yang sekarang terkapar tidak berdaya itu. Tapi ia tidak bisa jika laki-laki itu harus meregang nyawa di depan kedua matanya, sama seperti sahabatnya dulu.
Kim Sihun segera dilarikan ke rumah sakit terdekat setelah ambulans datang. Sejujurnya Jaemin sedikit berharap laki-laki itu selamat.
Jaemin melangkahkan kedua kakinya memasuki ruang kelas begitu ambulans yang membawa Kim Sihun telah meninggalkan lingkungan sekolah. Ia bisa mendengar rumor kutukan di kelasnya kembali disangkutpautkan dengan kecelakaan yang menimpa teman sekelasnya itu. Mungkin jahat, tapi ia sedikit berharap anak-anak dari kelas lain pun merasakan apa yang sedang ia alami bersama teman-teman sekelasnya saat ini.
Bukan hal yang menyenangkan melihat teman-teman satu kelas dengannya, satu persatu meregang nyawa. Apalagi mereka harus diperhadapkan dengan fakta bahwa mereka bisa saja menjadi korban selanjutnya.
Ia tahu bahwa setelah ini mereka akan kembali diperhadapkan dengan keinginan pihak sekolah dan para orang tua murid untuk memindahkan anak-anak mereka dari sekolah ini, baik itu murid dari kelasnya atau pun yang berasal dari kelas lain. Bukannya ia tidak mengerti alasan mengapa mereka seperti itu, tapi mereka juga dalam posisi tidak bisa meninggalkan sekolah yang mereka tempati saat ini. Mereka bahkan tidak boleh membuka mulutnya pada siapa pun tentang bagaimana keadaan kelas mereka dan apa saja yang terjadi di dalam sana. Hal itu tentu sangat menyulitkan posisi mereka saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments