Hari mulai gelap. Suasana di dalam sekolah jelas lebih menyeramkan dibandingkan dengan ketika hari masih siang. Meskipun semua ruangan, koridor dan jalan-jalan setapak menuju gerbang sekolah diberi lampu, tetap saja penerangan itu tidak sebanding dengan terangnya cahaya matahari. Selalu ada kegelapan yang di tiap sisi yang dihasilkan.
Subin masih ada di dalam kelasnya sejak tadi. Ia tidak beranjak dari dalam kelas itu bahkan setelah bel pulang telah berbunyi. Ia benar-benar putus asa, tidak tahu harus melakukan apa. Apalagi namanya telah tertulis di dalam buku usang yang menulis daftar nama-nama teman sekelas mereka yang sudah meninggal.
Ia tahu dengan jelas bahwa buku itu menulis nama-nama teman sekelasnya yang akan meninggal, sebelum akhirnya mereka benar-benar meninggal. Seperti yang terjadi pada Mark Lee, korban pertama yang jatuh di dalam kelas itu.
Subin meringkuk di sudut ruangan, laki-laki itu bahkan tidak menyalakan lampu di dalam ruang kelasnya saking linglungnya. Ia membiarkan kegelapan menghiasi ruang kelasnya itu, meskipun cahaya dari bulan sedikit menghalau kegelapan itu agar tidak menutupi ruang kelas itu dengan kegelapan.
Laki-laki itu memeluk lututnya sambil duduk dengan tatapan datar di pojok kelasnya. Ia masih sangat syok setelah mendengar telepon dari ayahnya dan mendengar bahwa namanya ada di dalam buku usang yang dibawa oleh Jaemin tadi. Ia benar-benar merasa bahwa hidupnya telah berakhir dan tidak lagi ada kesempatan baginya untuk tetap hidup sekarang.
***
Bulu kuduk laki-laki itu berdiri. Ia merinding seakan-akan sesuatu yang buruk baru saja melewatinya. Ia merasa sedang diawasi oleh seseorang, tapi ia tidak melihat siapa pun di dalam ruangan itu selain dirinya.
Ruang kelasnya begitu gelap, ia bahkan tidak mendengarkan langkah kaki seseorang memasuki ruangan itu sejak tadi. Tapi entah mengapa ia merasa seolah-olah dia tidak sendirian di dalam ruangan itu. Seakan-akan ada sesuatu yang tak kasat mata tengah menemaninya saat ini di dalam ruangan itu.
Subin mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, tapi ia tidak melihat apa pun selain kegelapan di dalam ruangan itu, dan bangku dan meja yang terlihat dengan jelas akibat sinar dari rembulan di malam itu. Rasa takut menghampiri laki-laki itu sekarang. Ia bahkan merutuki kebodohannya yang tidak langsung pulan ke rumahnya sejak tadi.
Ia mungkin akan dimarahi oleh ayahnya, bahkan mungkin akan dipukuli oleh ayahnya. Tapi ia tidak mungkin mati di tangan ayahnya ‘kan? Ia merutuki kebodohannya yang tetap tinggal di dalam ruang kelasnya sampai malam hari, padahal si siang hari saja kelasnya sudah terasa sangat menyeramkan.
Ponsel laki-laki itu berdering. Tertera nama ayahnya di sana. Ia mengambil ponselnya yang ia letakkan tidak jauh dari tempatnya meringkuk saat ini, lalu mendekatkan ponsel itu ke depan wajahnya untuk mengangkat ponsel ayahnya itu.
Logo berbentuk gagang telepon berwarna hijau telah ia geser untuk mengangkat panggilan dari ayahnya itu. Tapi sebelum ia mengangkat telepon dari ayahnya itu, ponsel ia genggam terjatuh dari tangannya.
“AAGGHHHHHHH!!!!”
Laki-laki itu menjerit dengan sangat keras begitu melihat makhluk yang tempo hari ia lihat ketika Sangmin meregang nyawa di dalam toilet di ujung koridor yang sejajar dengan kelasnya, kini berada tepat di depannya sambil tersenyum lebar dan memperlihatkan semua giginya yang berantakan dan tajam. Gigi taringnya bahkan sampai melewati bibir atasnya, mirip seperti taring babi gunung.
Ia tidak pernah mendengar siapa pun memasuki ruang kelasnya. Entah bagaimana makhluk menyeramkan itu bisa ada di depannya saat ini.
“Halo... Halo.. Subin? Apa yang terjadi?”
Suara ayahnya terus menggema di dalam teleponnya. Tapi seberapa banyak pun suara ayahnya yang sedang memanggil Subin dengan khawatir, tidak akan pernah mendapat balasan dari laki-laki itu.
KRAUKKK... KRAUKKK....
Monster itu tengah mengunyah kepala Subin yang telah ia lahap barusan. Laki-laki itu meregang nyawa di tangan monster yang kini telah melahap seluruh kepalanya, menyisakan tubuhnya yang berlumuran darah saat ini.
***
Jeno dan Chenle baru saja keluar dari dalam rumah Jaemin dan melangkah ke arah rumah mereka masing-masing, yang tak jauh dari rumah laki-laki itu. Mereka telah sepakat untuk berangkat bersama keesokan harinya karena kendaraan Jeno dan Chenle yang masih ada di sekolah. Mereka sebenarnya masih punya kendaraan lain untuk dipakai, tapi siapa yang akan membawa kendaraannya yang lain pulang ke rumahnya jika ia berangkat menggunakan kendaraan yang lain lagi?
Ketiga orang tersebut telah berbincang panjang lebar tentang teror kematian yang terus berlanjut di sekolah mereka itu. Tapi mereka juga menemui jalan buntu, sama seperti teman-teman sekelas mereka yang selalu berdiskusi di dalam kelas beberapa hari belakangan ini. Mereka tidak mengetahui dalang di balik teror tersebut, apa tujuan dari teror tersebut selain membunuh mereka satu persatu, dan bagaimana cara menghentikan teror tersebut.
Akhirnya ketiganya memutuskan untuk beristirahat sejenak dan akan melanjutkan perbincangannya esok hari di sekolah. Mereka juga penasaran dengan apa yang terjadi pada Subin saat ini, meskipun mereka bisa menduga bahwa itu pasti bukanlah hal yang baik mengingat nama laki-laki itu sudah tertulis di dalam buku ‘Death Note’.
***
Jeno, Jaemin dan Chenle berangkat bersama pagi ini seperti perjanjian mereka sebelumnya. Ketiga laki-laki itu melangkahkan kakinya berjalan di koridor menuju kelasnya bersama-sama. Mereka bisa merasakan tatapan orang-orang yang ditujukan ke arah mereka saat ini.
Bukannya mereka tidak tahu apa arti dari tatapan penasaran dan bingung orang-orang di sekitar mereka saat ini. Jaemin dan Jeno baru saja melakukan perkelahian kemarin di dalam lingkungan sekolah, wajah keduanya bahkan masih bengkak. Tapi hari ini keduanya berjalan berdampingan seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Ketiganya mengabaikan tatapan penasaran dan bingung orang-orang di sekitarnya saat ini dan melangkah memasuki kelasnya. Suasana kelas sangat buruk hari ini. Tatapan benci dengan jelas diarahkan pada sosok Na Jaemin saat ini, tapi mereka tidak berani menatap laki-laki itu ketika laki-laki itu mengangkat wajahnya untuk melihat mereka satu persatu.
Laki-laki itu tersenyum meremehkan ke arah teman-teman sekelasnya yang kembali berembuk itu. Setelahnya ia berjalan ke arah tempat duduknya, lalu melakukan aktivitasnya paginya seperti biasa, membaca buku atau mengerjakan beberapa soal di dalam buku paket terkait dengan pelajaran hari ini.
Guru-guru mungkin enggan memasuki kelasnya, tapi ia masih bisa mengejar ketertinggalannya dengan belajar mandiri. Ia benar-benar aneh, masih sanggup belajar dengan serius di tengah-tengah teror yang sedang menghantui kelasnya saat ini.
Bukannya ia tidak sadar jika tatapan-tatapan penuh kebencian dilemparkan beberapa tatapan kebencian sedang diarahkan padanya saat ini. Ia hanya tidak ingin peduli, selama mereka tidak bertindak melewati batas dan mencoba merundungnya seperti yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya. Mereka tentu tidak bodoh, apalagi hal itu mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments